Dari sekian banyak cerita-cerita yang di kisahkan dalam mengingat tragedi G30S pada hari ini, hampir seluruhnya menceritakan kekejaman dan kengerian atas tragedi tersebut. Setelah saya berselancar kesana kemari, nampaknya saya tertarik dengan sebuah penggalan cerita dari buku yang di tulis oleh korban G30S itu sendiri, yaitu Bapak H. Suparman, yang mengangkat judul dalam bukunya "Tragedi 1965; dari Pulau Buru sampai Ke Mekah.
H.Suparman merupakan merupakan putra Jawa Barat kelahiran Bandung. Buku ini termasuk otobiografi, namun goresan pena sang penulis tidak terjebak pada subyektivisme. Berbekal ilmu jurnalistik dan wawasan ilmu sosial dan ilmu agama yang memadai, H.Suparman mampu mengutarakan secara obyektif persoalan-persoalan kehidupannya berhubungan dengan dunia sosial dan politik.
Kutipan agak panjang di bawah ini akan mengantarkan kita untuk memahami latar belakang Suparman menulis buku ini, termasuk memberikan pemahaman kepada kita tentang kenyataan tragis politik Indonesia di masa silam;
“Kalau mau dikatakan dosa, barangkali bagi saya, dosa itu hanyalah karena saya menjadi pimpinan umum dari sebuah surat kabar di Bandung, (Warta Bandung-pen) yang selalu mendukung politik Bung Karno. Lucunya, pada Peristiwa G-30 S itu, satu-satunya koran di Indonesia yang mem-back-out berita Dewan Revolusi yang diumumkan oleh Letnan Kolonel Untung Samsuri itu, adalah koran yang saya pimpin. Tapi anehnya lagi, saya dan kawan-kawan yang justru menjadi korban penangkapan dan kebiadaban militerisme Soeharto. Saya bersama rekan-rekan redaksi lainnya ditangkap, dijebloskan ke penjara dan akhirnya, saya sebagai pimpinan umum dan Sdr. H Rusman Saleh sebagai pimpinan redaksi dibuang ke Pulau buru tanpa proses peradilan.” (Hlm 26-27) Sejak 20 Oktober 1965, Suparman yang juga adalah Sekretaris Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Barat itu resmi menjadi tahanan politik Kodam III Siliwangi. Selama 13 tahun ia dipenjara, mendekam di Rumah Tahanan Kebon Waru selama 5 tahun, kemudian dikirim ke Pulau Buru selama 8 tahun -dengan transit di Nusa Kambangan selama 3 bulan.
Cerita tentang tahanan politik korban G 30 S beserta derita korban, termasuk perilaku sadis militer sudah banyak kita ketahui dari berbagai penjara di berbagai wilayah Indonesia. Anehnya, LP Kebon Waru Bandung yang memiliki banyak keunikan ini nyaris tidak banyak dipublikasikan dalam bentuk buku. Bahkan media massa pun terkesan enggan mengangkatkan sebagai sumber berita. Menurut Suparman, tempat pemeriksaan dan penyiksaan yang paling sadis memang bukan di Kamp Kebon Waru, tapi dari kamp-kamp ilegal yang tidak diketahui secara umum, antara lain di ruang bawah tanah Gedung Merdeka yang terletak di Jl Asia-Afrika. Teman-teman Suparman yang mengalami penyiksaan kejam militer itu menceritakan, sejak tragedi G-30-S 1965, Gedung Bersejarah itu digunakan oleh Angkatan Darat Kodam Siliwangi untuk menyiksa para tahanan; menyetrum tubuh, mencabuti kuku, merusak organ tubuh dengan benda-benda keras. Setelah tahanan dalam kondisi fisik dan mental yang tidak normal, selanjutnya mereka dibawa ke Kamp Kebon Waru.
Kamp Kebon Waru menurut Suparman sangat unik, bahkan tidak tertandingi oleh kamp-kamp pengasingan lain yang ada di Indonesia. Keunikannya, bukan hanya terletak pada tidak diberikannya makanan para tahanan, atau pada kebebasan yang relatif lebih longgar, atau juga bukan karena tiap hari Minggu dan hari libur menjadi pasar kerajinan, tetapi juga digunakan untuk “melepas rindu” suami-istri yang sudah lama berpisah.
Ada beberapa kamar yang bisa disewakan, yang dikelola para tahanan tertentu. Praktek ini bisa berjalan tentu berkat kerjasama petugas keamanan, dengan penjaga, bahkan mungkin dan tentu saja atas restu komandan kamp. Tidak heran kalau kemudian Kamp Kebon Waru sering dijuluki sebagai “surga” tahanan.(hlm 60). Di Kamp Kebon Waru, ihwal perceraian sangat menarik untuk diceritakan, sebab agak berbeda dibanding kisah perceraian dari penjara lain,-setidaknya itu yang saya bandingkan dengan kisah para tahanan di Penjara Cipinang, Lembaga Pemasyarakatan (LP) Tangerang, LP Kalisolok Surabaya.