membaca disebut 'kutu buku', dan seringnya digambarkan sang 'kutu buku' itu profilnya berkacamata tebal, penyendiri (kuper).
Sudah menjadi istilah umum bagi orang yang gemarKalau dia perempuan, biasanya rambutnya dikepang dua, dan kalau lelaki gaya rambutnya belah samping. Saya beberapa kali melihat penggambaran seperti itu di film-film Indonesia atau di sinetron-sinetron.
Entah, mungkin ini alasannya membaca menjadi sesuatu yang tidak disukai. Membaca di-image-kan hanya menjadi hobi orang-orang pintar. Mungkin dengan image kacamata tebal itu, ya?
Tak heran masyarakat kita jauh dari budaya membaca, tidak suka membaca. Sehingga peringkat literasi Indonesia terpuruk di 2 paling bawah, konon hanya bisa mengungguli Botswana.
Menempati peringkat 60 dari 61 negara tentu menjadi sesuatu yang memalukan. Walaupun kita masih bisa berdalih; harga buku mahal, perpustakaan belum tersedia merata, dll. Tetapi mungkin juga alasan di atas bahwa membaca adalah khusus hanya untuk orang-orang pintar saja menjadi salah satu faktornya.
Padahal logikanya, yang membaca itu adalah orang-orang yang lagi mencari tahu sesuatu, atau orang yang merasa 'bodoh'. Yang tidak tahu akan hal sesuatu untuk kemudian membaca untuk mencari jawabannya.
Ya ... seperti orang yang makan, pasti yang makan itu orang yang sedang lapar. Membaca juga seperti itu, mereka yang membaca tentunya adalah orang-orang yang mencari ilmu alias merasa bodoh.
Jadi ... kalau yang suka membaca itu adalah orang-orang yang merasa bodoh, lalu mereka yang tidak suka membaca adalah orang-orang pintar dong? Â Bisa jadi!
Yang jelas, mereka yang tidak suka membaca ada di 3 kemungkinan berikut: pertama, mereka sudah terlampau pintar, sehingga tidak merasa perlu menambah pengetahuan dengan membaca.
Kedua, mereka yang sudah menyadari kebodohannya tetapi belum tahu bahwa membaca bisa menjadi salah satu cara untuk menghilangkan kebodohan.Â
Dan ketiga, mereka yang belum menyadari kebodohannya.