Pengantar
   Ujian berat benar-benar sedang dihadapi sektor pendidikan pada era milenial ini, yaitu era kelahiran 80-an hingga 2000-an. Era dimana segala proses kehidupan berjalan serba cepat, serba instan. Bagaimana  tidak, anak-anak masa kini mendapatkan informasi dan pendidikan tidak  hanya dari guru atau  orang tuanya langsung, melainkan dapat melalui berbagai macam alat teknologi canggih yang tergenggam di tangannya dan setiap saat  muncul ketika dibutuhkan. Apa yang dibutuhkan, terjawab secara instan.Â
    Teknologi informasi dan komunikasi yang berkembang sangat pesat, memberikan kemudahan-kemudahan dalam mengakses informasi dan pendidikan, melebihi kemudahan yang diberikan guru dan kedua orang tuanya di rumah. Kemudahan ini sekaligus sebagai jebakan yang  dengan sadar dilakoninya dengan taat, ditambah tidak adanya perhatian pemerintah dalam hal regulasi pendidikan masyarakat, telah secara nyata mementahkan seluruh proses pendidikan pada lembaga formal, non formal, maupun informal.
Pendidikan
      Pendidikan  menurut Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 merupakan upaya sadar dan terencana agar  peserta didik dapat mengembangkan keterampilan dan kemampuan diri untuk menjadi manusia yang cerdas, berahlak, dan beradab. Muaranya tentu mendudukkan manusia sebagai subjek dan objek pembelajaran agar menjadi mahluk yang beretika, bermoral, berbudaya, dan beradab sebagai orientasi utama. Tataran narasi yang sangat indah, namun terasa pahit getir dalam prakteknya di lapangan. Idealisme yang sangat tinggi, sehingga mustahil digapai, saking tingginya gagasan tersebut sehingga bukan upaya cerdas yang dicari untuk mencapainya, melainkan upaya menghindar dan membiarkan proses yang terjadi di lapangan.Â
    Akibat pembiaran oleh pemerintah, proses pendidikan tidak dapat menghasilkan manusia berkarakter sebagaimana yang diidealitakan dalam Undang-undang. Pendidikan berjalan liar, nilai-nilai positif berbenturan keras dengan nilai-nilai negatif yang dibawa oleh kemajuan teknologi informasi tanpa pengawasan yang memadai. Sikap serba boleh (permisif) terhadap ideologi merusak tidak diantisipasi secara serius sehingga muatan negatif lebih menonjol dan menguasai hampir semua lini hasil pembelajaran yang akan, sedang, dan telah dilaksanakan hingga saat ini.
      Idealisme pendidikan nasional yang digagas Undang-undang Sisdiknas adalah membentuk mentalitas dan pribadi peserta didik yang unggul, namun dalam perjalanan membentuk mentalitas tersebut, nyaris tidak ada pengawasan sehingga liar dan berjalan 'srugal-srugul' menuju ke jurang kehancuran. Pendidikan yang berorientasi penanaman nilai budaya dan akhlak tergerus oleh pendidikan instan melalui HP, Gadget, dan media online lainnya yang lebih menarik dan efektif, tidak banyak aturan dan birokrasi. HP dan media online lainnya menjadi bagian tak terpisahkan pada generasi milenial, hampir-hampir benda gepeng itu menjadi benda kesayangannya melebihi apa dan siapa pun yang ada di lingkungan sekitarnya. Perubahan perilaku pun akan terjadi secara sistematik dan massif mengingat tuntunan moral dan etika begitu sangat tidak penting dalam dunia online.
      Kebebasan anak-anak memegang peralatan komunikasi tanpa kendali, satu sisi menjadi bukti bahwa generasi masa kini akrab dengan perubahan zaman, namun karena penuh jebakan akan muatan nilai-nilai yang merusak, maka tetap harus diberikan rambu-rambu dan aturan yang jelas disertai sangsi yang tegas mengenai jam penggunaan dan konten yang diakses. Di sinilah kecolongannya sistem pendidikan kita, lepas kontrol dan tidak waspada terhadap  produk pendidikan yang berjalan melenceng dari tujuan yang telah ditetapkan. Tidak adanya aturan penggunaan alat akses telekomunikasi dan informasi menjadikan proses pendidikan menjadi mentah dan tidak mencapai hasil yang diidam-idamkan. Pendidikan instan tidak membentuk pola budaya baru yang lebih humanis dan beradab.
      Bayangkan saja, pembelajaran di sekolah hanya berlangsung sekitar 3-5 jam dari 24 jam sehari semalam. Sedangkan proses pendidikan di luar sekolah, yaitu rumah tangga dan masyarakat berlangsung selama kurang lebih 19-21 jam setiap harinya. Mana yang lebih membekas dalam jiwa anak? Tidak usah dijawab keras-keras, cukup pelan tapi tandas. Di sekolah anak-anak selaku peserta didik ditanamkan nilai-nilai disiplin, kebersamaan, dan ketuhanan, namun setelah sampai di rumah, kedua orang tua tidak memperdulikan mereka sehingga mencari perhatian pada subjek dan objek yang lain yang dipandang lebih tahu isi hatinya, ya HP, gadget, game online, dan media online menjadi jawabannya. Maka, penanaman nilai-nilai hanya ada dan terjadi di sekolah saja, di luar sekolah suka-suka saja, tidak ada lagi aturan yang mengikat dan harus ditaati.Â
    Pendidikan norma, etika, dan budaya hanya ada di sekolah saja, sekeluar anak-anak dari sekolah selesai sudah, tidak ada yang perlu ditaati. Kedua orang tua bahkan tidak jarang justru me-yatimpiatu-kan  anak-anaknya dengan membiarkan mencari jalan pendidikan sendiri di rumah dan di lingkungannya tinggal. Kedua orang tua tidak mau tahu anaknya bergaul dengan siapa, berkegiatan apa dengan teman-teman sebayanya, dibiarkan liar. Sehingga runtuhlah bangunan pendidikan yang dilakukan oleh guru di sekolah, anak-anak sebagai peserta didik telah menentukan pilihannya dengan meniru pola sikap dan perilaku tokoh idolanya di luar institusi pendidikan yang dengan bebas diaksesnya kapan saja mau. Lalu apa yang diharapkan dari proses besar pendidikan kita? Kesia-siaan yang dipertontonkan secara jelas, proses pendidikan berjalan tanpa arahan pasti.
Kebudayaan
     Idealnya pendidikan akan menjadikan budaya manusia lebih meningkat, dengan kualitas  kebudayaan yang meningkat arah peradaban yang mencerahkan menjadi semakin jelas. Namun sekali lagi, antara yang terjadi  (das sein) dan yang seharusnya terjadi (das solen) terlalu jauh jaraknya, alias tidak nyambung. Keinginan hati proses pendidikan memunculkan manusia yang berbudaya, berahlak, dan beradab, namun yang mewujud adalah manusia yang bengal dan biadab.Â
     Bagaimana tidak, fakta-fakta  tak terbantahkan bahwa munculnya koruptor-koruptor adalah produk pendidikan yang selama ini dilaksanakan, artinya proses pendidikan tidak mempengaruhi pola pikirnya dalam menjalani kehidupan nyata. Pendidikan nilai tidak memanifes dalam perilaku dan budaya yang terbentuk, pendidikan macan ompong. Pendidikan tidak membekas dalam pola pikir dan perilaku kehidupan, tidak membawanya pada taraf perbaikan pola pikir (mindset) yang lebih baik dalam memandang diri dan lingkungannya. Para koruptor bukanlah orang yang berpendidikan rendah, bahkan tak jarang mereka menyandang serentetan gelar, pelaku krimimal terdidik ini lebih berbahaya dibandingkan yang berasal dari latar belakang tak terdidik karena memiliki daya rusak yang lebih dahsyat.
 Oleh karena itu, kaji ulang proses dan evaluasi proses pendidikan harus dilaksanakan agar kesia-sian demi kesia-siaan dapat dihentikan. Pendidikan harus melekat dengan pembudayaan nilai-nilai luhur bangsa, bersendikan pada nilai-nilai  Pancasila yang agung. Pendidikan harus terintegrasi antara bidang formal, non formal, dan informal yang harus terprogram satu paket, jangan terpisah-pisah seperti yang selama ini terjadi. Pendidikan yang terpotong-potong akan memutus rantai pendidikan yang tengah dilaksanakan, pendidikan tidak membangun aspek kehidupan secara utuh.Â
    Pendidikan harus terdesain dalam aspek formal di sekolah-sekolah, terealisasikan dalam aspek non formal dalam masyarakat, dan berbasiskan pada pendidikan nilai dari dalam  keluarga (informal). Keluarga sebagai institusi dasar pendidikan keberadaannya harus terus-menerus dikuatkan agar dapat menjadi mitra aspek pendidikan formal dan non formal secara efektif dan efisien di lapangan. Perlu kurikulum terintegrasi pendidikan formal, non formal, dan informal untuk capaian tujuan pendidikan yang lebih terarah, terukur, dan terencana secara optimal.
Monster
       Mahluk macam apakah monster itu? Inilah mahluk yang dikhawatirkan muncul dari proses pendidikan yang selama ini kita laksanakan. Monster adalah sesosok mahluk ganas, hitam, bergigi tajam, bermata merah dan nanar, berambut gimbal awut-awutan, dan akan melumat siapa saja yang akan menghalangi keinginan dan cita-citanya. Masa iya pendidikan menghasilkan mahluk sejenis itu? Jawabannya, kenapa tidak?
    Pendidikan hanyalah sarana untuk membentuk watak dan karakter peserta didik, kalau pendidikan tidak terarah dan awut-awutan, tidak berdasarkan pada nilai-nilai dan budaya bangsa, maka yang akan muncul adalah mahluk ganas tersebut, ya monster itu. Hanya saja, monster ini secara fisik masih berwujud manusia, hanya pikiran, mentalitas, dan jiwanya saja yang rusak, menjauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Segala sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan dan cita-citanya akan dihancurkan karena dianggap sebagai penghalang. Bukankan mentalitas tersebut sudah nampak dalam kehidupan kita secara nyata?
      Lihatlah para calon pejabat kita ketika berusaha mencapai tujuannya, mereka saling sikut, saling jegal, dan tak jarang saling mencelakai satu dengan yang lain, baik dengan cara halus maupun kasar. Tidak ada lagi nilai-nilai Pancasila di dadanya, hilang. Tidak ada lagi nilai ketuhanan, kamanusiaan, rasa nasionalisme, musyawarah untuk kebaikan bersama, dan rasa untuk mencapai kesejahteraan bersama. Semua nilai itu ditanggalkan demi materi dan jabatan yang diimpikannya, mereka menjadi manusia monster sejati. Manusia monster sebagai produk pendidikan yang asal-asalan, berorientasi materi, pemuja kesenangan, dan meninggalkan aspek nilai dan norma yang diagungkan, menjauh dari aspek kemanusiannya.
Penutup
       Reorientasi dan revisi konsep pendidikan dan implementasinya harus dilakukan untuk hasil proses pendidikan yang lebih baik. Masalah membangun manusia tidak dapat dilakukan  sambil lalu, terlebih pada era milenial yang berjalan sangat cepat. Sekali salah dalam membangun SDM, akan berakibat fatal bagi pembangunan bangsa secara keseluruhan, maka dari itu waspadalah, waspadalah.
***
Urip Triyono, S.S., M.M.Pd.
*)Penulis adalah pengamat dan  praktisi Pendidikan, Tinggal di Brebes. Sekretaris MGMP Bahasa Jawa SMP Kabupaten Brebes.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H