Mohon tunggu...
Urip Widodo
Urip Widodo Mohon Tunggu... Peg BUMN - Write and read every day

Senang menulis, membaca, dan nonton film, juga ngopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Membayar Wangi Makanan

7 Juni 2023   09:56 Diperbarui: 7 Juni 2023   10:02 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi uang logam/sumber: pexels-erik-mclean-7192153

Abu Nawas sedang berjalan pulang dari pasar, saat melihat pertengkaran dua orang yang tidak dikenalnya. Abu Nawas penasaran apa yang menyebabkan mereka bertengkar, sampai muka keduanya merah, mata melotot, dan saling tunjuk.

Abu Nawas pun mendekati mereka. "Maaf tuan-tuan, apa yang Anda ributkan sampai saya melihat tidak ada yang mau mengalah?"

Keduanya serentak terdiam dan menoleh ke arah Abu Nawas. Abu Nawas sekilas melihat dahi keduanya berkerut. Mungkin mereka merasa terganggu, dan mereka tidak mengenali Abu Nawas.

"Anda siapa?" Salah seorang dari yang bertengkar bertanya.

"Saya Abu Nawas. Kebetulan lewat saat Anda berdua sedang meributkan sesuatu."

"Lantas apa maksudmu?" Orang itu kembali bertanya.

Abu Nawas tersenyum. "Begini saudara-saudara. Tidak baik Anda bertengkar, apalagi di tempat umum seperti ini. Barangkali saya bisa membantu menengahi perselisihan Anda."

"Baguslah, kalau Anda mau menjadi Hakim," kata orang itu lagi.

"Lalu permasalahannya apa?"

Si orang yang bertanya tadi kemudian menjelaskan. "Saya ini pedagang makanan. Saya mempunyai kedai makanan yang itu." Dia menunjuk sebuah kedai makanan.

"Seperti biasa jam-jam segini saya sedang memasak. Saat keluar dapur saya melihat orang ini sedang duduk di pinggir kedai saya," lanjutnya. "Saya lalu mendekati orang ini dan bertanya, 'sedang apa di sini?' orang ini menjawab, 'sedang menikmati wangi makanan yang engkau masak'."

"Terus?" Abu Nawas memotong karena penasaran.

"Saya tentu saja tidak suka apa yang dia lakukan. Saya kemudian berkata kepada orang ini, 'Anda harus membayar makanan yang telah engkau cium wanginya', tetapi orang ini menolak."

Abu Nawas lantas menoleh ke orang kedua.

Tanpa menunggu pertanyaan dari Abu Nawas, orang kedua itu lantas berkata, "Tentu saja saya menolak. Sejak kapan mencium wangi makanan harus bayar? Kenyang juga tidak."

"Tapi Anda menikmatinya, kan? Anda menikmati wanginya walaupun tidak memakannya. Itupun kenikmatan yang harus dibayar!" Orang yang pertama berkata sambil mengarahkan telunjuknya ke muka orang kedua.

"Tidak! Sampai kapan pun aku tidak akan membayarnya." Orang kedua membalas sama kerasnya.

"Memangnya berapa dia harus membayar wangi makanan Anda?" Abu Nawas bertanya.

"Dua keping perak cukup kurasa," jawabnya.

"Lihat, betapa mahalnya dia meminta bayaran," kata si orang kedua.

"Baiklah, saya yang akan membayarnya." Abu Nawas berkata sambal merogoh saku bajunya, sementara kedua orang itu bersamaan menoleh kepadanya, dengan roman muka penasaran.

Abu Nawas mengeluarkan dua keping uang logam dari sakunya. Setelah memastikan uang logam perak yang diambilnya, dia dekatkan uang itu ke telinga orang yang pertama. Abu Nawas kemudian menggerakkan tangannya sehingga kedua uang logam itu berbunyi saling beradu. Beberapa kali Abu Nawas membunyikan uang logam itu.

"Nah, sudah. Saya sudah membayar wangi makanan yang dicium orang ini," kata Abu Nawas seraya memasukkan kembali uang itu ke sakunya.

"Bayar apa? Anda tidak menyerahkan uang itu kepadaku."

"Barusan Anda telah mendengar bunyi dari dua uang logam perak, bahkan beberapa kali. Bunyi itulah sebagai bayaran wangi makanan Anda." Abu Nawas menjelaskan.

"Tapi uangnya tidak aku terima?"

"Dia juga tidak mendapatkan makanan dari Anda." Abu Nawas berkata seraya menunjuk orang kedua.

"Sebuah keputusan yang adil. Aku menghirup wangi makananmu, dan engkau mendengar bunyi uang perak. Betul-betul adil, terima kasih Tuan." Si orang kedua berterima kasih kepada Abu Nawas dengan wajah ceria.

Si orang pertama, dengan mimik muka menunjukkan kekecewaan, berpaling dan melangkah menuju kedai makanannya tanpa berkata sepatah kata pun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun