Sudah dua pekan warga kampung Cikijing dibingungkan dengan kejadian yang terjadi setiap malam.
Setiap subuh selalu ada satu atau dua warga yang dikagetkan mendapatkan setengah karung beras plus sekilo gula dan segandu garam di depan pintu rumah mereka.
Selama dua pekan itu hampir semua warga kebagian 'bingkisan ajaib', demikian warga kemudian menyebutnya. Dan selama itu pula belum diketahui siapa dermawan yang malam-malam blusukan menyimpan bingkisan ajaib.
Si dermawan membagikan bingkisan Ajaib itu secara acak, dan tidak tentu juga berapa rumah yang malam itu mendapatkan bingkisan Ajaib. Biasanya semalam ada dua rumah, tapi terkadang Cuma satu rumah.
Pernah beberapa orang berusaha mengintip, malam-malam, untuk mengetahui siapa si dermawan itu. Namun, si dermawan seperti tahu akan diintip. Saat orang-orang mengintip di sebelah utara kampung, si dermawan beraksi di sisi selatan kampung.
"Menurutmu siapa, ya, orang baik yang tiap malam membagikan beras itu?" tanya Jumadi pada Karno. Keduanya sedang mengaso selepas mencangkul di sawah juragan Haji Sobarna.
Karno menyempatkan menghisap rokok dan mengepulkan asapnya dengan pelan, seolah berharap ada jawaban dari kepulan asap rokok itu. "Entahlah! Aku pun bingung. Saat di pagi aku mendapatkan bingkisan Ajaib itu, malamnya padahal ngobrol sama istriku sampai larut, ga mendengar suara orang berjalan ke rumahku. Entah jam berapa si dermawan itu menyimpan bingkisannya di depan pintu rumahku."
"Persis! Aku pun sama, empat hari yang lalu saat mendapatkan bingkisan ajaib, malamnya aku tidak tidur sampai tengah malam karena anakku sakit panas. Aku pun tidak mendengar apa-apa di luar rumah," timpal Jumadi.
"Mungkinkah malaikat?" tanya Karno.
"Yang jelas manusia berhati malaikat. Mana mungkin, lah ... kalau malaikat," jawab Jumadi seraya mengulurkan tangannya meraih kopinya yang tinggal separuh gelas.
"Ya ... semoga saja manusia-manusia berhati malaikat semakin banyak di kampung kita." Karno membuang rokoknya setelah memadamkannya dengan menekankannya ke tanah.
"Menurutku juragan kita pun termasuk manusia berhati malaikat, No." Jumadi meletakkan gelas kopi di nampan kayu lalu meraih pisang goreng.
"Pak Haji Sobarna maksudmu?" tanya Karno yang dijawab anggukan oleh Jumadi.
"Selain upah yang kita terima lebih besar dari upah di tempat lain, setiap hari juga ngasih kita kopi dan gorengan," tambah Jumadi.
"Betul, saya juga merhatiin, sekarang-sekarang ini, Pak Haji makin rajin ke masjidnya. Sekarang dia selalu paling pertama datang dan paling terakhir keluar masjid. Sedekahnya pun makin sering, hampir setiap hari selalu saja ada warga yang dikirimi makanan untuk buka puasa."
"Rupanya meninggalnya Bu Haji, sebulan yang lalu, sangat mempengaruhinya."
Obrolan keduanya terhenti karena harus melanjutkan pekerjaan mereka.
***
Mentari belum menampakkan diri walaupun cahaya peraknya sudah menerangi kampung Cikijing, saat sebuah suara dari toa masjid mengagetkan warga kampung.
"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, telah berpulang ke rahmatullah bapak Haji Sobarna, tadi malam, pukul 2 lebih 10 menit."
Bagaimana warga kampung tidak kaget, sehari sebelumnya mereka masih melihat Haji Sobarna beraktivitas seperti biasa. Juga tidak mendengar beliau sakit. Bahkan, kata Mang Karta, semalam dia ngobrol dengannya, tentang rencana renovasi Masjid sampai jam 11, dan tidak terlihat sakit.
Warga kemudian berbondong-bondong ke rumah Haji Sobarna. Sebagaimana biasa, warga berbagi tugas, ada yang menggali kubur, ada yang memandikan jenazah, ada yang membantu putri satu-satunya Haji Sobarna di rumah, dan lain-lain.
Taklupa warga pun membawa makanan dan minuman yang ada di rumah masing-masing, untuk menjamu tamu-tamu yang melayat, serta untuk menjamu warga yang bantu-bantu.di rumah Haji Sobarna.
Sudah lama, di kampung Cikijing, bila ada yang warga yang meninggal dunia, keluarga yang ditinggal tidak direpotkan dengan harus menyediakan atau memasak untuk para pelayat. Mereka tidak ingin membebani warga yang sedang berduka.
Menjelang Zuhur prosesi pemakaman Haji Sobarna selesai. Warga pun kembali ke rumah masing-masing. Beberapa warga, khususnya ibu-ibu, Kembali ke rumah Haji Sobarna, untuk menghibur dan menemani putri Haji Sobarna.
***
Sehari setelah meninggalnya Haji Sobarna, warga tidak ada yang merasa aneh. Warga kembali beraktivitas biasa. Termasuk Jumadi dan Karno yang mencangkul sawah almarhum.
Di hari ketiga warga baru menyadari, bahwa sejak meninggalnya Haji Sobarna tidak ada lagi warga yang mendapat bingkisan ajaib. Esoknya pun begitu, tidak ada warga yang di pagi hari mendapat kejutan dengan bingkisan ajaib.
Tahulah warga bahwa selama ini yang mengirim bingkisan ajaib ke rumah-rumah warga, tiap malam, adalah Haji Sobarna.
"Pantas ... waktu saya kemarin itu bantu-bantu di rumah pak Haji, di kamar yang belakang, saya lihat banyak beras berkarung, dan ada juga karung-karung kosong," cerita Bu Iyam pada ibu-ibu yang lain.
"Tidak heran kalau hidup Pak Haji selalu kelihatan tenang, usahanya pun selalu maju, sawah-sawahnya pun kalau panen selalu paling banyak hasilnya," timpal Bu Aneng.Â
"Iya, Bu. Bahkan kata suami saya, waktu memandikan jasad Pak Haji, dari tubuhnya itu tercium baru harum," tambah Bu Ratna.
"Suami saya juga cerita, waktu dia ikut mandiin, di pundak almarhum terlihat hitam-hitam. Rupanya karena tiap malam memanggul beras, pundaknya jadi kapalan." Ibu Reni tak mau ketinggalan berbagi cerita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H