Judul: Dendam di Bumi Mangir
Penulis: Antonius Darmasto
Penerbit: Narasi -- Yogyakarta
Tahun Terbit: 2010
ISBN: 978-979-168-177-3
Tebal: 659 halaman, Hard Cover
Terus terang, ketebalan dengan cover tebal dan ilustrasi gambar sampul yang membuat saya tertarik untuk membeli novel ini, selain karena temanya yang menjadi pavorit saya, fiksi sejarah.
Perlu sebulan lebih untuk menamatkan novel sejarah ini, karena sering terjeda oleh kesibukan yang lain. Juga karena di awal-awal alurnya agak lambat. Namun, di pertengahan cerita semakin menarik. Maka saya pun marathon, memanfaatkan bedrest karena sedang flu berat, meng-khatam-kannya.
Kisah diawali peperangan antara prajurit dari Kadipaten Jipang Panolan dengan prajurit Kesultanan Pajang yang terjadi di bantaran sungai Bengawan Sore. Peperangan dipicu oleh ketidakpuasan Aryo Penangsang, yang menjadi Adipati Jipang, atas diangkatnya Hadiwijoyo atau Karebet alias Joko Tingkir untuk menduduki takhta Kasultanan Pajang.
Adalah Pamedung, salah seorang Senopati perang Kadipaten Jipang, yang merasa aneh melihat arena peperangan. Karena tidak dilihatnya keberadaan tuannya, Aryo penangsang, di arena perang tersebut. Bahkan sampai peperangan berakhir dengan kekalahan Jipang, Pamedung tidak mengetahui keberadaan junjungannya, sampai kemudian dia mendengar kabar Aryo Penangsang gugur dengan cara menyedihkan.
Pasca peristiwa tersebut, Pamedung bagaikan Ronin, Samurai tak bertuan, yang kemudian meninggalkan Jipang dan berpetualang. Jadi, Novel sejarah setebal 659 halaman ini isinya mengisahkan pengembaraan Pamedung, Sang Ronin. Ia menjadi tokoh utama sepanjang kisah di novel ini, tidak ada peristiwa tanpa kehadiran Pamedung.
Petualangan Pamedung diawali di sebuah desa bernama Mangir, yang sedang disatroni sekelompok begal yang menjarah hasil panen penduduknya dan menculik para gadis Mangir. Dengan kesaktiannya, Pamedung berhasil mengalahkan pimpinan begal yang sakti, Kidang ali-Ali dan Menjangan Gelanting.
Sultan Hadiwijoyo sendiri, pasca mampu meredam pemberontakan Kadipaten Jipang, tidak lantas hidup tenang. Kekuasaan adalah kue manis yang setiap saat selalu saja ada orang yang ingin merebutnya. Begitupan kursi Kasultanan Pajang yang diduduki Hadiwijoyo.
Kisah pengembaraan Pamedung di novel tebal ini pun tidak terlepas dari upaya-upaya penggulingan Sultan Pajang tersebut. Latar sejarah yang kemudian mem-back ground-i perjalanan Pamedung adalah upaya-upaya kraman (makar) terhadap kesultanan Pajang. Sehingga kemudian Pamedung terlibat langsung dalam upaya penyelamatan Sultan Hadiwijoyo yang akan dikudeta anak angkatnya Danang Sutowijoyo.
Balas dendam, ambisi, perebutan kekuasaan dengan menghalalkan segala cara, serta adu ilmu kedigdayaan, selalu menjadi isu dari novel-novel sejarah. Begitupun untuk novel Dendam di Bumi Mangir ini. Sehingga saya sangat terpuaskan dengan adegan perkelahian tingkat tinggi dari tokoh-tokoh yang bertikai di kisah ini.
Pertarungan antara kebaikan dan kejahatan mampu diramu secara apik oleh penulis novel ini, Antonius Darmasto. Beliau pun berhasil membuat tokoh-tokoh di dalam novel ini menjadi hidup, dengan karakter-karakter yang kuat, disertai penuturan yang apik, yang membuat novel tebal ini tidak bosan dibaca.
Bahkan cara penulis menempatkan adengan-adengan krusial dan menegangkan perlu diacungi jempol. Sampai saya berani mengatakan kalau novel ini pun layak bila dimasukan ke kategori novel thriller.
Yang menarik lainnya, novel ini disertai Daftar Istilah yang disusun secara alfabetis dan Daftar Ungkapan. Sehingga, walaupun di dalam novel ini bertebaran istilah-istilah dan ungkapan-ungkapan dari bahasa Jawa halus, pembaca dapat mengetahui maksudnya.
Selain itu, di dalam novel ini pun bertebaran nama-nama jurus sakti yang dimiliki para tokoh, baik dari tokoh pembela kebenaran maupun tokoh-tokoh hitam. Sehingga, kita akan tahu bagaimana dahsyatnya jurus Ismu Gunting yang dimiliki Pamedung, yang mampu membelah air sungai menjadi dua sampai terlihat dasar sungai. Dan kemudian jurus ini digunakan dalam perang tanding, sampai musuhnya hancur berkeping-keping.
Juga ilmu Aji Bandung yang mampu menghisap kekuatan musuh yang dimiliki Ki Ageng Giring, yang kemudian juga diturunkan kepada Pamedung. Sementara jurus yang dimiliki tokoh antagonis salah satunya adalah Bayu Bajra, milik Ki Renggo, yang dalam salah satu pertarungan sempat melukai Pamedung sampai pingsan beberapa jam, beruntung bisa diselamatkan oleh Sunan Kali Jaga.
Kekurangan novel ini, menurut saya, tidak ada cerita nuansa para tokoh atau masyarakat sedang melaksanakan peribadahan Islam, padahal novel ini bercerita di era pemerintahan Islam sedang Berjaya di tanah Jawa pasca runtuhnya Majapahit. Sangat berbeda dengan novel Putri Sio yang saya review sebelum ini. Entah, mungkin karena penulisnya bukan seorang Muslim.
Lalu, bagaimana nasib Sultan Hadiwijoyo? Apakah beliau berhasil dilengserkan?
Terus bagaimana akhir kisah perjalanan Pamedung? Apakah happy ending, atau sebaliknya?
Dengan tebal 659 halaman penuh kisah (adengan) menegangkan, Anda akan merasa puas membaca novel ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H