Mohon tunggu...
Urip Widodo
Urip Widodo Mohon Tunggu... Peg BUMN - Write and read every day

Senang menulis, membaca, dan nonton film, juga ngopi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Gagalnya PDIP sebagai Parpol

15 Juli 2023   11:15 Diperbarui: 15 Juli 2023   11:22 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: cnnindonesia

Menurut Prof. Miriam Budiardjo dalam bukunya yang berjudul 'Dasar-dasar Ilmu Politik', salah satu fungsi partai politik adalah sebagai sarana rekrutmen politik.

Beliau menjelaskan sebagai berikut,
'Fungsi ini berkaitan erat dengan masalah seleksi kepemimpinan, baik kepemimpinan internal partai maupun kepemimpinan nasional yang lebih luas.'

Sepemahaman saya, setelah membaca penjelasan Prof. M. Budiardjo di atas, partai politik adalah wadah untuk merekrut dan membina (mendidik) calon-calon pemimpin, baik pemimpin tingkat daerah maupun pemimpin tingkat nasional. Atau membina orang-orang yang akan mengisi posisi-posisi di pemerintahan, baik daerah maupun nasional.

Dan ini sejalan dengan tujuan didirikannya partai politik. Sebagaimana dijelaskan Prof. M. Budiardjo di buku yang sama, bahwa tujuan dari partai politik adalah menguasai pemerintahan. Baik pemerintahan daerah maupun tingkat nasional.

Pengertian menguasai pemerintahan ini - di negara yang menganut sistem demokrasi seperti Indonesia - adalah menguasai legislatif (DPRD dan DPRI) dan menguasai eksekutif (kepala daerah dan presiden).

Jadi, tugas partai politik itu membina dan mendidik warga negara yang menjadi anggotanya. Sehingga, nantinya, setelah dibina, ada di antara anggota-anggotanya itu yang - misalnya - layak menjadi kepala daerah. Kemudian anggota yang layak menjadi kepala daerah itu diusung dalam Pilkada (pemilihan kepala daerah).

Jadi, idealnya, calon-calon kepala daerah yang maju dalam Pilkada itu adalah kader-kader partai politik yang telah mendapatkan pembinaan. Dengan kata lain, kader-kader partai politik yang telah lama menjadi anggota.

Namun, apa yang seharusnya atau idealnya terjadi itu ternyata jauh panggang dari api. Idealisme partai politik ternyata hanya ada dalam catatan. Realitanya kalah sama 'kepentingan seseorang'. Banyak partai yang saat Pilkada justru mencalonkan 'orang lain', atau bukan kadernya sendiri, yang telah dibina bertahun-tahun.

Dengan demikian, tidak berlebihan kalau saya menganggap partai politik yang mencalonkan 'orang lain' sebagai calon kepala daerah, sebagai partai politik yang gagal. Gagal menjalankan fungsinya sebagai wadah rekrutmen calon pemimpin.

Sebenarnya bukan hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang 'gagal' menjalankan fungsi partai politik tersebut. Namun, karena yang masih hangat - yang sempat ramai juga di berita - adalah kasus Pilkada Kota Solo, maka saya memberi judul artikel ini dengan 'Gagalnya PDIP sebagai Partai Politik'.

Ada apa dengan Pilkada Kota Solo?

Sebagaimana sudah diketahui bersama PDIP dalam Pilkada Kota Solo mencalonkan Gibran Rakabuming Raka, yang merupakan putra sulung Presiden Jokowi. Padahal, Gibran belum setahun bergabung dengan (menjadi anggota) PDIP.

Menurut situs berita online 'cnnindonesia com' tanggal 23 September 2019, putra sulung presiden Joko Widodo itu resmi mendaftar sebagai kader  PDIP melalui ranting Manahan, bagian dari Pimpinan Anak Cabang (PAC) Banjarsari, Surakarta.

Padahal, di kepengurusan PDIP Kota Solo sendiri ada kader yang lebih senior, bahkan sudah digadang-gadang akan dicalonkan menjadi Walikota Solo, yaitu Achmad Purnomo. Bahkan Ketua DPC PDIP Kota Solo, FX Hadi Rudyatmo, di media online 'tempo' tanggal 17 Juli 2020, mengatakan bahwa PDIP hanya memiliki satu pasangan nama bakal calon, yakni Achmad Purnomo dan Teguh Prakosa. Pasangan ini, kata Hadi, merupakan aspirasi dari tingkat ranting dan anak cabang melalui penjaringan yang sifatnya tertutup.

Namun, status sebagai putra presiden memberikan privilege pada Gibran Rakabuming Raka, sehingga dia kemudian yang dicalonkan menjadi Walikota Solo.

PDIP sendiri mungkin berhitung, dengan status putra presiden, maka kans atau peluang untuk menang dalam Pilkada menjadi sangat besar. Dan terbukti kemudian, PDIP menang dan Gibran pun jadi Walikota Solo.

Terlepas dari urusan internal PDIP, keputusan ada di tangan pimpinan pusat, kebijakan memberikan privilege kepada 'orang-orang tertentu' tentunya akan melemahkan semangat kader-kader PDIP yang selama ini setia pada partai dan berharap dapat menapaki karir politik yang lebih tinggi.

Hal itu tersirat dari pernyataan Achmad Purnomo, yang tidak jadi dicalonkan menjadi Walikota Solo, di media 'cniiindonesia' tanggal 19 Juli 2020. Purnomo mengaku sempat kecewa. Meski begitu, ia tak mau terlalu larut. Purnomo juga membuka kemungkinan untuk pensiun dari dunia politik usai gagal mendapatkan rekomendasi.

"Ya mungkin saya akan menarik diri dari politik, seperti saya ini mungkin kurang cocok di politik," kata Achmad Purnomo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun