Rajab, 3 tahun sebelum peristiwa Hijrah
Rupanya Allah Swt hendak terus menguji kesabaran Rasulullah Saw selepas dari problem yang menghimpit dadanya, yang membuat hatinya sakit, yaitu diboikotnya Bani Hasyim oleh masyarakat Makkah, dikucilkan selama tiga tahun lebih dengan tidak boleh ada yang berhubungan dengan mereka. Jual beli sekali pun.
Rasulullah Saw, bagaimanapun, merasa karena dakwahnya, seluruh keluarganya mengalami kesengsaraan yang sangat, walaupun kemudian, Allah Swt membebaskan Bani Hasyim dari pemboikotan itu.
Namun, kesedihan beliau berlanjut. Enam bulan selepas bebas dari pemboikotan, pamannya, Abu Thalib, jatuh sakit. Abu Thalib yang berusia lanjut, 80 tahun, kondisinya melemah setelah mengalami pemboikotan tersebut.
Bagaimanapun, Abu Thaliblah yang telah mendidik dan membesarkannya, yang mengajarinya berdagang sehingga kemudian menjadi pedagang yang sukses, sehingga kemudian seorang saudagar kaya, seorang janda, kepincut dan menginginkannya menjadi suami.
Abu Thalib pula yang selama ini membelanya saat dirinya dihina serta disiksa oleh orang-orang Quraisy, karena dianggap membawa ajaran baru, ajaran yang menentang penuhanan pada berhala.
Sakit Abu Thalib semakin kronis, menampakkan tanda-tanda umurnya tidak lama lagi. Melihatnya, Rasulullah Saw semakin bersedih. Terbayang kasih sayang pamannya, yang juga ayahnya Ali ini, kepadanya sejak beliau ditinggal kakeknya, Abdul Muthalib, di usia 8 tahun.
Kesedihan Rasulullah Saw bertambah saat sang paman tetap tidak mau mengucapkan dua kalimat syahadat menjelang kematiannya. Rasulullah Saw tahu kalau pamannya mengakui juga bahwa dia seorang Rasul, pembawa risalah Islam, bahkan sering membelanya saat beliau dihinakan para pembenci risalah. Namun, itu semua tidak cukup, pengakuannya harus dibuktikan dengan mengucapkan kalimat persaksian yang menyatakan 'tidak ada Tuhan selain Allah dan mengakui Muhammad adalah Rasul-Nya'.
Rasulullah Saw terus-menerus membujuk pamanya, Abu Thalib, "Wahai pamanku, ucapkanlah la ilaha illallah, dengan satu kalimat itu saya bisa membela paman di hadapan Allah kelak."
Abu Thalib bergeming. Kedua matanya menatap langit-langit tanpa ada sepatah katapun yang diucapkan.