"Apa yang ingin kau sampaikan?" tanya Sang Pengadil.
"Orang itu pernah sekantor denganku. Suatu hari dia memarahiku di depan orang banyak. Dia telah menyakiti hatiku, aku tidk rido dia masuk Taman Kenikmatan," ujar Orang tadi seraya menunjukku.
Saat Sang Pengadil mengkonfirmasi, aku pun mengangguk, aku ingat memang telah melakukan apa yang dia laporkan.
"Kalau begitu, serahkan sebungkus kebaikanmu padanya!" Sang Pengadil memutuskan.
Dengan berat hati kuturuti perintahNya. Orang itu menerima dengan senang.
Tiba-tiba terdengar lagi yang berteriak, "Tuhan, aku pun mau protes. Dia pernah pinjam uangku dan sampai sekarang belum membayar."
Disusul teriakan yang lain, "Tuhan, dia pernah menuduhku mencuri, padahal aku tidak mencuri. Aku mau menuntut, Tuhan."
"Tuhan, dia pernah memfitnahku," seru yang lain.
Dan, ternyata yang menuntutku tidak sedikit. Melihat wajah para penuntutku mengingatkanku akan kesalahan-kesalahan yang aku perbuat kepada mereka. Aku pun tidak dapat mengelak dari tuduhan mereka. Apalagi Sang Pengadil punya catatan terperinci rekam jejak perjalananku di dunia. Mustahil aku berbohong dengan mengatakan tidak melakukan apa yang mereka tuduhkan.
Sebagaimana keputusan yang pertama, Sang Pengadil memintaku menyerahkan kebaikan-kebaikanku sesuai kesalahanku pada mereka yang menuntutku.
Dengan hati masygul kukeluarkan sedikit demi sedikit kebaikanku. Saking banyaknya yang menuntut balas, kebaikanku yang sebanyak lima tas besar plus satu ransel habis tidak bersisa sedikit pun. Sang Pengadil pun menahanku memasuki Taman Kenikmatan.