Sebagaimana sudah diketahui, di Pemilu 2024 nanti Mahkamah Konstitusi (MK) telah menetapkan sistem pemilihan umum yang akan digunakan adalah sistem Proporsional Terbuka. Dengan demikian, Pemilu 2024 menjadi Pemilu kelima yang menggunakan sistem Proporsional Terbuka, setelah sebelumnya digunakan di Pemilu 2004, 2009, 2014, dan 2019.
Pilihan sistem Pemilu sangat penting bagi partai politik (Parpol) maupun Caleg (Calon anggota Legislatif). Karena, bagaimanapun sistem Pemilu yang digunakan akan mempengaruhi peluang perolehan suara dan kursi bagi Parpol, dan untuk Caleg berpengaruh pada peluang lolos atau tidaknya mereka menjadi anggota dewan.
Maka, tidak mengherankan terjadi ketegangan sebelum MK mengeluarkan keputusannya terkait sistem Pemilu. Karena sebelum keputusan MK tersebut setiap Parpol sudah menyerahkan daftar Caleg sementara (DCS) ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).Â
Juga ada isu atau opini yang beredar bahwa MK akan menetapkan sistem Proporsional Tertutup.
Mengapa Parpol (kecuali PDIP) dan Caleg menolak menggunakan sistem Proporsional Tertutup, dan lebih menginginkan Proporsional Terbuka?
Untuk para Caleg, terutama yang menempati nomor urut besar (sering disebut nomor sepatu), ada kaitannya dengan peluang lolos-tidaknya mereka menjadi anggota dewan.
Sistem Proporsional Tertutup mengatur Caleg yang akan lolos berdasarkan nomor urut. Artinya, jika satu Parpol -- hasil Pemilu nanti - memperoleh dua kursi, maka yang akan menempati kursi itu adalah Caleg nomor urut satu dan dua. Terlepas berapa pun perolehan suaranya.
Sedangkan kalau menggunakan sistem Proporsional Terbuka, maka yang akan lolos ditentukan oleh Caleg yang perolehan suaranya terbanyak.
Jadi, misalnya satu Parpol memperoleh dua kursi. Maka, yang berhak atas kursi itu adalah Caleg yang perolehan suaranya paling banyak dan terbanyak kedua. Terlepas dia berada di nomor urut berapa.
Lalu apa hubungannya dengan banyaknya artis yang nyaleg (jadi Caleg)?