Mohon tunggu...
Urip Widodo
Urip Widodo Mohon Tunggu... Peg BUMN - Write and read every day

Senang menulis, membaca, dan nonton film, juga ngopi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tutur Kata Politisi Kita

12 Mei 2022   10:38 Diperbarui: 12 Mei 2022   10:46 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk kesekian kalinya saya menulis atau mengomentari bagaimana para politisi elit di negeri kita tercinta bertutur kata.

Sebelumnya saya telah menulis ujaran-ujaran yang tak mengenakkan dari para politisi, seperti 'tempat jin buang anak', dan 'bahasa Sunda menakutkan', yang sempat ramai di media. Terakhir saya menulis tentang ucapan selamat Iedul Fitri Pak Menag yang lebay, karena membawa-bawa jumlah anak buahnya.

Mungkin sebagian dari Anda ada yang bilang saya rese atau lebay, karena menanggapi dan mengomentari omongan para politisi. No problem, saya hanya ingin mengeluarkan ketidakenakan di dalam hati melalui tulisan, karena mau mengelurkan lewat lisan, harus di mana dan ke siapa?

Kadang saya menulis memang hanya untuk melepaskan rasa jengkel yang memenuhi hati. Dan lagi, saya mengomentari karena mereka-mereka itu termasuk golongan 'yang terhormat' di negeri ini. Dan lagi, mereka sekarang berada di tempat terhormat itu karena andil rakyat kecil, seperti saya.

Bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan oleh semua lapisan masyarakat, termasuk oleh para politisi, mereka yang saya maksud terhormat itu. Bahkan mereka itu di'bayar' karena memang harus bersuara. Tugas mereka adalah berbicara. Berbicara itu menggunakan bahasa.

Sehingga tidak aneh kalau mereka sering tampil, menggunakan Bahasa, diberbagai kesempatan di hadapan publik; melalui media cetak, media online, wawancara atau talk show di televisi atau radio, dll.

Melalui bahasa pula para politisi berusaha memengaruhi masyarakat sehingga masyarakat bersedia melakukan apa yang diinginkan oleh mereka, atau setidaknya sepemikiran dengan mereka.

Semua politisi mempunyai tujuan untuk memenangkan dirinya dan partainya dalam pemilu. Atau berusaha supaya lawan politiknya kalah. Untuk mencapai tujuannya, tak jarang para politisi melanggar kesantunan berbahasa, disengaja atau tidak.

Keinginan yang demikian besar untuk mencapai tujuannya membuat politisi cenderung tidak memerhatikan perasaan mitra tutur. Seperti pernah terjadi di sebuah acara talk show di TV, seorang politisi muda, berkata-kata keras dari sisi intonasi juga cenderung kasar dari sisi pilihan kata, kepada lawan bicaranya seorang mantan politisi gaek, yang lebih pantas menjadi ayahnya.

Terbukti, esoknya rame di media-sosial tanggapan dari netizen terhadap si politisi tersebut. Beberapa tanggapan atau komentar dari netizen itu menganggap si politisi telah berbuat tidak sopan, tidak mencerminkan idealnya sosok seorang yang cerdas.

Kelakuan si politisi tersebut, dan politisi-politisi lainnya sebelumnya, mengakibatkan politisi cenderung mendapat predikat sebagai kelompok yang tidak santun, tidak jujur dan suka berbohong.

Tidak salah kalau masyarakat, atau saya pribadi, menilai demikian. Karena memang kenyataannya seperti itu. Bahkan saya sering berpikir, apakah para politisi itu tidak belajar dari kasus-kasus serupa yang dialami rekan-rekannya sesama politisi?

Seperti yang terjadi beberapa hari ini. Di beranda FB dan Twitter saya, saya mendapatkan informasi tentang ujaran (di era media-sosial, tulisan pun dianggap ujaran) dari dua orang politisi senior yang ucapannya tidak mencerminkan seorang politisi senior.

Ironisnya, ujaran keduanya bernada hinaan kepada daerah. Politisi yang satu jelas-jelas menyebut nama daerah, sementara politisi yang satunya lagi berniat menghina (mengejek) seorang politisi lain, tetapi bahan ejekannya menggunakan tanda khas daerah tertentu.

Banyak faktor yang melatarbelakangi kedua politisi tersebut mengeluarkan ujaran yang tak mengenakkan itu. Anda tahu, lah. Dan saya tidak akan membahasnya.

Kalau saja, kasus terakhir yang saya sebutkan di atas mencerminkan bahwa para politisi negeri ini tidak mau belajar mengelola ucapannya, maka sungguh sangat menyedihkan. Alih-alih mereka diharapkan bekerja untuk memperbaiki kondisi negara dan rakyat, malah memperkeruh dan membuat tidak nyaman.

Seharusnya mereka menjaga kehormatan yang telah diberikan rakyat. Sungguh benar apa yang dikatakan Imam al-Ghazali, bahwa 'Lidah itu sangat kecil dan ringan, tapi bisa mengangkatmu ke derajat paling tinggi dan bisa menjatuhkanmu di derajat paling rendah.'

Apalagi menjelang hajatan demokrasi yang tinggal dua tahun kurang. Lontaran-lontaran politis mereka lebih banyak menyebut kekurangan-kekurangan (calon) lawan mereka. Sepertinya mereka harus diingatkan dengan perkataan yang pernah disampaikan Imam asy-Syafii, 'Lidahmu jangan kamu biarkan menyebut kekurangan orang lain, sebab kamu pun punya kekurangan dan orang lain pun punya lidah.'

Sehingga, saat mereka menyebut kekurangan lawan politiknya, bersamaan dengan itu mereka pun sebenarnya menyebutkan kekurangan dirinya. 'Lidah seseorang itu dapat memberitahu tentang hatinya', demikian kata Ibnu al-Qayyim. Dan, 'Lidahmu adalah penerjemah akal pikiranmu.' kata Ali bin Abi Thalib.

Semoga kita, yang bukan politisi, dapat belajar dari kasus-kasus di atas. Semoga kita tidak turut memperkeruh suasana politik maupun suasana lainnya di negeri ini dengan tutur kata yang tidak baik, tidak sopan, dan tidak pada tempatnya.

"Lidah itu seperti singa, jika kamu membiarkannya lepas, ia akan melukai seseorang." (Ali bin Abi Thalib)

 

Semoga kita selalu ingat pesan Rasulullah Saw yang bersabda,

"Salaamatun insaan fii hifdzul lisaan".

(Keselamatan manusia tergantung pada kemampuannya menjaga lisan.). (HR. al-Bukhari).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun