Mohon tunggu...
Urip Widodo
Urip Widodo Mohon Tunggu... Peg BUMN - Write and read every day

Senang menulis, membaca, dan nonton film, juga ngopi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pengaruh Medsos terhadap Pola Interaksi, Bagaimana Seharusnya?

5 September 2024   07:48 Diperbarui: 5 September 2024   07:58 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: dokpri, drawn by ai

Sejak kemunculannya, media sosial telah mengubah banyak hal, terutama cara manusia berinteraksi---baik dengan dirinya sendiri, keluarga, orang lain, pekerjaan, dan bahkan dengan lingkungan sosial yang lebih luas. Sebagai sebuah fenomena global, media sosial menghadirkan berbagai peluang sekaligus tantangan. Tidak ada yang memungkiri bahwa media sosial telah mempermudah komunikasi dan kolaborasi, tetapi di balik kenyamanan itu, ada harga yang harus dibayar.

Pertanyaannya sekarang, bagaimana seharusnya kita, sebagai manusia yang semakin terikat oleh teknologi, menggunakan media sosial dengan bijak?

Pola Interaksi yang Berubah

Media sosial tidak hanya mengubah cara kita berkomunikasi dengan orang lain, tetapi juga cara kita memandang diri kita sendiri. Menurut Sherry Turkle, seorang profesor di MIT, media sosial dapat membuat suasana "kesepian bersama." Kita memiliki lebih banyak teman online, tetapi seringkali kita kehilangan keintiman dalam hubungan nyata. Turkle berpendapat bahwa di era media sosial, kita cenderung menggantikan percakapan tatap muka dengan komunikasi berbasis teks atau gambar yang tanpa emosi.

Bahkan dalam hubungan keluarga, media sosial bisa menjadi pengganggu. Waktu yang seharusnya digunakan untuk berbincang dan berinteraksi secara langsung, kini sering kali teralihkan oleh notifikasi atau keinginan untuk 'mengupdate status', atau hanya sekadar scrolling. Akibatnya, kedekatan emosional makin tergerus.

Interaksi di dunia kerja juga tidak lepas dari perubahan ini. Dunia profesional kini lebih terkoneksi, memungkinkan kolaborasi lintas negara dengan mudah. Namun, terlalu terlibat di media sosial terkait pekerjaan bisa membuat batasan antara waktu pribadi dan pekerjaan semakin kabur.

Sisi Positif dan Negatif

Mari kita akui, media sosial tidak sepenuhnya buruk. Di satu sisi, media sosial memberi akses informasi dan pengetahuan yang tak terbatas, memungkinkan orang membangun jaringan dan meningkatkan peluang karir. Dalam sebuah studi yang dipublikasikan oleh Pew Research Center, media sosial juga disebut bisa meningkatkan rasa kepedulian dan dukungan sosial, khususnya bagi mereka yang sebelumnya sulit dijangkau bantuan.

Namun, ada sisi gelap dari media sosial yang tidak bisa diabaikan. Andrew Przybylski, seorang peneliti dari University of Oxford, menekankan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan dapat berdampak buruk pada kesehatan mental. Rasa cemas, depresi, hingga rendahnya harga diri sering kali diperburuk oleh tampilan yang berlebihan untuk citra pribadi yang 'sempurna' di media sosial. Kita secara tidak sadar membandingkan diri kita dengan orang lain, yang berujung pada perasaan tidak puas dengan kehidupan kita sendiri.

Kemudian ada pula masalah privasi dan informasi palsu. Media sosial memungkinkan kita berbagi informasi dengan mudah, tetapi ini juga membuka celah bagi penyebaran hoaks yang merusak kredibilitas dan kepercayaan.

Menuju Penggunaan Media Sosial yang Ideal

Jadi, bagaimana seharusnya kita menyikapi media sosial? 

Kuncinya adalah keseimbangan. Menurut psikolog klinis, Dr. Catherine Steiner-Adair, penting untuk mengatur waktu dan fokus ketika berhadapan dengan media sosial, jangan membiarkannya menguasai kita.

Pertama, kita harus mulai dengan menentukan batasan. Tidak semua informasi atau percakapan di media sosial perlu direspons seketika. Menyisihkan waktu untuk benar-benar hadir dalam interaksi offline adalah hal yang penting.

Kedua, gunakan media sosial sebagai sarana untuk belajar dan berkembang, bukan sekadar untuk hiburan atau validasi sosial. Manfaatkan peluang yang ditawarkan media sosial, seperti mengikuti kursus online, bergabung dalam komunitas yang mendukung, atau menemukan mentor yang tepat.

Ketiga, sadari dampak psikologis dari media sosial. Jika kita merasa mulai tertekan oleh apa yang kita lihat, itu adalah tanda bahwa kita perlu istirahat.

Terakhir, selalu ingat bahwa media sosial hanyalah alat, bukan cerminan dari siapa kita sebenarnya. Teknologi ada untuk membantu manusia, bukan untuk menggantikan nilai-nilai kemanusiaan. Media sosial harus bisa meningkatkan kualitas hidup, bukan merusaknya.

Sebagai kesimpulan, dalam menghadapi dunia yang semakin terkoneksi, penting bagi kita untuk bijak menggunakan media sosial. Gunakanlah media sosial sebagai alat untuk memperluas wawasan dan memperkuat hubungan yang sudah ada, bukan sebagai pengganti interaksi nyata yang mendalam dan bermakna. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Simon Sinek, "Perlakukan media sosial seperti sebuah pisau: berguna jika digunakan dengan benar, berbahaya jika disalahgunakan."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun