Untuk prajurit bertipe ketiga - yang tidak cerdas dan malas bekerja -- Von Moltke memberinya tugas-tugas yang sederhana, rutin, dan tidak menantang.
Prajurit yang bodoh tetapi secara fisik gesit, rajin bekerja, dianggap Von Moltke berbahaya. Karena mereka akan bicara dan bekerja serampangan sehingga butuh ekstra pengawasan. Prajurit-prajurit seperti ini akan selalu menjadi biang masalah. Trouble Maker.
Apa yang saya tulis di atas adalah pelajaran yang saya dapat setelah membaca buku MALAS TAPI SUKSES.
Di buku tersebut disebutkan bahwa seorang Jenderal perang yang memilih pemimpin untuk pasukannya, orang yang malas tapi cerdas. Bukan yang rajin (giat bekerja) dan cerdas.
Terus terang, saat baru membaca judul bukunya saja saya sudah kaget. Apalagi membaca isinya. Salah satunya tentang pemikiran si Jenderal Von Moltke tadi.
Judul buku yang sedang saya baca adalah Malas tapi Sukses. Sesuatu yang sangat Anomali, kan? Apalagi di tambah kalimat anak judul yang berbunyi Menggapai Apa Saja Tanpa Melakukan Apa-apa.
Mungkinkah tanpa melakukan apa-apa kita bisa menggapai sesuatu?
Itulah yang menjadi daya tarik buku ini untuk saya baca. Ketertarikan saya bertambah dengan klaim bahwa buku ini dinobatkan sebagai buku International Bestseller.
Pertanyaan yang muncul saat membaca judulnya adalah 'Mengapa orang malas bisa sukses?'
Jawabannya adalah realita yang ada di sekitar kita. Karena 'jasa' orang-orang malaslah, maka alat atau teknologi baru ditemukan. Makanya saya kasih judul artikel ini 'Berterimakasihlah pada Orang Malas'. Orang malas yang cerdas, ya. Bukan pemalas yang tidak cerdas. Karena pemalas yang tidak cerdas akan selalu rebahan.
Karena malas mendayung, saat berperahu, si Pemalas memasang layar di perahunya. Karena malas mengayuh sepeda, maka diciptakan mesin yang bisa menggerakkan roda sepeda. Sehingga kemudian muncullah sepeda motor. Itu dua contoh bagaimana gara-gara si Pemalas, ditemukan teknologi layar untuk menggerakkan perahu, dan sepeda motor.