Entah karena otakku terlalu kecil, nalarku dangkal, atau memang ilmuku cetek, sehingga enggak bisa memahami beberapa kejadian yang terjadi di negeri ini.
Kemarin, istriku uring-uringan karena sampai siang belum juga dapat minyak goreng. Panik, karena stok yang ada di rumah paling tinggal setengah liter. Padahal anak-anak baru mau makan kalau lauknya digoreng.
Aneh juga pikirku, saat istri curhat tentang minyak goreng yang langka. Aneh saja. bukannya di negeri kita ini perkebunan kelapa sawit sangat luas?
Karena akal saya pendek, saya harus nanya ke mbah gugel. Dan dapat info dari web katadata, bahwa menurut Kementerian Pertanian (Kementan) luas perkebunan minyak kelapa sawit mencapai 15,08 juta hektare (ha) pada 2021. Luas kan?
Apakah tahun kemarin gagal panen, sehingga tahun ini tidak ada yang bisa dibuat untuk minyak goreng?
Atau apakah ada mogok masal tenaga kerja di pabrik pengolahan kelapa sawit sehingga tidak jadi minyak goreng?
Saya nanya lagi ke si embah, dan menurut kontancoid tahun 2021 kemarin, produksi Crude Palm Oil (CPO) negara kita mencapai 46,88 juta ton. Juta ton, man .... Banyak lah itu.
Lalu pada kemana itu minyak goreng?
Saya sudah bilang tadi, otakku kecil. Jadi ... Entahlah!
Mungkin yang baca ada yang tahu?
Itu tentang minyak goreng. Sekarang tentang KPK yang, lagi-lagi, enggak kepikir juga sama otak saya.
Pertama, beberapa waktu lalu, para penyidik KPK di tes wawasan kebangsaannya. Yang enggak lolos ternyata cukup banyak, 50 orang lebih. Karena itu tes wawasan kebangsaan, artinya 50an penyidik yang enggak lolos itu dianggap orang-orang yang tidak berkebangsaan.
Yang tak sampai ke nalarku adalah, ada berita kemudian yang menyebutkan bahwa para penyidik itu kemudian direkrut menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) Polri. Menurut Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo, saat itu, Polri membutuhkan kontribusi 56 pegawai KPK itu untuk mengemban tugas di Bareskrim, khususnya terkait penanganan tindak pidana korupsi.
Laahhh ... kalau mereka dinyatakan tidak berwawasan kebangsaan kenapa masih diperlukan juga? Kalau mereka masih boleh bekerja, kenapa harus di'usir' dari KPK?
Entahlah!
Lagi soal KPK. Belum lama ini KPK meresmikan lagu mars dan hymne KPK. Sebuah kemajuan. "Lirik dalam lagu ini diharapkan bisa menjadi inspirasi seluruh insan KPK dalam bekerja dan menguatkan kecintaan kita pada bangsa Indonesia." Demikian menurut ketua KPK Firli Bahuri.
Yang menarik adalah yang menciptakan mars dan hymne KPK itu ternyata Ardina Safitri. Siapa dia? Tak lain dan tak bukan adalah istri dari Ketua KPK, Firli Bahuri.
Masalahnya? Ga ada masalah, sih.
Tapinya ... kok jadi lucu jadinya, ketika KPK memilih lagu yang diciptakan oleh istri ketuanya sendiri. Sementara KPK harus mencitrakan sebagai lembaga yang berwibawa, independen, dan anti suap, ini malah terlihat ada anunya.
Padahal yang saya tahu, dulu ..., para penyidik KPK itu jangankan dikasih makan siang, ditawari air mineral saja menolak. Itu untuk menjaga marwah lembaganya. Sesedikit mungkin mencegah jangan sampai ada konflik kepentingan.
Kenapa untuk lagu mars dan hymne KPK ini tidak disayembarakan saja. Ada ribuan lho di negeri ini para pencipta lagu. Saya yakin kalau disayembarakan akan banyak pilihan lagu-lagu yang berkualitas untuk dipilih.
Saya tidak menilai kualitas lagu yang diciptakan istri Ketua KPK itu, tapi menyayangkan, kenapa harus ciptaan dia yang dipilih.
Lagi-lagi ... entahlah!
Sebenarnya masih ada beberapa lagi, sih, yang membuat saya berpikir 'entahlah!'
Tapi, makin dipikirkan untuk ditulis malah makin mumet.
Mungkin, memang karena nalarku dangkal.
Ya ... sudahlah, semoga negeri ini makin waras saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H