Mohon tunggu...
Urip Widodo
Urip Widodo Mohon Tunggu... Peg BUMN - Write and read every day

Senang menulis, membaca, dan nonton film, juga ngopi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Penantian Selama Enam Tahun

15 Februari 2023   11:25 Diperbarui: 15 Februari 2023   11:43 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi merindukan buah hati/sumber: mommies daily

Kompasianer, apakah kamu mendambakan kehadiran anak dalam keluarga? Atau sedang menjalankan program hamil? Bagaimana pengalamannya?

Ketiga pertanyaan dari tim Kompasiana di atas terus terang mengangkat memori lama saya (dan tentu istri saya juga).

Memori tentang bagaimana upaya kami (saya dan istri) untuk memiliki anak. Memori ini walaupun sudah terpendam selama 23 tahun, tetapi tidak akan kami lupakan. Walaupun memori yang indah, tapi diujungnya memang membuat kami lebih dari sekadar berbahagia.

Saya menikah di akhir tahun 1992, di usia 23 tahun. Beberapa bulan kemudian istri saya hamil. Tentu saja kita berdua bersuka cita. Namun, saat diperiksa dengan USG tidak terlihat ada bakal janin. Yang ada malah gumpalan-gumpalan darah berbentuk buah anggur. Dari sanalah kemudian saya tahu ada istilah hamil anggur.

Terpaksa istri saya harus dikuret. Untuk dikeluarkan gumpalan-gumpalan darah tersebut. Pasca dioperasi kuret pun dokter menyarankan dalam enam bulan ke depan, istri jangan hamil.

Setahun kemudian istri saya hamil lagi, tetapi dua atau tiga bulan masa kehamilan, istri kembali keguguran. Lagi-lagi istri saya dikuret, dan harus istirahat lagi minimal enam bulan.

Setahun setelah dikuret yang kedua itu, istri kembali hamil. Dan ... bernasib sama, sebelum masa kehamilan 4 bulan, istri kembali keguguran, dan lagi-lagi harus dikuret.

Penasaran karena keguguran berkali-kali, di usia kehamilan empat bulan, saya pun meminta istri untuk diperiksa. Hasil pemeriksaan menyatakan di dalam rahim istri ada virus Toksoplasma.

Saya dan istri, karena penasaran, banyak membaca berbagai informasi tentang virus Toksoplasma. Bersamaan dengan itu istri pun menjalani terapi rutin, dan juga rajin meminum jamu-jamuan.

Saking inginnya memiliki anak, istri juga suka bertanya atau konsultasi kepada siapa pun, meminta saran, bagaimana supaya tidak keguguran lagi. Lucunya, apapun yang disarankan orang yang ditanya, pasti akan dilakukan oleh istri saya. Harus minum ini, harus minum itu, harus dipijat di sana, dan lain-lain.

Sehingga saya saat itu yang kerepotan. Harus mencari jamu, harus antar ke sana ke mari untuk dipijat. Apalagi jika ada yang menyarankan harus dipijat di sesetempat yang jaraknya jauh. Dan itu kadangkala tidak hanya satu tempat.

Upaya spiritual pun kami lakukan. Sejak keguguran pertama, dalam setiap salat sunah -- setelah membaca surat Al-Fatihah -- saya selalu membaca doa Nabi Ibrahim, "Rabbana hab lana min azwajina wa dzurriyatina qurrata a'yun, waja'alna lil muttaqina imama."

Di tahun keempat pernikahan, istri saya hami Kembali. untuk yang keempat kalinya. Kita pun merasa optimis kali ini tidak akan keguguran, karena sudah melakukan berbagai terapi, medis maupun alternatif.

Namun, Tuhan berkehendak lain. Istri saya kembali mengalami keguguran. Sama dengan sebelum-sebelumnya, di usia kehamilan sebelum 4 bulan. Tindakan dikuret harus Kembali dialami istri saya. Menurut dokter, si Toksoplasma masih bersemayam di rahim istri.

Pasca dikuret, terapi terus dilanjutkan, usaha ke alternatif pun tetap dilakukan. Setahun kemudian, awal tahun kelima pernikahan, istri saya hamil lagi. berarti ini kehamilan yang kelima. Seperti sebelumnya, istri saya harus dikuret.

Karena kasihan kepada istri -- karena terus-terusan dikuret -- saya memutuskan menerima takdir untuk tidak memiliki buah hati. Istri pun setuju, dan kami sepakat untuk mengangkat anak atau mengadopsi saja.

Menjelang akhir tahun kelima pernikahan, istri saya ternyata hamil. Atas saran dokter, kehamilan kali ini betul-betul dijaga. Kunjungan ke dokter pun dipersering. Alhamdulillah ... kehamilan istri melewati usia empat bulan. saya dan istri menjadi optimis, masa kritis keguguran sudah terlewati.

Akhir Januari 1999, istri pun melahirkan seorang putri di rumah bersalin jalan Jembar, daerah Cicadas Bandung, dengan lancer dan selamat.

Berbagai perasaan berbaur di saat-saat menunggu istri melahirkan. Tegang, sedih, khawatir, bahkan ada momen lucunya.

Yang membuat tegang, tentu saja, selain karena ini kelahiran pertama juga karena pengalaman keguguran beberapa kali sebelumnya.

Sedih. Karena sebelum proses melahirkan, bidan di RSB itu bertanya pada saya, apakah mau didampingi dokter anak selain dokter kandungan? Saya tidak bertanya kenapa harus ada dokter anak, padahal sudah ada dokter kandungan. Karena sedang tidak punya uang banyak (dalam perhitungan saya saat itu tidak akan cukup kalau harus membayar dokter anak juga) kemudian menjawab tidak.

Lalu, setelah menangani proses kelahiran istri, si dokter kandungan mendatangi saya, dan langsung memarahi saya. Saya tentu saja kaget ... dan sedih.

"Bapak ini bagaimana? Apakah bapak tidak khawatir ada apa-apa dengan anak bapak? Melihat rekam medis istri bapak yang kena Toksoplasma, harusnya kelahiran tadi didampingi juga oleh dokter anak!" demikian kira-kira teguran dokter kandungan itu. Tentu saja saya hanya diam.

"Beruntung proses kelahirannya lancar, dan anak bapak sehat dan normal." Si dokter kandungan melanjutkan, dan tentu saja kalimat terakhirnya membuat kaget dan juga senang.

Dari literatur tentang Toksoplasma, memang hal yang kami khawatirkan terjadi dengan anak kami adalah terlahir tidak normal alias cacat. Karena banyak kejadian, dikarenakan virus toksoplasma,  bayi yang lahir tidak sempurna.

Dan ini menjadi bagian cerita lucunya. Karena sebelumnya banyak membaca literatur-literatur tentang Toksoplasma itu, terutama di bagian kemungkinan anak terlahir cacat. Istri saya sebelum melahirkan sempat bermimpi bahwa anak kami terlahir dengan kaki hanya sebatas lutut.

Sehingga sesaat setelah melahirkan, istri saya mendesak, bahkan memaksa, kepada perawat untuk segera memperlihatkan bayinya. Dan saat bayi didekatkan, yang pertama dilihat adalah kedua kakinya. Tentu saja para perawat tersenyum melihat kelakuan istri.

Akhirnya, setelah kelahiran putri pertama itu, setiap dua tahun setengah lahirlah adik-adiknya. Sekarang lengkaplah kebahagiaan kami dengan empat buah hati yang menyejukkan mata.

Semoga kisah ini bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun