Mohon tunggu...
kiki muntako
kiki muntako Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Akankah Indonesia Seperti Republik Nauru (kisah nyata)

1 Oktober 2014   18:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:47 799
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisah satu negeri ini pernah ditulis di kompasiana pada bulan November 2013 oleh teman kita Mas Hadi Hirawan dengan judul Republik Nauru (Inikah yang dimaksud Bung Karno), yang menceritakan kalau Republik Nauru merupakan sebuah negeri yang kaya raya dengan penduduknya hidup sejahtera tanpa ada gejolak satupun didalam pemerintahnya. Nauru yang jumlah penduduknya hanya 13.00 Jiwa ( penduduk tersedikit didunia) dengan luas Negara 8000 hektar ya sebanding dengan luas Danau Toba. Merupakan sebuah negara yang terdiri atas satu pulau di Samudra Pasifik.
Namaun saya tidak ingin menulis cerita Republik Nauru dari sudur Bung Karno tetapi melihat Nauru  disaat kejayaan dan kekayaan negeri tersbut berlimpah ruah yang di katakan sebagai negara terkaya didunia yang pada saat itu pendapatan penduduknya mencapai 17.000 dolar perkapita dibandingkan dengan negera kita hanya 530 dolar perkapita.
Tetapi itu adalah kisah Republik Nauru pada tahun 1981 dimana Nauru sedang pada puncak kekayaan dengan hasil bumi yang melimpah. Republik Nauru  yang terletak di daerah Pasifik Selatan Mikronesia, 500 km dari dari pulau Papua. Ironis, karena negara berarea 21km persegi ini selama 30 tahun pernah tercatat sebagai salah satu negara terkaya di dunia. Dengan pendapatan setinggi itu dan jumlah penduduk yang hanya 13 ribu jiwa Nauru menjelma menjadi negara yang sangat kaya. Mereka membangun gedung-gedung tinggi. Membeli mobil-mobil dan pesawat-pesawat komersial mewah. Tak ada orang miskin di sana, apalagi gelandangan.

Negara mensubsidi kehidupan seluruh rakyatnya. Lebih dari 80% angkatan kerja diangkat sebagai pegawai negeri. Para pegawai ini tidak terikat jam kerja. Mereka boleh datang dan pergi sesuka hati. Para penganggur pun disubsidi oleh negara. Pendek kata, saking kayanya Nauru, tanpa bekerja pun para penduduk bisa hidup mewah. Rakyat tidak dikenakan pajak. Pendidikan dan kesehatan gratis, pangan disubsidi, yang ingin sekolah ke luar negeri diberi beasiswa. Bahkan saking manjanya, penduduk Nauru enggan jadi pekerja lapangan. Pemerintahnya terpaksa mengimpor tenaga kerja dari Australia, Cina, Kiribati dan Tuvalu.

Apa yang menjadi  Nauru menjadi sebegitu kaya? tak lain karena kotoran burung. Lebih dari 70% tanah Nauru terdiri atas endapan tahi burung Guano yang menumpuk selama ratusan bahkan ribuan tahun lalu. Hal ini dikarenakan dulunya Nauru merupakan tempat bagi koloni besar burung Guano. Kotoran burung ini menjadi phospat, yang berfungsi sebagai pupuk tanaman.

Phospat ditemukan tahun 1899 dan mulai dieksplorasi tahun 1907. Saat itu Nauru masih menjadi bagian dari negara Australia. Setelah diberi kemerdekaan pada 31 Januari 1968, pertambangan phospat dikuasai putra daerah. Diperkirakan, jumlah phospat berkualitas tinggi di seluruh Nauru 41 juta ton. Ini jumlah yang teramat besar. Bandingkan dengan Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau, jumlah seluruh phospatnya diperkirakan hanya 2,5 juta ton.

Karena itu wajarlah kiranya negara yang masuk dalam daftar negara terkecil di dunia itu disebut-sebut sebagai negara phospat, dan diincar banyak negara. Eksplorasi Berlebihan Kekayaan membuat Nauru terlena. Mereka mengeksplorasi phospat, yang menjadi satu-satunya sandaran hidup negara itu secara besar-besaran, tanpa memikirkan masa depan.

Hal ini mengakibatkan dua masalah serius.  Eksplorasi besar-besaran itu membuat cadangan phospat Nauru menipis. Akibatnya sungguh mengerikan. Nauru kini bangkrut. Hutang mereka mencapai 240 juta dolar, lebih besar dari APBN mereka sendiri.Nauru jatuh dalam kubangan kemiskinan. Membayar sewa gedung saja mereka kini tak mampu. Beberapa waktu lalu, 30 orang perwakilan Nauru di Sydney diusir dari gedung kantor mereka karena menunggak sewa. Lapangan terbang mereka pun kini ditutup karena tak punya dana melakukan perawatan.

Di tengah kepanikan, pemerintah Nauru mengambil langkah pragmatis, mereka menawarkan Nauru kepada Australia untuk menjadi tempat pengungsian manusia-manusia perahu dengan imbalan 20 juta dolar. Namun, karena masyarakat Nauru terbiasa hidup manja dan malas akibat kemakmuran, mereka tidak tahu bagaimana cara mengurus para pengungsi ini, akibatnya para pengungsi hidup terlantar dalam kondisi menyedihkan.

Kerusakan Lingkungan Masalah kedua Nauru adalah kerusakan lingkungan. Masalah ini tak kalah seriusnya. Organisasi pecinta lingkungan Greenpeace mencatat, akibat pertambangan yang membabi buta, 90% wilayah Nauru kini tak layak huni (waste-land),dan memerlukan rehabilitasi secara besar-besaran. Pertambangan juga menghancurkan 40% kehidupan laut di Zona Ekonomi Ekslusif (Exclusive Economic Zone). Vegetasi hijau dan habitat mamalia musnah.

Kini, masalah yang lebih gawat menanti di depan mata. Akibat kerusakan lingkungan, lahan yang ada tak bisa ditanami dan cadangan air menghilang. Mereka terpaksa mengimpor seluruh makanan dan minuman dari Australia. Sungguh mengkhawatirkan kondisi negara kecil Nauru kini. Wilayah yang dulunya makmur dan subur itu, kini panas dan gersang. Tak ada lagi kehijauan, hanya debu yang menutup pandangan.

Kerusakan yang luar biasa ini memerlukan masa rehabilitasi yang sangat lama dan biaya mahal. Nauru harus mengimpor pupuk, humus, dan nutrien penting lainnya untuk membangun kembali ekosistemnya. Biayanya sekitar 200 juta dolar dan prosesnya memakan waktu 30 tahun. Hal paling krusial dilakukan adalah mereklamasi kembali wilayah pertanian, sumber air bersih, peternakan, dan plantasi pepohonan. Kalau langkah ini tak dilakukan, maka seluruh penduduk Nauru harus bermigrasi ke daerah lain.

Untuk itu tahun 1989, mereka mengajukan tuntutan terhadap Australia di Pengadilan Internasional. Nauru menuntut Australia untuk membayar kompensasi atas kerusakan lingkungan yang dilakukan perusahaan pertambangannya. Perusahaan itu sendiri sebenarnya merupakan konsorsium tiga negara, yakni Australia, Inggris dan Selandia Baru. Australia mengelak dari tuntutan ini dan menuding Nauru sebagai pihak yang seharusnya bertanggungjawab. Sebab negara ini merdeka dari Australia tahun 1968. Dan sejak itu pertambangan phospat Nauru dikelola putra daerah, bukan lagi oleh perusahaan konsorsium tersebut.

Dinaungi Awan Kelabu Bagaimanakah masa depan Nauru selanjutnya? dinaungi awan kelabu. Kompensasi yang diberikan tiga negara tersebut sama sekali tak menolong Nauru. Dana yang ada justru dihabiskan untuk menghidupi Nauru. Rakyat Nauru pun terbiasa malas, tidak tahu cara bekerja keras.

Kisah Nauru ini pelajaran bagi Indonesia. Apa yang terjadi di Nauru merupakan contoh yang sangat gamblang jika disandingkan dengan kondisi Indonesia saat ini. Maka jika Indonesia masih tetap memberlakukan penambangan hasil alam secara membabi buta seperti sekarang,maka tidak perlu waktu lama Indonesia akan seperti Republik Nauru.

Indonesia penghasil tambang salah satu terbesar di dunia, harus lebih hati-hati jika tidak maka malapetaka Nauru  akan menjelma di Indonesia.
Salam Kompasiana

Teks For: Indra Jumeri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun