Masya Allah. Luar biasa. Keduanya saling meminta salah satu di antara mereka untuk mengungsi. Keduanya bersikukuh merelakan diri berhadapan dengan PKI. Sungguh, bukan nasib mereka yang dipikirkan, tetapi nasib para santri. Sampai beberapa saat keduanya saling meminta.
"Daripada berdebat tak ada ujung, sebaiknya adik berdua bersama-sama mengungsi. Biar saya, sebagai Lurah, tinggal di sini yang akan menjaga Pondok." Â Kiai Rahmat, sebagai kakak tertua, memberi solusi. Selain menjadi Lurah di Desa Gontor Kiai Rahmat Soekanto pun menjadi Imam salat di masjid Pondok.
Kantuk saya terasa hilang mendengar pembicaraan ketiga tokoh di dalam. Sungguh saya kagum kepada ketiganya, yang lebih mempedulikan saudaranya daripada dirinya sendiri. Ketegangan menghangatkan tubuh saya, membuat jantung terasa berdegup semakin keras. Apalagi kemudian, dengan tergopoh-gopoh seorang santri datang.
"Ada apa?" bisik saya saat santri itu sudah tiba di hadapan.
"Ini ... ini ada surat untuk Kiai," jawabnya.
"Surat dari siapa?"
"Surat dari PKI!"
"Hah!" Tentu saja saya kaget, keringat pun keluar membasahi seluruh tubuh. Segera saya menerima surat tersebut, lalu mengetuk pintu dan meminta izin untuk masuk.
Setelah mendapat izin saya masuk dan langsung menyerahkan surat tersebut. "Maaf, Kiai, ini ada surat dari PKI."
Beberapa jenak Kiai Zarkasyi tertegun sebelum menerima surat dan segera membacanya. Lalu beliau menatap wajah kedua saudaranya.
"Apa isi suratnya, Zar?" tanya Kiai Sahal.