Mau bagaimana lagi, media sosial sudah menjadi kehidupan kedua bagi hampir setiap orang. Setiap hari, setiap jam, bahkan setiap menit kehidupan kedua itu selalu singgahi. Walaupun kehidupan kedua itu hanya ada di dunia maya, tetapi justru seolah itu menjadi penghibur kita kala di kehidupan pertama (utama) kita sedang galau.
Maka, tak heran, media sosial di dunia maya sekarang penuh dengan aneka curahan hati penghuninya. Beragam curhat-an dapat kita baca; ekpresi kebahagiaan, sorakan kesuksesan, tangisan pilu, sumpah serapah, sampai hinaan yang tidak pantas diucapkan (dituliskan).
Ya, media sosial telah mengubah fungsi jari-jemari menjadi pengganti bibir sebagai alat pengucap. Bahkan, karena lebih fleksibel dibanding dua buah bibir, apa yang di'keluarkan' darinya melebihi apa yang bisa dikeluarkan mulut dengan dua bibirnya. Bahasa tulisan ternyata lebih dahsyat daripada Bahasa lisan. Apalagi ditambah kemudahan meng-klik untuk menayangkan apa yang ditulis.
Kalau kata-kata yang diucapkan secara lisan mudah untuk dilupakan, baik oleh si pendengar maupun oleh yang mengucapkan. Maka kata-kata yang ditulis justru lebih kuat rekamannya, sehingga sukar untuk mengelak ketika ada orang yang mengkonfirmasi apa-apa yang pernah kita tulis. Apalagi di dunia medsos di internet ini ada yang dinamakan jejak digital.
Tidak jarang, jejak digital seseorang digunakan untuk menilai orang tersebut. Entah oleh gurunya, atasannya di kantor, orang tuanya, istri/suaminya, bahkan mungkin saja oleh calon mertuanya.
Tidak jarang pula, ada seorang calon tenaga kerja yang lulus di seleksi tahap pertama dan kedua, tetapi kemudian dibatalkan kelulusannya hanya karena gara-gara sebuah statusnya di Facebook.
Ada satu peribahasa asing, 'Scripta manent verba volant' yang artinya 'Apa-apa yang tertulis akan abadi, apa-apa yang terucap akan hilang'.
Peribahasa asing di atas memberikan warning kepada kita untuk lebih berhati-hati saat menuliskan sesuatu dibandingkan mengucapkannya. Walaupun berkata-kata pun tetap harus hati-hati, tidak boleh seenaknya mulut kita.
Kalau kita sepakat sekarang ini jari-jari sudah menggantikan mulut, alias menulis sudah identik dengan berkata-kata. Maka, satu hadis berikut sangat relevan untuk dijadikan pedoman supaya kita berhati-hati saat menulis.
Hadis ini cukup populer di kalangan anak-anak TKIT karena menjadi salah satu dari beberapa hadis yang wajib dihafal.
Rasulullah Saw bersabda,
"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata baik atau diam." (HR. Bukhari).
Jadi, bagi orang yang beriman hanya ada ada dua pilihan; berkata yang baik-baik atau (kalau tidak bisa berkata baik lebih baik) diam.
Dalam konteks kekinian, saat menulis sama dengan berkata-kata, hadis di atas dapat juga diartikan, 'Kalau tidak bisa menulis yang baik-baik, lebih baik diam (jangan menulis)'. Karena, kalau dipaksakan juga, tulisan Anda malah akan menjadi 'artikel sampah'.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H