Mohon tunggu...
Urip Widodo
Urip Widodo Mohon Tunggu... Peg BUMN - Write and read every day

Senang menulis, membaca, dan nonton film, juga ngopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Melihat Wajah Istri untuk Pertama Kalinya

29 Agustus 2023   13:57 Diperbarui: 29 Agustus 2023   14:11 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bandung, Sabtu 19 Desember 1992

"Ap ... apa, Kak. Taaruf sekarang juga?" tanyaku tergagap. Tak mengira Kak Indra langsung mengajakku untuk ta'aruf dengan seseorang yang belum kukenal. Jangankan kenal, tahu namanya saja tidak.

Kemarin, saat mendapat pesan dari Kak Indra untuk datang pagi ini ke rumahnya, perkiraanku adalah masalah agenda pengajian pekanan. Karena kalau ada perubahan waktu atau tempat, saya lah yang diberitahu untuk kemudian meneruskan informasi tersebut ke teman-teman pengajian yang lain.

Ternyata bukan, tapi masalah rencana pernikahanku. Memang, dalam beberapa kali pertemuan pekanan sebelumnya, saya menyampaikan bahwa kemungkinan besar saya akan dimutasi kerja ke Surabaya. Dan saya punya keinginan untuk menikah sebelum pindah ke Surabaya.

Saat itu yang terjadi adalah diskusi ringan dan dukungan teman-teman pengajian terhadap keinginan saya tersebut. Seingatku tidak atau belum mengarah pada nama atau sosok yang akan kunikahi.

Saya memang tidak memiliki pacar. Bahkan belum pernah merasakan memiliki seorang kekasih. Karena menurut saya pacaran itu sesuatu yang tidak islami. Bahkan masuk katagori berzina.

Pengajian pekanan, yang dimentori Kak Indra, telah memberi pemahaman kepada saya bagaimana bersikap sebagai seorang Muslim yang benar. Salah satunya dalam pergaulan dengan lawan jenis.

"Iya, taaruf. Antum, kan, sudah ingin nikah?" Jawaban Kak Indra membuyarkan lamunanku.

"Ini data akhwatnya," lanjut Kak Indra seraya menyodorkan kertas yang dilipat.

Segera kubuka lipatan kertas itu. Isinya biodata seseorang. Saya membaca sebuah nama ditulis di baris paling atas.

"Itu biodata akhwat yang sudah siap menikah. Ana sudah cariin yang sekiranya cocok buat Antum." Kak Indra menjelaskan, karena melihatku hanya tertegun.

Gemetar tangan saya memegang kertas itu saat membacanya. Biodata yang ditulis hanya yang umum. Nama, tempat tanggal lahir, pendidikan, alamat, nama orangtua, aktivitas atau pekerjaan, dan harapan atau visi membina rumah tangga.

"Ini ..., ini ..., serius, ta'aruf sekarang, Kak?" Tergagap lagi, tidak percaya prosesnya secepat ini.

"Iya, itu tergantung Antum. Kalau memang sudah siap, sekarang kita temui akhwatnya," ajak Kak Indra.

Perang berkecamuk di dalam kepala. Antara lanjut ta'aruf atau tidak. Kalau tidak, saya khawatir kantor memindahkanku dalam pekan-pekan ini. Tanpa pemberitahuan, tanpa persiapan. Kalau itu terjadi, di Surabaya nanti, saya harus memulai lagi. Harus beradaptasi. Dan kalau dapat calon istri pun kemungkinannya orang Surabaya.

Tapi kalau sekarang lanjut ta'aruf, masalahnya hanya persiapan saja yang belum. Persiapan saya menikah maksudnya. Sama sekali tidak ada persiapan apa pun. Karena tidak mengira akan secepat ini.

"Saran ana, Antum ikuti saja prosesnya. Kalau memang cocok dan jodoh, Allah akan memudahkan proses selanjutnya. Kalau tidak cocok, ya sudah. Kan, ini baru ta'aruf." Kak Indra mengagetkan saya. Seolah dia tahu apa yang sedang saya pikirkan.

Dengan pertimbangan tersebut saya kemudian menyetujui. Kami berdua pun kemudian berangkat ke lokasi di mana seseorang -- kalau jodoh -- yang akan menjadi istriku.

***

Bandung, Selasa 22 Desember 1992

Sesuai yang disepakati saat taaruf, saya -- ditemani Kak Indra dan seorang teman -- bersilaturrahim ke rumah akhwat.

Dari pembicaraan selama taaruf -- dibatasi kain hijab -- saya merasa cocok dengan akhwat ini. dan sebagai lanjutan proses, saya menemui orangtuanya.

Sekitar pukul 20 saya diterima 'calon mertua'. Hanya ayahnya. Tidak banyak yang dibicarakan. Sebagaimana umumnya orangtua, yang ingin jodoh terbaik untuk anaknya, obrolan lebih kepada ingin mengenal atau mengetahui siapa saya. Dari gestur yang diperlihatkan, saya menangkap beliau 'menerima' saya jadi menantunya. Satu jam kemudian pun kami berpamitan.

***

Sebuah Kabupaten di Jawa Barat, Rabu 23 Desember 1992

Salah satu permintaan calon mertua, saat ngobrol semalam, adalah kapan orangtua saya datang untuk melamar. Saya kaget mendengar pertanyaan itu. Antara ragu dan senang, saya menjawab, 'Insya Allah hari Sabtu'.

Maka hari ini saya cuti, pagi-pagi sekali saya pulang kampung. Ingin mengabarkan sekaligus meminta orangtuaku bersilaturrahim ke rumah 'calon mertua'.

"Hah, melamar. Gak salah?" Kalimat pendek itu diucapkan ayahku. Menggambarkan kekagetannya mendengar permintaanku.

Saya memaklumi keterkejutan orangtuaku. Sebagaimana yang dikatakan ibuku, bahwa mereka khawatir anggapan para tetangga. Selama ini kalau ada yang menikah mendadak, pasti asumsinya nikah karena 'kecelakaan'.

Saya pun menjelaskan semuanya. Dari kemungkinan dimutasi kerja, aktivitas pengajian, dan proses perjodohan. Tentu saja terjadi obrolan yang lama. Saya mengeluarkan semua argument pentingnya menikah sekarang-sekarang. Dari menjaga diri dari sampai kalau jadi pindah ke Surabaya.

"Tapi ... Ujang sudah kenal sama calonnya belum?" Ada nada khawatir dari ibuku saat bertanya. Ujang adalah panggilan saya di rumah. Ibuku pantas untuk khawatir, karena tahu betul karakterku yang pemalu. Bayangannya, bagaimana mau mengenal calon istri, kalau bicara dengan perempuan saja gugup, dan jarang gaul.

Untuk beberapa jenak saya tidak menjawab. Kebingungan melandaku. Kalau mengatakan tidak pernah bertemu langsung (saat ta'aruf dihalangi kain hijab, jadi tidak melihat wajahnya), tentu saja diskusi akan lebih panjang lama lagi. Orangtuaku pasti tidak setuju. Anggapannya mungkin seperti memilih kucing dalam karung.

Beruntung, dalam biodata yang diberikan Kak Indra kemarin ada terselip foto akhwatnya. Semula saya tidak ingin melihat foto itu, tetapi saya sudah menduga pasti orangtua akan bertanya sudah bertemu atau belum dengan 'calon'. Dan pertanyaan ibuku tadi membenarkan dugaan saya.

"Sudah, Bu. Bahkan sudah melihat wajahnya," jawabku pelan sambil menunduk.

Tentu saya tidak berbohong. Yang saya maksud kenal adalah tahu karakternya, dan Kak Indra dengan guru ngaji 'calon istriku' itu menjamin dia memiliki karakter atau akhlak yang baik. Mengenai melihat wajah pun saya tidak berbohong. Karena saya pernah melihatnya walau hanya di foto.

Ibuku diam mendengar jawabanku.

Yang membuat hati kedua orangtuaku akhirnya luluh adalah karena selama SMA saya tidak termasuk anak yang pendiam, atau bahkan pemalu. Jangankan punya pacar, bergaul dengan teman-teman lelaki saja jarang. Lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dengan membaca.

Setelah kedua orangtuaku setuju, esoknya saya kembali ke Bandung untuk mengabarkan persetujuan orangtua saya. saya memberitahu melalui Kak Indra yang menjadi penghubung komunikasi saya dengan pihak 'calon istri'.

Alangkah kagetnya saya, saat Kak Indra mengatakan bahwa hari Sabtu nanti itu calon mertuaku menginginkan langsung aqad, tidak hanya khitbah (melamar). Kak Indra menyampaikan beberapa alasannya.

Bercampur rasa. Kaget, senang, dan bingung. Senang karena pihak 'calon istri' sudah menerima. Bingungnya, bagaimana mengabarkan ke orangtuaku? Sedangkan untuk mengajak mereka melamar saja perlu diskusi yang alot.

Tidak menunggu hari esok, saya kembali ke kampung. Sampai di rumah malam. Tentu saja orangtuaku kaget melihat saya pulang, dan lebih kaget lagi mendengar kabar yang saya bawa.

Dengan berbagai argumen saya membujuk orangtua untuk mau menerima tawaran untuk langsung aqad nikah. Setelah pembicaraan yang lebih lama dari diskusi kemarin, orangtua pun setuju.

Esoknya, hari jumat, semua sibuk. Kakakku belanja membeli beberapa barang untuk 'seserahan', dan keperluanku nanti.

***

Bandung, Sabtu 26 Desember 1992, menjelang Magrib.

Setelah menempuh perjalanan 3 jam lebih. Saya dan rombongan keluarga sampai di rumah 'calon istri'.

Karena tanggung menjelang salat Magrib, disepakati acara khitbah sekaligus aqad nikah akan dilaksanakan bada salat Magrib. Calon mertua ternyata sudah menyiapkan semuanya, termasuk pihak KUA yang sudah siap.

Selepas salat Magrib acara pun dimulai. Walaupun tidak umum, proses melamar dan langsung dilanjut aqad nikah, pihak KUA tidak banyak bertanya. Sepertinya memang sudah dikondisikan oleh calon mertuaku.

Sekitar pukul 21, tibalah saat yang mendebarkan, kejadian yang takkan kulupakan seumur hidupku. Saat saya -- setelah mengucapkan kalimat aqad di hadapan mertua -- menyerahkan mahar ke istri. Saat itulah untuk pertamakalinya saya melihat wajah istri. Begitupun sebaliknya. Untuk beberapa menit kita saling beradu pandang, dan saling melempar senyum.

Hal mendebarkan kedua terjadi setelah acara selesai. Saat seluruh keluargaku pulang. Saya merasa terasing di tengah keluarga istriku, karena baru kenal ayah mertua saja, sedangkan ibunya, kakak-kakaknya, adik-adiknya, dan saudara-saudara yang lain belum. Dengan istri pun belum kenal, tapi tidak mungkin saya memperlihatkan baru bertemu saat itu kepada keluarganya.

Sampai kini, hidup bersama selama 31 tahun, kami telah membuktikan bahwa pacaran pasca nikah itu ternyata lebih asyik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun