Menarik saat membaca tulisan seorang Kompasianer yang mengeluhkan seringnya dia ditolak saat berbelanja atau membeli sesuatu menggunakan uang receh. Penjual tidak mau menerima uang receh dengan beralasan karena pembeli pun tidak mau diberi kembalian uang receh. Alasan yang umum adalah berat dan berabe.
Untuk diketahui pecahan uang logam atau receh atau koin yang beredar saat ini terdiri atas pecahan Rp. 100, Rp. 200, Rp. 500, dan Rp. 1.000.
Pecahan uang logam Rp. 500, dan Rp. 1.000 masih sekali-kali saya gunakan. Biasanya untuk bayar parkir. Sedangkan pecahan uang logam Rp. 100 dan Rp. 200 sudah jarang digunakan. Bahkan dalam beberapa bulan terakhir saya merasa tidak menggunakan uang pecahan yang Rp. 100 dan Rp. 200 itu. Dan saya yakin, banyak pula yang tidak pernah, atau jarang, menggunakan kedua uang logam tersebut.
Menarik juga apa yang ditanyakan Kompasianer tersebut dalam artikelnya, kalau memang jarang atau tidak digunakan lagi, kenapa harus dicetak pecahan uang logam Rp. 100 dan Rp. 200? Padahal untuk memproduksi kedua uang logam tersebut pasti ada biaya yang dikeluarkan.
Saya menulis artikel ini karena punya pengalaman yang sama. dan yang saya lakukan di rumah adalah menyimpan uang-uang receh tersebut dalam dua buah wadah. Satu untuk menyimpan uang receh Rp. 100 dan Rp. 200, satu wadah lagi untuk menyimpan uang logam Rp. 500 dan Rp. 1.000.
Jadi, setiap saya, istri, maupun anak-anak pulang ke rumah, dan di saku ada uang receh, kami simpan uang-uang receh tersebut di wadah tadi. Uang receh tersebut biasanya kami dapatkan dari pengembalian setelah kita beli sesuatu di pasar atau di mini market.
Nah, untuk pecahan yang Rp. 100 dan Rp. 200, kalau sudah banyak, istri selalu mengikatnya dengan selotif sehingga nilainya menjadi Rp. 1.000 atau Rp. 2.000, dan biasanya digunakan untuk belanja sayuran di tukang sayur keliling.
'Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit'. Itu peribahasa yang sudah kita ketahui semua maknanya. Yaitu, bahwa dari yang sedikit atau kecil kalau dikumpulkan akan menjadi banyak atau besar juga.
Peribahasa itu pas juga kalau diterapkan saat mengumpulkan pecahan uang receh. Uang receh Rp. 100 dan Rp. 200 kalau dikumpulkan tentunya akan menjadi banyak juga. Dan ini real, terjadi kenyataan (lihat foto).
Suatu hari, saya mengunjungi rumah seorang teman. Belum sampai ke rumah teman saya itu, saya melihat di teras masjid ada ibu-ibu yang sedang menghitung uang receh. Lalu saya tanya.