Bagaimana tidak lucu, coba saja liat, denger, tonton, atau apalah istilahnya. Pokoknya perhatikan saja, apa yang sedang ramai. Yakin saya, kalau Anda akan merasa lucu. Lucu yang bukan mengundang tertawa lebar, melainkan ingin tersenyum tapi hati masygul. Pilu.
Apa ... apa contohnya?
Masih ingat? Tahun lalu ada fenomena lucu (sekaligus menyedihkan) yang disebut Citayam Fashion Week. Di mana saat itu ada sekelompok anak-anak tanggung (anak-anak bukan, dewasa pun belum) yang hobi nongkrong, di kawasan Sudirman Central Business District (SCBD), dengan pakaian seenaknya. Lalu beberapa di antara mereka berjalan berlengak-lengok di tempat penyeberangan jalan (zebra cross).
Aksi lengak-lengok itulah yang mengundang istilah Citayam Fashion Week. Lantas kemudian (di sinilah lucunya) aksi mereka itu diikuti oleh orang-orang yang notabene harkat derajatnya jauh di atas anak-anak tanggung tadi. Bahkan para artis top pun turun, ga mau kalah. Seolah panggung aksi itu harus jadi milik mereka juga.
Bahkan kemudian ketika CFW itu ditutup karena sudah dianggap mengganggu ketenteraman umum, banyak yang kontra. Banyak yang membelanya, dengan dalih macam-macam.
Lucu, tapi menyedihkan. Ketika tingkah laku bocah yg melenggak-lenggok di Citayem fashion week lebih pantas mendapat simpati daripada perjuangan para santri yang mensucikan kitab suci.
Hilang isu tentang Citayam itu, kini muncul hal lucu (namun menyedihkan) lagi. Gara-garanya ada seorang anak muda yang (berwajah) sedih, mengungkapkan kesedihannya karena diputus sepihak oleh teman wanitanya.
Anenya (sekaligus sedihnya) kesedihan anak tersebut menjadi viral. Bahkan si anak itu sendiri diberi nama khusus 'Sadboy'. Semua acara talk-show yang diasuh para artis, baik yang ada di TV maupun yang berupa podcast di chanel Youtube, seolah ketinggalan kalau belum mengundang si Sadboy itu.
Padahal dalam waktu yang hampir bersamaan ada seorang anak yang berprestasi (asli, ya, prestasinya) dengan memenangkan kejuaraan Matematika. Dan si anak berprestasi itu tidak terlihat muncul di media-media tadi, yang mengundang si Sadboy.
Lucu, tapi boro-boro ingin tertawa, saat tangisan si Sadboy, yang hanya putus cinta, lebih cepat di viralkan dan dinilai layak masuk TV di prime time, daripada penemuan kreatifitas anak-anak SMK kejuruan.
Lucu, tetapi ingin menangis, karena di negeri ini sebuah kekonyolaan lebih cepat di apresiasi daripada kebaikan yang berprestasi.
Masih ingat, kan, fenomena nge-prank?
Misalnya, saat seseorang, karena merasa punya uang banyak, nge-prank seorang tukang Ojol dengan memesan makanan senilai jutaan rupiah, lalu diarahkan ke alamat sebuah rumah kosong.
Walaupun akhirnya si Ojol senang karena dapat uang, tapi apakah pantas memperlakukan orang seperti itu. Dibuat objek kekonyolan demi konten yang harus viral?
Banyak lagi hal-hal lucu yang alih-alih mengundang tertawa, malah membuat sedih. Ketika artis dan pelawak lebih pantas mendapat bayaran tinggi daripada guru ngaji dan para honorer yang telah mengabdi puluhan tahun.
Ketika konser musik dan zina lebih bisa diterima dan sudah di anggap biasa daripada orang-orang yang berpegang teguh menjalankan perintah agamanya.
Ketika pemakai baju ketat dan kurang bahan dianggap lebih modern daripada perempuan-perempuan menggunakan pakaian tertutup.
Â
Dan ... puncak terlucu di negeri ini, menurut saya, adalah nanti di 14 Februari 2024.
Apa di tanggal segitu, Mas? Valentin, kah?
Bukan! Tapi Pemilu, Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg).
Lho! Apanya yang lucu?
Ya lucu, dong. Masa Pilpres dibarengkan sama Pileg?
Harusnya, kan, Pileg dulu. Memilih Anggota DPRRI. Baru Pilpres, memilih Presiden.
Karena untuk mengajukan calon, Parpol harus memenuhi Presidential Threshol, yaitu memperoleh minimal 15 persen jumlah kursi DPR atau 20 persen dari perolehan suara sah nasional.
Perolehan 15 persen jumlah kursi DPR atau 20 persen jumlah suara itu, kan, idealnya dari Pileg yang diselenggarakan sebelum Pilpres di tahun (periode) yang sama. Bukan dari hasil Pileg periode sebelumnya (Pileg 2019).
Lucu, kan, hasil Pemilu lima tahun silam dijadikan dasar untuk mencalonkan Calon Presiden (Capres) di tahun 2024.
Tapi ... lucu itu buat saya saja, sih. Kenyataannya memang ga dianggap lucu, kok.
Sudah resmi, kok, hasil Pileg 2019 dijadiin dasar menghitung perolehan suara dan kursi untuk Presidential Threshold.
Anda tidak merasa lucu, dengan semua yang saya tulis di atas?
Ya, boleh-boleh saja.
Lucu, dong, kalau saya memaksa Anda untuk merasa lucu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H