Contohnya seperti yang terjadi pada seorang sahabat. Sahabat tersebut mengadukan istrinya kepada Umar bin Khaththab karena terlalu cerewet. Tetapi Rasulullah Saw yang mendengar pengaduan tersebut memintanya untuk bersikap imbang. Bahwa pada setiap orang ada sisi baik dan ada sisi buruk, dan keduanya harus dilihat secara seimbang. Maka beliau pun bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim,
"Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah. Sebab bila ada satu sikap yang ia benci darinya, boleh jadi ada sikap lain yang justru ia suka."
Ada banyak di antara kita yang berharap terlalu banyak dari istrinya, dan inilah celah yang menyisakan kemungkinan munculnya kekecewaan yang berlebihan. Bahwa kita mengharap kadar kualitas kepribadian tertentu dari pasangan kita, Itu wajar. Namun, jika harapan itu melampaui batas kemampuannya, kita harus segera berpikir bahwa boleh jadi harapan dan kekecewaan yang juga dirasakan pasangan kita terhadap kita sendiri sebagai suami. Harus ada keseimbangan antara harapan yang wajar dan kesiapan untuk kecewa yang juga wajar.
Masalahnya kemudian adalah, haruskah kekecewaan itu diungkap?
Â
Jawabnya bisa ya, bisa tidak. Tergantung situasi kejiwaannya, untuk mengetahui bagaimana pengaruh yang ditimbulkan oleh ya atau tidak.
Untuk tujuan mempertahankan kesalingpercayaan dan keutuhan komunikasi, kekecewaan itu sebaiknya dipendam. Kesabaran dan kebesaran jiwa seharusnya membuat kita sanggup menutupi kekecewaan itu dengan senyum, agar hati dan perasaan pasangan kita dapat selalu terjaga. Karena apa yang paling menyakitkan hati wanita adalah ketika ia mengetahui bahwa suaminya tidak mencintainya.
Sebagian ulama bahkan menganjurkan untuk tetap tersenyum walaupun pura-pura tersenyum. Dan, inilah salah satunya alasan yang membolehkan seorang suami berdusta kepada istrinya, atau sebaliknya, seperti yang diriwayatkan oleh Muslim dan Ummu Kultsum binti 'Uqbah, yang berkata,
"Bahwa aku tidak pernah mendengarkan Rasulullah membolehkan sedikitpun kedustaan kecuali dalam tiga hal, (salah satunya) dusta seorang suami kepada istrinya (untuk kebaikan)".
Sebab boleh jadi, ketika Anda berpura-pura mencintai istri anda, Allah berkenan membuat Anda benar-benar mencintainya. Demikian juga sebaliknya. Dan hal itu sangat mudah bagi Allah.
Namun, kadang untuk tujuan pendidikan, atau pelepasan jiwa yang sudah tidak tertahankan, kekecewaan itu perlu juga diekspresikan. Bahkan, situasi semacam itu mungkin saja berkembang sedemikian rupa sampai pada tingkat mengambil keputusan untuk bercerai.