Menurut hukum fiqh salat, jika seorang Muslim salat dengan memakai kaos oblong dan sarung yang sudah dua minggu tidak dicuci, salatnya tetap sah karena sudah menutupi aurat. Namun, kalau dilihat secara etika (akhlak), apakah pantas kalau beribadah, menghadap Allah Yang Maha Kuasa dengan berpakaian seperti itu?
Sepertinya semua akan menjawab tidak pantas. Karena sudah selayaknya kalau salat itu menggunakan pakaian yang bagus, bersih, dan sebaiknya harum.
Jadi, saat kita melakukan sesuatu jangan hanya melihat dari sisi hukum normatif. Tetapi juga harus melihat etis tidaknya, atau pantas tidaknya.
Apa yang kita lakukan harus benar secara hukum - hukum syar'i dan hukum normatif - juga harus benar secara etika, moral, atau atau akhlak.
Lho, apa hubungannya kalimat di atas dengan judul artikel?
Jadi begini, dua hari ini acara News dan Talk Show beberapa stasiun TV diramaikan oleh berita Pertemuan Presiden Jokowi dengan beberapa Ketua Umum Partai Politik. Berbagai tanggapan muncul dari para tokoh, pengamatan politik, dan aktivis parpol.
Yang menjadi pemicu ramainya tanggapan atas pertemuan tersebut adalah karena acara yang digelar di Istana Merdeka, Jakarta Pusat pada Selasa malam, 2 Mei, itu hanya dihadiri oleh PDIP, Golkar, Gerindra, PKB, PAN dan PPP. Dan tidak mengundang partai Nasdem. Padahal partai Nasdem masih tercatat sebagai pendukung Jokowi - Ma'ruf Aming.
Tidak diundangnya partai Nasdem ini mengundang kecurigaan publik bahwa pertemuan itu membicarakan masalah Capres. Karena, sebagaimana kita tahu, Nasdem sudah mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai Capres-nya di Pemilu 2024 nanti.
Pak Jokowi pun menepis tudingan bahwa dia ikut campur atau cawe-cawe dalam pemilihan Capres maupun cawapres di Pilpres 2024.Â
Jokowi menegaskan pertemuan beberapa hari lalu tersebut merupakan ajang diskusi politik.
"Cawe-cawe? He..he..he.. bukan cawe-cawe. Itu diskusi aja kok, kok cawe-cawe. Diskusi, saya tadi sudah sampaikan saya ini kan juga pejabat politik. Saya bukan cawe-cawe," kata Pak Jokowi di Sarinah, Jakarta Pusat, saat ditanya wartawan, Kamis 4 Mei kemarin.
"Urusan capres itu urusannya partai atau gabungan partai sudah bolak balik saya sampaikan. Kalau mereka mengundang saya, saya mengundang mereka boleh-boleh saja, Apa konstitusi yang dilanggar dari situ? Enggak ada. Tolonglah mengerti kalau saya ini politisi sekaligus pejabat publik," lanjutnya.
'Apa konstitusi yang dilanggar dari situ?'
Kalimat tanya yang disampaikan Pak Jokowi ini yang menjadi alasan saya menulis artikel ini.
Betul. Memang tidak ada aturan yang dilanggar. Namun, apakah pantas seorang kepala negara membeda-bedakan perlakuan pada partai politik?
Lihat analogi salat yang saya tulis di paragraf awal di atas. Memang tidak melanggar aturan kalau salat hanya memakai kaos oblong. Tapi, apakah itu pantas?
Begitupun pertemuan Pak Jokowi dengan enam partai di Istana Negara. Memang tidak melanggar, tapi apakah pantas?
Kalau yang dibicarakan masalah persiapan pemilu, maka seharusnya semua parpol peserta pemilu diundang juga, di ajak diskusi.
Kalau yang dibicarakan masalah koalisi enam parpol tersebut, mbok ya diskusinya jangan di Istana Negara, dong.
Kalau yang dibicarakan masalah Capres yang diharapkan Pak Jokowi melanjutkan program yang sudah dijalankannya selama ini. Maka - dengan tidak mengajak Nasdem - Pak Jokowi menganggap Anies Baswedan (Capres dari Nasdem) tidak akan melanjutkan programnya, kalau menang nanti.
Pak Jokowi mengulangi perbuatannya yang ambigu, setelah beliau mengajak pulang mudik Ganjar Pranowo menggunakan pesawat kepresidenan. Saat banyak masyarakat yang bertanya atau mempertanyakan, Pak Jokowi saat mengajak Ganjar itu posisinya sebagai apa?
Kalau sebagai Presiden, maka Pak Jokowi harus memperlakukan hal yang sama kepada semua Capres. Namun, kalau sebagai kader (baca petugas partai) PDIP, maka seharusnya tidak menggunakan pesawat kepresidenan.
Aktivitas Pak Jokowi akhir-akhir ini, terutama yang berkaitan dengan Capres, mendapat sorotan negatif. Salah satunya dari Pak Jusuf Kalla, yang pernah menjadi wakilnya di periode pertama.
Jusuf Kalla mengatakan bahwa Pak Jokowi seharusnya berbuat seperti Megawati dan SBY. Karena keduanya tidak terlalu terlibat politik menjelang berakhirnya masa jabatan.
"Menurut saya, presiden itu seharusnya seperti Bu Mega dulu, SBY, begitu akan berakhir. Maka tidak terlalu melibatkan diri dalam suka atau tidak suka dalam perpolitikan itu. Supaya lebih demokratis lah." Demikian ujar Jusuf Kalla.
Memang seharusnya Pak Jokowi bersifat netral. Seharusnya beliau melakukan sesuatu yang membuat beliau husnul khatimah di akhir jabatannya. Dan dikenal sebagai negarawan, bukan sebagai calo Capres.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H