Pasca Pemilu 2014, saat rakyat diberi dua pilihan untuk calon Presiden; Jokowi dan Prabowo, sejak itu seolah terjadi pemisahan dua kelompok masyarakat. Semakin lama pemisahan tersebut semakin melebar, dan puncaknya di Pemilu 2019, saat Jokowi dan Prabowo kembali bersaing memperebutkan kursi orang nomor satu di negeri ini.
Istilah Cebong dan Kadrun pun kerap terdengar dalam obrolan, terutama di media-sosial. Perdebatan dua kubu itu pun seringkali di'formal'kan dalam bentuk acara-acara talk show di televisi-televisi. Lantas, karena Jokowi yang memenangi kontestasi politik lima tahunan itu, maka seolah terjadi polarisasi di masyarakat. Ada yang Pro-Jokowi, dan ada yang Anti-Jokowi.
Bagi yang Pro-Jokowi, apa pun yang dilakukan Jokowi (pemerintah) adalah benar, harus didukung. Sebaliknya, bagi kubu yang Anti-Jokowi, apa pun yang dilakukan Jokowi (pemerintah) adalah salah, dan hatus dikritisi.
Sampai sekarang polarisasi itu masih terasa. Bahkan, walaupun Prabowo kemudian bergabung dengan kubu Jokowi, para (mantan) pendukung Prabowo ini tetap ada di kubu Anti-Jokowi.
Sedihnya, perbedaan yang awalnya hanya dalam dukungan politik pada dua tokoh calon presiden, sekarang bergeser (atau ada yang menggeser?) menjadi masalah agama (khususnya Islam) versus negara. Seolah-olah kubu Anti-Jokowi, yang mayoritas beridentitas Islam, adalah orang-orang yang anti nasionalisme, anti Pancasila, atau anti NKRI.
Polarisasi menjadi Islam melawan negara. Sehingga seolah terjadi pertentangan antara Islam dan negara. Tentu saja ini sangat mengkhawatirkan dan bahkan berbahaya. Karena, bagaimanapun, penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam. Bahkan terbanyak di dunia. Apalagi Islam -- dan kaum Muslimin -- tidak bisa dilupakan dalam sejarah bangsa ini. Baik saat melawan penjajah, maupun saat pembentukan pemerintahan (pasca proklamasi kemerdekaan).
Tak bisa dipungkiri, sejarah peperangan melawan penjajahan, banyak yang dilatari oleh sentiment agama (Islam). seperti Perang Diponogoro di Jawa Tengah, Perang di Sumatera Barat, Perang Aceh yang dipimpin pahlawan Wanita Cut Nyak Dien, dan beberapa perang lainnya.
Bukan hanya di masa penjajahan, di waktu-waktu menjelang dan pasca kemerdekaan (dibacakannya teks proklamasi) banyak bukti-bukti penting terkait dengan keterlibatan Islam dalam pemerintahan.
Saya akan mengutip perkataan dua tokoh penting yang membuktikan pernyataan di atas.
Bung Karno berkata*:
"Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang di sini agama yang hidup berkobar-kobar di dalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya badan perwakilan rakyat 100 orang anggotanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar supaya 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. Dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula."
(Naskah pidato dalam Sidang BPUPKI, 1 Juni 1945 di Gedung Chuo Sangi in)
Bung Hatta berkata:
"Dalam negara yang memakai semboyan Bhinneka Tunggal Ika, tiap-tiap peraturan dalan kerangka syariat Islam, yang hanya mengenai orang Islam dapat dimajukan sebagai rencana UU kepada DPR, yang setelah diterima oleh DPR mengikat umat Islam Indonesia. Dengan cara begitu, terdapat bagi umat Islam Indonesia suatu sistem syariat Islam yang teratur dalam undang-undang, berdasarkan Quran dan Hadis. Perbedaan hukum antara penduduk yang beragama Islam dan Kristen akan terdapat dalam bidang hukum keluarga, hukum perdata lainnya."
(Menuju Gerbang Kemerdekaan, Moh. Hatta, h.97)
Demikian, semoga kita tidak melupakan sejarah.
*newsdetikcom/berita/d-3517409/pemikiran-islam-bung-karno-dalam-pancasila
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H