Mohon tunggu...
Urip Widodo
Urip Widodo Mohon Tunggu... Peg BUMN - Write and read every day

Senang menulis, membaca, dan nonton film, juga ngopi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tegarnya Seorang Wanita

7 Juli 2023   11:18 Diperbarui: 7 Juli 2023   11:20 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ya, suamiku. Kalau ini memang perintah dari Tuhanmu dan Tuhanku juga, pergilah! Karena aku yakin, Dia yang menyuruh engkau meninggalkan kami berdua, tidak akan menelantarkan kami. Jangan khawatirkan kami."

Kalimat tersebut, beberapa hari yang lalu, diucapkan oleh seorang wanita, yang sekarang sedang berdiri termangu. Wanita hanya berdiri, tidak melakukan apa-apa, terdiam melihat bayi mungilnya yang tidak berhenti menangis sejak satu jam lalu.

Wanita itu tahu, bayinya menangis karena kehausan. Sejak kemarin persediaan air yang dibawanya habis. Tapi dia masih bisa memberi minum bayinya itu dengan air susu. Tapi hari ini, air susunya pun habis. Tidak ada lagi yang dapat diberikan kepada bayinga untuk menghilangkan dahaganya. 

Wanita itu bukan tidak sayang pada bayinya, sehingga membiarkannya menangis. Dia hanya tidak tahu, apa yang mesti dilakukan untuk menghentikan tangisan bayinya. Beberapa hari lalu suaminya meninggalkannya, di tempat terpencil itu, yang jangankan ada orang lain, seekor kadal pun tidak ada. Sebuah tempat yang gersang, yang jangankan ada pohon kurma, sejumput rumput pun tidak ada yang tumbuh. Sejauh mata memandang, sekelilingnya, hanya ada lautan pasir.

Hanya karena ketaatan pada suami, ketawakalan, serta keyakinannya pada Allah swt, sehingga dia rela ditinggalkan di tempat terpencil itu. Sepeninggal suaminya, yang dilakukannya hanya duduk seraya memeluk bayinya. Berdua hanya memanfaatkan selimut tebal untuk melindungi mereka dari panas matahari di siang hari, dan angin dingin di malam hari.

Untuk satu dua hari, dia dan bayinya mampu bertahan. Namun tidak saat perbekalannya habis, seperti hari ini. Tangis bayinya semakin kencang, bahkan tidak hanya menangis, kedua kaki kecilnya menendang-nendang sampai keluar dari kain pembungkusnya. Melihatnya demikian, wanita itu semakin bersedih. Kedua pipinya mulai dialiri air mata. Bukan hilang keyakinannya pada Allah Sang Penguasa, melainkan sisi manusiawinya yang muncul.

Siapa yang tidak pilu melihat kondisi bayinya seperti itu. Mau tidak mau dia harus mencari air. Tapi ke mana?

Dalam keputusasaannya, wanita itu berlari, meninggalkan bayinya tergeletak begitu saja. Dia berlari ke bukit yang ada di sebelah kanannya. Dia berharap di tempat yang lebih tinggi dia dapat melihat lebih jauh, sehingga dapat melihat kalau-kalau ada khafilah yang berjalan.

Sesampai di bukit itu, dia celingukan, roman mukanya semakin menunjukkan kesedihan dan kekecewaan. Takada satu pun orang yang terlihat, apalagi khafilah. Kemudian dia melihat bukit lain. 'Barangkali dari bukit itu aku bisa melihat', pikirnya seraya langsung berlari ke arah bukit satunya.

Sampai di bukit kedua, hanya kekecewaan yang dia dapat. Sama seperti dari bukit pertama, takada apa pun terlihat, kecuali hanya hamparan pasir.

Namun, saat dia menoleh ke bukit pertama yang dia tinggalkan tadi, terlihat air yang menggenang. Senyum merekah muncul di mulutnya. Segera dia berlari menuju bukit yang pertama. Apa yang dia dapatkan ternyata hanya fatamorgana. Bukan genangan air. Kekecewaan kembali melandanya.

Tapi taklama. Senyumnya kembali merekah tatkala melihat genangan air di bukit yang kedua. Segera dia berlari. Namun, apa yang dia dapat sama dengan sebelumnya. Di bukit itu tidak ada genangan air. Setetes pun tidak ada. Kekecewaannya bertambah-tambah. Tapi dia tidak mau berhenti berusaha. Tangisan bayinya semakin kencang terdengar.

Dia yakin Sang Maha Pengasih takkan membiarkannya. Tapi dia harus berusaha. Kakinya kembali dilangkahkan, bolak-balik dari bukit yang pertama ke bukit kedua. Demikian terus bolak-balik hingga tujuh kali. Namun sayang, usahanya sia-sia. Ia kemudian kembali menemui sang putra dan khawatir jika putranya tidak bisa bertahan.

Di tengah kegelisahan dan keputusasaannya, wanita itu memohon kepada Allah agar diberikan yang terbaik untuk kehidupannya dan sang bayi. Tak lama setelah itu, Allah mengabulkan doanya.

Kaki bayinya yang menghentak-hentak, menendang tanah pasir di bawahnya. Tiba-tiba, air begitu derasnya keluar dari jejak hentakan kaki bayinya. Tak terkirakan bahagianya wanita itu.

Wanita yang tegar itu adalah Hajar. Sungguh, kita semua harus belajar dari ketegaran Hajar. Karena Allah pun memuliakannya. Apa yang dia lakukan, berlari tujuh kali bolak-balik dari dua bukit, yang kemudian di beri nama bukit Shafa dan Marwah, dijadikan salah satu rukun dalam ibadah haji.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun