"Lho, emangnya kenapa?"
"Iya kalau yang benar tanggal 9 Juli itu bertepatan dengan tanggal 9 Zulhijah, sebagaimana keputusan pemerintah dan NU, dosa-dosa saya selama dua tahun akan diampuni. Lha, kalau yang benar Muhammadiyah, tanggal 9 Juli itu sudah tanggal 10 Zulhijah, kan saya jadi dosa, karena puasa di hari tasyrik?"
Pertanyaan yang membuat saya ikut berpikir, 'benar juga, ya'. Maka saya pun mencari-cari referensi yang bisa menjawab kegelisahan teman saya itu.
Karena puasa Arafah itu berkenaan dengan pelaksanaan ibadah haji, Wukuf di Arafah pada tanggal 9 Zulhijah, maka ada dua pendapat dikalangan para ulama.
Pendapat pertama, penetapan hari Arafah didasarkan pada hari pelaksanaan wukuf jamaah haji di Arafah. Jadi menurut ulama yang mengambil pendapat ini, seluruh kaum Muslimin di dunia, yang tidak sedang melaksanakan ibadah haji harus melaksanakan puasa Arafah pada hari dimana wukuf dilaksanakan saat itu. Diantara yang menguatkan pendapat pertama ini adalah Lembaga Fatwa Saudi yang saat itu dipimpin oleh Syekh Bin Baz dan juga Lembaga Fatwa Darul Ifta' Mesir.
Pendapat kedua, menyatakan bahwa hari Arafah itu adalah mutlak tanggal 9 Zulhijah, baik bersamaan dengan jamaah haji yang sedang wukuf di Arafah maupun tidak bersamaan. Jadi menurut pendapat kedua ini, kaum muslimin bisa berbeda-beda dalam melaksananakan puasa hari Arafah, karena tanggal 9 Zulhijah tersebut ditentukan oleh ru'yah/hisab masing-masing negara, yang hasilnya bisa jadi berbeda dengan ru'yah wilayah Makkah. Pendapat kedua ini diantaranya dikuatkan oleh Lembaga Fatwa Eropa dan beberapa ulama dari Saudi seperti Syekh Utsaimin dan Syekh Jibrin.
Apabila dikaji lebih jauh, perbedaan-perbedaan diatas disebabkan oleh dua hal. Pertama, karena adanya perbedaan dalam menjelaskan maksud dari Arafah itu sendiri. Jika Arafah itu menunjukkan nama tempat, maka hari Arafah harus disamakan dengan hari wukufnya jamaah haji. Namun, jika Arafah itu menunjukkan waktu, maka hari Arafah (tanggal 9 Zulhijah) bisa jadi sama atau berbeda dengan hari wukuf jamaah haji.
Sebab kedua, dikarenakan adanya perbedaan dalam penentuan hilal/tanggal 1 bulan qamariyah. Jika menurut madzhab wihdatul mathali' (kesatuan tempat terbit hilal), maka hari Arafah jatuh bersamaan dengan hari wukufnya jamaah haji. Namun, kalau menurut madzhab ikhtilaful mathali' (keragaman tempat terbit hilal), maka hari Arafah jatuh pada tanggal 9 Dzulhijjah dan tidak harus sama dengan hari wukuf jamaah haji di Arafah.
Masing-masing pihak yang berbeda pendapat itu tentu memiliki dasar-dasar ilmu yang dijadikan referensi untuk pendapat mereka. Masing-masing pihak boleh meyakini dan menganggap bahwa pendapatnya lebih kuat (rajih) dibanding pendapat kelompok lain, bahkan dipersilakan masing-masing melaksanakan ibadah seperti puasa Arafah, salat Idul Adha dan ibadah kurban sesuai dengan keyakinnannya.
Namun harus dipahami, karena masalah ini termasuk masalah mukhtalaf fihi (diperselisihkan), maka tidak boleh ada yang mengklaim pendapatnya paling benar sementara yang lain salah. Sikap yang seharusnya adalah saling menghormati, bertoleransi dan lebih mengedepankan hal yang lebih penting dalam beragama yaitu Ukhuwah Islamiyah. Sebagaimana dicontohkan ulama-ulama terdahulu.
Perbedaan pendapat tidak membuat para ulama terdahulu bercerai-berai atau bermusuhan, mereka tetap bersaudara dan mengedepankan sikap toleransi. Mereka tidak menganggap pendapatnya paling benar sementara yang lain salah. Contohnya adalah Imam Syafi'i, saat menerima perbedaan, beliau berkata, "Ra'yi shawab wa yahtamil al-khatha', wa ra'yu ghairi khatha' wa yahtamil as-shawab", artinya "Pendapat saya (sementara) benar, tetapi kemungkinan ada salahnya. Dan pendapat orang lain (sementara) salah, namun kemungkinan ada benarnya".