Dalam pidatonya, Syahrir mengajak bangsa-bangsa Asia untuk bersatu atas dasar kepentingan bersama demi tercapainya perdamaian dunia. Hal ini, menurut Syahrir, hanya bisa dicapai dengan cara hidup berdampingan secara damai antar bangsa serta menguatkan ikatan antara bangsa ataupun ras yang ada di dunia. Pernyataan Syahrir ini mengawali sikap politik luar negeri Indonesia yang kemudian dikenal dengan Politik Bebas dan Aktif.
Setahun kemudian, politik luar negeri Indonesia baru mendapatkan bentuknya secara resmi. Tepatnya, ketika Wakil Presiden Mohammad Hatta memberi keterangan di hadapan BP KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) mengenai kedudukan politik Indonesia pada 2 September 1948. Dalam pidatonya yang berjudul "Mendayung di antara Dua Karang", Hatta menegaskan bahwa Indonesia menolak untuk masuk ke dalam salah satu blok dalam perang dingin.
Terlihat jelas dalam cuplikan pidato Hatta: "Tetapi mestikah kita bangsa Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan negara kita, harus memilih antara pro-Rusia atau pro-Amerika.Â
Apakah tidak ada pendirian yang lain yang harus kita ambil dalam mengejar cita-cita kita? Pemerintah berpendapat bahwa pendirian yang harus kita ambil ialah supaya kita jangan menjadi objek dalam pertarungan politik internasional, melainkan kita harus menjadi subyek yang berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan tujuan kita sendiri, yaitu Indonesia merdeka seluruhnya".
Sejak itu, Indonesia menganut politik luar negeri bebas-aktif yang dipahami sebagai sikap dasar Indonesia yang menolak masuk dalam salah satu blok negara-negara adidaya, menentang pembangunan pangkalan militer asing di wilayah Indonesia, menolak terlibat dalam pakta pertahanan negara-negara besar. Namun, Indonesia tetap berusaha aktif terlibat dalam setiap upaya meredakan ketegangan dan menciptakan perdamaian dunia.
Lihat! Betapa gagah dan beraninya Sutan Syahrir dan Mohammad Hatta menyatakan kemandirian sikap bangsa Indonesia di hadapan dua kekuatan yang sedang bersitegang.
Lalu, kalau itu dahulu, bagaimana dengan sekarang? Pertanyaan ini harus dijawab dengan tulisan yang lain. Saat ini saya hanya ingin menulis sejarah. Sejarah tentang kegagahan, keberanian dan kemandirian sebuah negara, bernama Indonesia.
TSM, 04/09/20
Referensi: Swantara edisi 20/2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H