Lembah Yarmuk, pertengahan Agustus 636 Masehi.
Mata Khalid bin Walid mengedar seluas Lembah Yarmuk. Sejauh mata memandang dilihatnya tubuh-tubuh manusia yang bergelimpangan. Tubuh-tubuh pasukan Muslim bercampur dengan tubuh-tubuh pasukan Romawi. Genangan darah di mana-mana, memerahi tanah di sepanjang sungai Yordan, yang selama enam hari menjadi saksi terjadinya pertempuran dahsyat.
Selama enam hari pula dada Khalid bin Walid bergejolak karena berbagai perasaan. Wafatnya Amirul Mukmini, Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, bagaimanapun bukan warta yang bisa diabaikan walaupun dalam kondisi sedang bertempur. Sedih menyelimuti hatinya saat mendengar orang yang paling dia hormati setelah Rasulullah menghembuskan nafas terakhir tanpa dia berada di dekatnya.
Karena memenuhi perintah Khalifah juga dia menarik pasukannya yang berjumlah 20 ribu dari Iraq dan membawanya ke Lembah Yarmuk untuk bergabung dengan pasukan yang dipimpin Ikrimah bin Abu Jahal.
Tapi kesedihan itu juga yang telah memantik bara semangat untuk berperang melawan seperempat juta pasukan Romawi yang dikirim langsung oleh Kaisar Bizantium, Heraklius, untuk mencegah ekspansi pasukan Muslim.
'Aku berperang karena Allah bukan karena Amirul Mukminin.' Di dalam hatinya dia bicara meneguhkan niat. Apalagi kemudian terdengar kabar juga, bahwa Umar bin Khaththab telah menggantikan Abu Bakar sebagai Khalifah.
Sorot mata Khalid memancarkan kebanggaan, rona wajahnya memancarkan rasa syukur atas kemenangan pasukan Muslim meluluhlantakkan kekuasaan Romawi yang terkenal digdaya.
Teriakkan takbir pasukan Muslim telah membuat sisa pasukan Romawi tunggang langgang meninggalkan ratusan ribu rekan mereka yang terluka atau tewas.
Kehebatan prajurit Romawi memang sudah terkenal. Tidak ada pasukan mana pun yang mampu menandinginya. Berita itu pula yang membuat Khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq merasa perlu menambah kekuatan, setelah sebelumnya memberangkatkan 24 ribu pasukan yang dipimpin Ikrimah bin Abi Jahal.
Ternyata mental prajurit Romawi tidak sehebat yang digaungkan selama ini. Menghadapai pasukan Muslim yang hanya seperenam jumlah pasukan mereka, pasukan Romawi bertekuk lutut. Tanda-tanda kekalahan mereka sebenarnya sudah terlihat sejak di hari pertama, saat salah seorang komandan perang mereka, Jarajah, terkagum pada pasukan Muslim, lantas memeluk Islam, dan bergabung dalam barisan Muslimin.
Namun, melihat bergelimpangan tubuh-tubuh pasukan Muslim yang tidak sedikit, mata Khalid bin Walid tidak sanggup menyembunyikan kesedihannya. Apalagi sampai saat itu, dia belum menemukan sosok Ikrimah bin Abu Jahal. Kekhawatiran pun berdesir di dalam hatinya.
"Kalian periksa, beri pertolongan pasukan yang terluka, dan yang syahid kalian kumpulkan." Khalid memerintah setelah melihat pertempuran benar-benar usai dan pasukan Romawi sudah tidak terlihat. "Terutama, cari pimpinan kalian, Ikrimah, laporkan kepadaku!"
Khalid bin Walid merasa perlu mencemaskan kondisi Ikrimah bin Abu Jahal. Di hari terakhir peperangan, Khalid menyaksikan Ikrimah memimpin pasukan kavaleri yang tersisa, menyerang pasukan infantri Romawi yang terjebak strategi Khalid bin Walid.
Setelah di hari pertama dan ketiga peperangan pasukan Muslim terdesak oleh serbuan pasukan Romawi yang seperti tiada habisnya, maka di hari keempat Khalid bin Walid mengubah strategi. Dia membagi pasukan kavaleri menjadi dua, dan ditempatkan di sayap kanan dan kiri serta menempatkan pasukan infanteri tetap di tengah, menghadang pasukan Romawi.
Strategi Khalid yang semula tampak defensif mulai bekerja. Pasukan Romawi dibiarkan bergerak maju lebih dahulu. Saat kuda-kuda mereka melewati garis depan pasukan Muslim, Khalid menyuruh pasukan infanteri tetap bertahan.
Setelah pasukan Romawi tiba di garis belakang pasukan Muslim. Saat itulah, mereka disergap pasukan kavaleri, dari sisi kanan dan kiri. Penyergapan ini mengakibatkan terpisahnya pasukan infanteri Romawi dengan pasukan kavalerinya. Mereka pun keteteran, terpecah, menyebabkan jumlah yang banyak sudah tidak berarti lagi. Di sisi lain, pasukan Muslim yang melihat pasukan Romawi mulai kewalahan bertambah semangat tempurnya. Pasukan infanteri pun merangsek, berbalik maju menyerang.
Dan di hari keenam, seolah ingin menuntaskan peperangan, Khalid bin Walid melihat Ikrimah maju berperang seperti kesetanan. Melihat tindakan nekat itu, Khalid bin Walid, sebagai panglima pasukan segera mengejarnya, "Ikrimah, kamu jangan ceroboh! Kembali! Kematianmu adalah kerugian besar bagi pasukan Muslim."
Namun Ikrimah hanya menjawab, "Biarkan aku, ya Khalid. Biarkan aku menebus dosa-dosa yang telah lalu. Aku telah memerangi Rasulullah di beberapa medan peperangan. Pantaskah setelah masuk Islam, aku lari dari tentara Romawi ini? Tidak, sama sekali tidak!" Kemudian dia berteriak, "Siapakah yang menginginkan syahid bersamaku?"
Beberapa orang segera mendekatkan kuda mereka ke samping Ikrimah, kemudian menerjang ke depan, menghadang pasukan Romawi yang terus maju. Barisan pasukan lawan pun porak poranda sampai kemudian berbalik mundur.
Pasukan Muslim yang diperintah Khalid segera menelusuri arena perang. Mereka memeriksa satu persatu tubuh-tubuh yang bergelimpangan. Kesedihan pun melumuri wajah meraka, ternyata tubuh-tubuh yang mereka periksa itu sudah tidak bernyawa.
Hampir saja mereka beranjak untuk memberi laporan pada Khalid bin Walid, ketika tiba-tiba ada suara lirih terdengar.
"Aiiirrr ... aiiiirrrr ... aiiiirrr ...."
Mereka segera mendekati arah suara.
"Hei, itu Al-Harits. Dia masih hidup. Cepat beri dia minum!" Salah seorang prajurit Muslim berteriak. Lalu dengan menggenggam tempat air, salah seorang prajurit segera menghampiri Al-Harits bin Hisyam yang tampak kehausan. Tetapi ... belum sempat prajurit itu memberi minum Al-Harits bin Hisyam, terdengar suara lagi. Beberapa meter sebelah kanan Al-Harits.
Â
"Aiiirrr ... aiiiirrrr ... aiiiiirrrrr ...."
Al-Harits bin Hisyam menahan tempat minum yang hampir mendekati mulutnya. "Saudaraku, berikan saja air ini untuknya. Dia sepertinya lebih kehausan dari pada aku," dengan lirih Al-Harits berkata seraya mengangkat tangannya, menunjuk ke arah suara.
Prajurit yang membawa tempat minum menatap mata Al-Harits, Al-Harist pun tahu maksudnya. Dia kemudian mengangguk, meyakinkan si prajurit untuk beralih ke arah suara.
Ternyata Ikrimah bin Abu Jahal yang meminta air. Si prajurit yang membawa tempat air tertegun melihat kondisi tubuh Ikrimah. Tubuh Ikrimah yang tidak ber-zirah* berlumuran darah. Puluhan luka sabetan pedang menghisasi seluruh tubuhnya. Tiga anak panah menancap di dada, lengan kiri bagi atas dan di paha kanannya. Si prajurit baru tersadarkan setelah Ikrimah kembali meminta air dengan suara lirih.
Si prajurit segera berjongkok mengangkat kepala Ikrimah bin Abu Jahal hendak memberinya minum. Namun, tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara lagi yang meminta air. Ikrimah pun menutup mulut dengan tangan kirinya.
"Jangan! Berikan saja air ini kepada saudaraku yang di sana. Dia sepertinya lebih kehausan daripada aku." Ikrimah menunjuk arah suara yang terdengar dengan tangan kanannya.
Si prajurit tidak beranjak. Tetap hendak menuangkan air ke mulut Ikrimah.
"Jangan!" ucap Ikrimah sedikit keras seraya melotot.
Si prajurit menoleh ke arah sumber suara, setelah memastikan lokasinya dia lalu beranjak menghampiri orang ketiga yang kehausan. Walaupun jarak arah suara itu tidak terlalu jauh, namun banyaknya mayat yang bertumpuk-tumpuk cukup menghambatnya.
"Ooh ... Ayyass, kau kah itu?" Si prajurit mengenali orang ketiga yang kehausan, orang itu rupanya Ayyasy bin Abi Rabi'ah.
Tetapi tidak ada jawaban dari Ayyasy. Jangankan menjawab, mulut Ayyasy terbuka pun tidak. Mulutnya tidak lagi mengeluarkan suara lirih meminta air. Rupanya malaikat lebih dahulu menjemput nyawa Ayyasy.
Si prajurit menubruk tubuh Ayyasy, merangkulnya setelah memastikan Ayyasy sudah syahid. Lalu, dia teringat Ikrimah dan segera berlari kembali ke arah Ikrimah untuk memberinya minum. Namun terlambat. Tubuh Ikrimah sudah membujur kaku. Ikrimah pun telah syahid tanpa meneguk setetas pun air yang dimintanya.
Khawatir bernasib sama, terlambat diberi minum, si prajurit segera berlari ke lokasi tadi dia meninggalkan Al-Harits bin Hisyam, yang meminta air pertama. Dan rupanya Al-Harits tidak mau ketinggalan oleh saudaranya yang telah menjadi syuhada*. Si prajurit tertegun melihat Al-Harits bin Hisyam.
Rasa bersalah memenuhi rongga dadanya. Dia melirik tempat minum yang dipegangnya. Ketiganya menggapai syuhada tanpa sempat meminum setetes air pun, karena lebih mementingkan yang lain.
***
*zirah = baju besi (pakaian perang)
*syuhada = sebutan untuk yang mati syahid
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H