Menahan diri untuk tidak batal
Selain makan dan minum, banyak hal yang dapat membatalkan puasa yang diajarkan oleh orang tua dahulu. Di antaranya; menangis, luka keluar darah, kentut di dalam air, bertengkar, dan sebagainya, yang membuat kami merasa 'tersiksa' untuk tidak melakukannya.
Keseruan ngabuburit atau menunggu waktu adzan Maghrib sangat jauh berbeda dengan yang dilakukan anak-anak zaman sekarang. Sejak siang hari, setelah pulang sekolah, biasanya yang kami lakukan adalah pergi ke sungai untuk mandi seraya bermain; lempar bola, balap renang, adu lama menyelam, atau yang lainnya. tentu saja sambil menahan diri untuk tidak kentut di dalam air.
Salat taraweh
Di antara aktivitas seru di bulan Ramadan, salat taraweh adalah yang paling seru. Tidak aneh kalau dahulu, di kampung-kampung, salat taraweh itu dilakukan sambil main-main. Bahkan tertanam dalam benak saya saat itu, bahwa salat taraweh memang boleh dikerjakan sambil main-main. Karena hal itu juga dilakukan oleh para pemuda atau kakak-kakak kami yang SMA.
Beberapa hal yang kami lakukan saat salat taraweh itu misalnya, keras-kerasan mengucap 'Amin' saat imam mengakhiri membaca Al-Fatihah. Atau saling sikut saat berdiri, saling dorong saat hendak bersujud, dan lain sebagainya.
Kalau yang dilakukan kakak-kakak kami lebih parah lagi. Contohnya, mengikat sarung 2 orang yang salatnya berdampingan, atau meletakkan pemukul beduk di bawah (maaf) pantat orang yang sedang sujud, sehingga saat bangkit dari sujud orang itu kaget dan sakit tentunya. Atau membakar petasan dan melemparkannya ke kolong masjid. Dahulu banyak masjid berbentuk panggung.
Kadangkala saya merindukan suasana puasa zaman dahulu, terutama di momen salat tarawehnya. Karena semuanya sepertinya tidak akan terulang lagi. Selain karena perubahan zaman, juga karena pemahaman syariat sudah merata, bahwa salat taraweh juga sama dengan salat-salat yang lain, tidak boleh dicampuri senda gurau.
Beberapa tahun terakhir saat mudik ke kampung, Alhamdulillah rupanya budaya salat taraweh sambil main-main sudah lama ditinggalkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H