Merasa tidak akan mampu berlari terus dan mustahil kalau dapat menyusul rombongan, Aisyah pun terduduk lemas, pandangannya kosong ke arah jalan yang dilalui Rasulullah SAW. Kaget, sedih, takut, khawatir dan berpuluh-puluh kegalauan rasa bercampur baur dalam dadanya. "Ya Allah ... kenapa mereka meninggalkannku?" rintih Aisyah.
Aisyah pun kemudian kembali ke tempat semula beristirahat. Dia berniat menunggu dengan harapan mereka akan menyadari telah kehilangan dirinya dan kembali menjemputnya. Angin sejuk pun menerpa tubuhnya seolah ingin menemaninya dalam kesendirian. Kesejukan yang dirasakan ditambah kesepian yang mengelilinginya, membuat Aisyah tertidur.
Di saat yang bersamaan, ternyata bukan hanya Aisyah yang tertinggal rombongan. Adalah Shafwan bin Mu'aththal As-Sulami Adz-Dzakwani yang karena satu keperluan dia harus berangkat paling akhir. Selepas fajar saat dia mau meneruskan perjalanan ketika melewati tempat Aisyah, dia melihat bayangan di balik pohon, yang setelah didekati, kaget tidak kepalang, ternyata bayangan hitam itu Aisyah, Ummul Mu'minin yang sedang tidur.
"Inna Lillaahi wa Inna Ilaihi Raji'uun," reflek Shafwan mengucapkan kalimat istirja'.
Mendengar suara itu Aisyah pun terbangun. Ada rasa kaget sekaligus senang saat melihat ada orang lain di sana. Dan ternyata orang yang dikenalnya dan sudah tidak asing, Shafwan, yang beberapa kali pernah berkunjung ke rumah Rasulullah SAW.
Aisyah pun menceritakan keadaannya sampai tertidur di sana. Melihat Aisyah menangis sambil bercerita, Shafwan merasa kasihan dan tidak sanggup berkata apa-apa kecuali terus mengucapkan kalimat istirja'.
Shafwan pun segera menuntun untanya dan mendudukkannya dan meminta Aisyah untuk menaikinya. Ada sedikit keraguan dalam diri Aisyah, tetapi tidak mau mengambil risiko kalau-kalau Rasulullah tidak menjemputnya, dia pun akhirnya mau naik ke unta milik Shafwan.
Segera mereka berangkat dan berharap dapat menyusul pasukan kaum Muslimin. Selama perjalanan mereka tidak berkata-kata, Shafwan hanya menuntun untanya dengan segera. Begitupun dengan Aisyah. Kondisi yang belum pulih dari rasa takut selama menunggu sampai munculnya Shafwan, membuatnya hanya bisa duduk termenung di atas unta.Â
Apalagi cuaca siang di bulan Sya'ban itu, teriknya sangat menyengat. Tak terbayangkan tersiksanya Aisyah, melakukan perjalanan jarak jauh di siang terik dengan tiada teman bicara. Sementara Shafwan menyadari etika Islam yang mengharuskannya menjaga jarak dengan perempuan yang bukan muhrim, apalagi ini Aisyah, istri Rasulullah SAW, Ummul Mu'minin.
Hening menyertai perjalanan mereka berdua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H