Mohon tunggu...
Muhammad Haris Ritonga
Muhammad Haris Ritonga Mohon Tunggu... -

god is number one

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nurcholis Majid

20 Februari 2012   15:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:25 6037
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

NURCHOLIS MADJID

GERAKAN INTELEKTUAL DAN KARYA-KARYANYA

Pendahuluan

William S. pernah berkata apalah artinya sebuah nama, tatapi nama itu menjadi bermakna tatkala nama itu menjadi seorang tokoh dan membawa pengaruh yang sangat besar bagi dirinya dan orang banyak bahkan untuk lintas agama. Demikianlah nama yang dimiliki oleh Nurcholish Madjid salah seorang tokoh penting dalam kehidupan umat beragama di Indonesia yang multi etinis dan agama mampu membawa obor Islam Indonesia dalam ranah keindonesiaan.

Dalam pandangan Nurcholish Madjid Islam Indonesia harus mempunyai warna asli Indonesia termasuk fikihnya harus fikih Indonesia dalam arti harus sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia. Sosok lain dari Nurcholish Madjid adalah seorang santri yang tergolong modernis. Latar belakang pendidikannya yang seorang santri tidak pernah lekang dari norma-norma agama meskipun pada pendidikan selanjutnya pemikirannya banyak diwarnai oleh pendidikan barat, karena beliau menamatkan program doktoralnya di Chicago University Amerika Serikat dari tahun 1978-1989.

Sebagai seorang tokoh Islam terkemuka di Indonesia Nurcholish Madjid lebih dikenal dengan corak pemikiran modern (neo modernis) karena pandangannya selalu argumentatif.Sisi lainnya adalah menyoroti perkembangan politik Indonesia selama 3 dekade sejak masa Soekarno, Soeharto dan Habibi. Hasilnya harus ada pihak yang mengawasi kinerja pemerintahan agar keseimbangan dapat terjaga bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. Arah baru Indonesia harus jelas sejak terbukanya saluran era reformasi dan itu sudah dilakukan oleh Nurcholish Madjid pada masa orde baru dan sampai wafatnya beliau, melalui berbagai pemikirannya yang dinilai oleh kalangan reformis dan modernis sebagai sosok yang mempunyai andil dalam menumbuh kembangkan khazanah keilmuan keislaman di tanah air. Berikut ini paparan singkat tentang sosok ilmuan Islam Indonesia yaitu Nurcholish Madjid.

A. Biografi Nurcholish Madjid

Nurcholish Madjid adalah sosok yang melahirkan banyak fenomena untuk konteks masyarakat Indonesia. Sifat fenomenal tokoh ini dapat kita lihat pada fakta bahwa dengan kekuatan pribadi dan pemikirannya, Nurcholish Madjid mampu melahirkan pengaruh terhadap perubahan-perubahan tertentu di dalam masyarakat Indonesia. Pengaruh dan perubahan-perubahan itu bersifat institusional dan literal. Secara institusional, hasil dari pengaruh kekuatan pribadinya itu bisa terlihat wujud dan kinerja spesifik organisasi HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), di masa kepemimpinannya dan beberapa periode setelah itu. Tapi, pengaruh institusional yang paling mencolok dari Nurcholish Madjid adalah Yayasan Paramadina. Melalui lembaga ini, Nurcholish Madjid meletakkan pengaruhnya bukan saja pada sosialisasi pemikiran-pemikirannya, melainkan juga pada terbentuknya sebuah komunitas tertentu, walau masih samar-samar yang menjadi pendukungnya kebanyakan dari kalangan santri kota.

Secara literal, kehadiran Nurcholish Madjid telah memperkaya khazanah literatur intelektual di negara kita. Ini ditandai bukan saja oleh publikasi pemikiran-pemikirannya[1] sendiri, melainkan juga berbagai studi diri dan pemikirannya. Dalam arti kata lain, baik melalui pemikiran-pemikirannya maupun publikasi studi-studi tentangnya telah dengan sendirinya melahirkan dinamika intelektual di negara dan masyarakat. Melalui karya-karya itu, bukan saja didapatkan bahan untuk memahami dunia intelektual Indonesia, melainkan juga memberikan landasan bagi perdebatan dan pengenalan intelektual lebih lanjut bagi generasi-generasi mendatang.

Suatu “biografi seorang genius” selalu saja dalam “penulisannya” diiringi dengan hal-hal yang berbau mitos (penipuan akan fakta sebenarnya). Karena itu tidak aneh jika sosok atau perilaku seseorang terkenal penuh dengan cerita-cerita tak masuk akal. Dan biasanya, justru bagian yang tak masuk akal itulah yang banyak digemari dan karenanya diekspos secara besar-besaran. Tujuannya memang tidak buruk. Apalagi dikatakan jahat, malah justru sebaliknya, yaitu untuk menambah “kehebatan” orang tersebut. Tak kurang “fantasi mitos” semacam itu diarahkan kepada seorang cendekiawan yang paling fenomenal untuk tidak mengatakan kontroversional dalam konteks Indonesia, yaitu, Nurcholish Madjid.[2]

Nurcholish Madjid dilahirkan pada tanggal 17 Maret 1939 M dan bertepatan 26 Muharram 1358, di Jombang, sebuah kota Kabupaten di Jawa Timur. Nurcholish Madjid dibesarkan dalam kultur pesantren. Ayahnya bernama H. Abdul Madjid, adalah seorang alim dari pesantren Tebu Ireng, dan masih memiliki pertalian kerabat dengan K.H. Hasyim Asy’ari pemimpin pesantren Tebu Ireng Jombang dan tokoh pendiri NU, dan juga Ra’is Akbar NU kakek Abdur Rahman Wahid. Ibu Nurcholish Madjid adalah murid K.H Hasyim Asy’ari dan anak seorang aktivis Sarekat Dagang Islam (SDI) di Kediri. Pada masa itu SDI banyak dipegang oleh kalangan kyai dari NU. Dengan demikian Nurcholish Madjid memang berasal dari kultur NU. Ketika NU bergabung dengan Masyumi tahun 1985, ayah Nurcholish Madjid masuk dalam kalangan Masyumi. Dan ketika pada saat NU keluar dari Masyumi 1952, ayah Nurcholish Madjid tidak kembali ke NU dan tetap bertahan pada Masyumi, karena berpegang pada semacam fatwa K.H. Hasyim Asy’ari bahwa Masyumi adalah satu-satunya partai Islam di Indonesia yang sah.[3]

Tentang sikap ayahnya ini Nurcholish Madjid mengatakan “ ... saya berfikir, mengapa masih mungkin orang seperti ayah saya, yang dalam soal agama berkiblat pada ulama pesantren, tapi dalam soal politik berkiblat pada orang sekolahan (Masyumi)”.[4]

Pendidikan dasar Nurcholish Madjid ditempuh di dua sekolah tingkat dasar, yaitu, al-Wathaniyah yang dikelola oleh orang tuanya sendiri, dan di Sekolah Rakyat (SR) di Mojoanyar, Jombang. Pada kota yang sama Nurcholish Madjid melanjutkan Pendidikan Menengah Pertama (SMP). Dengan demikian, sejak dari pendidikan dasar, beliau sudah menganut dua corak pendidikan. Pertama, pendidikan dasar dengan modal pesantren, yang berorientasi pada corak “kearaban” dengan menjadikan kitrab-kitab kuning sebagai referensi pokok dan lebih menonjolkan metode tradisional. Kedua, pendidikan dengan pola umum, yang lebih berorientasi pada metode pendidikan modern. Sejak pada pendidikan dasar inilah Nurcholish Madjid sudah memperlihatkan kecerdasannya, hal ini ditandai dengan berbagai penghargaan yang diterimanya karena prestasinya.[5]

Apa yang perlu dicatat dari dua pendidikan dasar yang diikutinya adalah merupakan cikal bakal pembentukan embrio intelektualnya. Dengan dua pola pendidikan ini Nurcholish Madjid memiliki akses pada warisan klasik serta khazanah modernitas, yang pada akhirnya membentuk Nurcholis Madjid menjadi seorang neo modernisme sejati tentunya juga dibentuk oleh pengalaman ayah Nurcholish Madjid.

Kemudian setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya Nurcholish Madjid melanjutkan pendidikannya pada pesantren Darul ‘Ulum, Rejoso, Jombang (salah satu pesantren yang dikelola NU). Tetapi, studinya di pesantren ini tidak berlangsung lama kurang lebih berlangsung dua tahun. Dari pengakuan Nurcholish Madjid, ia mengungkapkan bahwa hal ini adalah sebagai dampak dari “ijtihad politik” ayahnya. Seperti telah dinyatakan diatas, bahwa ayah Nurcholish Madjid, K.H. Abdul Madjid, sebagai warga NU tetap memegang pilihan politisnya pada Masyumi (sebuah organisasi politik yang lebih didominasi oleh kalangan Islam modernis, yang pada awalnya juga merupakan pilihan politis warga NU), sementara tokoh-tokoh NU lainnya karena beberapa hal memilih keluar dari Masyumi. Pilihan politik ayah Nurcholis Madjid yang tetap berafiliasi ke Masyumi inilah, yang berbeda dengan tokoh-tokoh NU lainnya, membawa akibat pada kehadiran Nurcholish Madjid di pesantren Darul ‘Ulum dalam suasana permusuhan.

Dalam hal ini Nurcholish Madjid mengatakan, “ini anak Masyumi kesasar, begitu kata mereka saya sangat sedih sekali”.[6] Kondisi konflik ini akhirnya membawa Nurcholis Madjid “nyantri” di Pesantren Darussalam Gontor, Ponorogo, Jawa Timur (sekitar 120 km dari Jombang), sebuah pesantren yang relatif cukup memberikan nuansa pemikiran reformasi. Dengan semboyan “berfikir bebas setelah berbudi tinggi, berbadan sehat dan berpengetahuan luas”. Pesantren ini memiliki pendekatan modernis. Dengan menciptakan iklim berfikir kritis menghadapi pluralitas, tidak sektarian, tidak fanatik, dan menawarkan tata aturan sosial yang relatif modern (semangat pluralitas ini terlihat dari kitab fiqh yang menggunakan karya Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Mihayat al-Muqtasid (sebuah kitan fiqh perbandingan yang kejelasan dan kepraktisan belum ada duanya). Di samping itu adanya penekanan pada para santri untuk memahami dan menguasai bahasa Arab dan Inggris. Penekanan ini terlihat dengan ditetapkannya kedua bahasa tersebut sebagai bahasa komunikasi sehari-hari. Di pesantren inilah Nurcholish Madjid masuk ke KMI (Kulliyatul Muallimin al-Islamiyah) dan tamat enam tahun kemudian (1960). Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya tersebut, sesuai tradisi pesantren Nurcholish Madjid masih sempat mengajar di pondok pesantren yang telah membesarkannya, kurang lebih satu tahun.[7]

Di samping itu, sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa, selain dua model pendidikan (tradisional dan modern), yang juga turut membentuk intelektual Nurcholish Madjid adalah pengalaman-pengalaman sang ayah. Dengan tetap memilih Masyumi sebagai aspirasi politiknya, ayahnya juga sering berlangganan bulletin-bulletin dan majalah-majalah yang berisi pemikiran para tokoh Masyumi. Dengan demikian, menjadi hal yang sangat mungkin bagi Nurcholish Madjid untuk bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran para tokoh Masyumi tersebut. Proses ini tentu saja memberikan konstribusi yang cukup besar bagi pembentukan pola intelektual Nurcholish Madjid selanjutnya.[8]

Berdasarkan latar belakang pendidikan pesantren, setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya, kemudian Nurcholish Madjid melanjutkan pendidikan tingginya di luar Jawa Timur. Lembaga pendidikan yang menjadi pilihannya adalah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jakarta dengan pilihan pada Fakultas Adab jurusan Sejarah Kebudayaan Islam. Studi ini diselesaikannya pada tahun 1968 dengan magnum opus, al-Qur’an Arabiyan Lughatan Wa ‘Alamiyun Ma’naan.[9](Al Qur’andilihat secara bahasa bersifat lokal, sedangkan dari segi isi bersifat universal). Pada masa studi di pendidikan tinggi inilah, selain aktif di bangku kuliah Nurcholis Madjid juga terlibat aktif dalam kegiatan organisasi di luar kampus. Ia menambah pengalaman organisasinya sekaligus berpartisipasi dalam sebuah organisasi Islam HMI, sebuah organisasi mahasiswa terbesar dan cukup solid pada masa itu. Kiprah awal Nurcholis Madjid di organisasi ini dimulai pada tahun 1963, kira-kira setelah empat semester dalam masa perkuliahan.[10] Dimulai ditingkat cabang, Nurcholis Madjid sudah menunjukkan “kepiawaiannya” sebagai seorang leader, yang mengundang kekaguman para aktifis-aktifis lainnya, terlebih bila dilihat dari basis Nurcholish Madjid yang berasal dari IAIN Jakarta, suatu basis yang amat marginal pada saat itu. Karir organisasinya semakin menonjol, ketika di penghujung tahun 1966, HMI mengadakan kongres di kota Solo, dan beliau dicalonkan sebagai salah satu kandidat Ketua Umum PB HMI. Oleh karena citra kepemimpinannya yang menonjol dan moralitas personal yang kuat ia terpilih menjadi Ketua PB HMI. Bahkan Nurcholis Madjid terpilih menjadi Ketua Umum PB HMI selama dua periode (1966-1969 dan 1969-1971).[11] Di samping itu, pada periode ini juga Nurcholish Madjid banyak menempati posisi formasi penting di organisasi kemahasiswaan dunia, antara lain, ia pernah menduduki Presiden PEMIAT (Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara, 1967-1969), juga menjadi Wakil Sekjen IIFSO (International Islamic Federation of Student Organization, 1969-1971).

Di samping mengabdi di almameternya, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Nurcholis Madjid juga menjadi staf peneliti LEKNAS / LIPI (Lembaga Penelitian Ilmiah indonesia). Sebagai peneliti ia tertarik untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu Tingkat Doktoral dengan pilihan studi pada Chicago University, Ibn Taymiyah on Kalam and Falsafah : Problem of Reason and Revolution in Islam.[12]

Pretensi dari paparan singkat mengenai biografi intelektual Nurcholis Madjid diatas, sesungguhnya adalah ingin berbicara tentang lingkungan yang mempengaruhi Nurcholish Madjid. Apa yang bisa dikatakan disini adalah bahwa masa kecilnya berada dalam sebuah masa bergejolak secara sosial politik, lahir setengah dekade lebih sedikit sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia Nurcholish Madjid untuk ukuran sekarang, tentunya telah ikut merasakan transisi dan perubahan besar masyarakat Indonesia sebagai akibat dari peralihan pemerintah jajahan kepada pemerintahan bangsanya sendiri. Bagaimanapun juga, periode krusial yang tidak bisa (lagi) dialami oleh generasi pelanjut ini mempengaruhi kesadaran Nurcholish Madjid dan juga orang-orang yang segenerasi dengannya tentang arti dan dinamika sebuah masyarakat, seperti tercermin dalam pandangan-pandangan keagamaannya dewasa ini tentulah sedikit banyaknya terpengaruh pada pengalaman-pengalaman penting masa kecilnya.

B. Corak Pemikiran Nurcholis Madjid

Kemunculan neo-modernisme yang dikembangkan Nurcholish Madjid dilatar belakangi oleh sejarah perkembangan umat Islam itu sendiri. Di satu pihak, Nurcholis Madjid melihat modernisme Islam yang lahir di awal abad XX, gagal mempertahankan kesegaran pemikiran-pemikiran “pembaharuannya”, ketika gerakan ini menjadi besar. Apa yang kemudian terjadi adalah kerutinan kerja mengolah dan menyelenggarakan lembaga-lembaga “pembaharuan secara amat praktikal”. Kerutinan ini telah menyebabkan kesempatan untuk pengolahan intelektual relatif semakin menghilang. Sikap mereka yang menentang secara tegas pemikiran tradisionalis semakin memperkering inspirasi-inspirasi intelektual. Modernisme Islam cenderung menampilkan dirinya sebagai gerakan pemikiran yang tegar, bahkan kaku. Sementara di pihak lainnya, tradisionalisme Islam cukup kaya dengan pemikiran Islam klasik. Akan tetapi justru karena kekayaan itu, para pendukung pola pemikiran ini menjadi sangat berorientasi pada masa lampau dan sempat selektif menerima gagasan-gagasan modernisasi. Akibatnya, perkembangan dan dinamika pemikiran di kalangan pendukung tradisionalme bergerak secara sangat lambat.

Dengan latar belakang semacam inilah pola pemikiran neo-modernisme muncul untuk menjembatani atau bahkan mengatasi dua pola pemikiran konvensional diatas. Sebagaimana yang telah disebutkan diatas, karakteristik pokok pada pola pemikiran neo-modernisme ini adalah suatu sikap untuk mengakomodasikan dua kutub pemikiran sekaligus, yaitu modernisme dan tradisionalisme. Dalam konteks pemikiran sosial politik, sikap akomodasi terhadap modernisme dan tradisionalisme ini berpengaruh terhadap cara pandang Nurcholish Madjid dalam melihat hubungan antara umat islam dan negara. Di satu pihak, elemen-elemen sosial pemikiran politik modern yang bersifat universal diterima sebagai suatu kenyataan yang tidak terelakan dalam perkembangan politik masyarakat Indonesia. Tetapi di pihak lain, tradisi politik keagamaan yang bersifat lokal, juga dipergunakan dalam usaha menempatkan diri dalam sistem politik yang ditentukan oleh pemerintah. Sikap semacam ini memang relatif tidak terdapat dalam pemikiran-pemikiran modernis Islam di masa lalu, di sekitar tahun 1955-1959. Pandangan politik modernis dalam periode ini berusaha menempatkan Islam yang telah diramu dengan elemen-elemen pemikiran tradisional.

Dengan demikian, seperti juga telah disebutkan secara selintas diatas, pemikiran neo-modernisme Islam tentang masalah sosial politik terkonsentrasi terhadap upaya mendamaikan, atau menempatkan suatu hubungan yang harmonis antara cita-cita Islam dan umatnya dengan kenyataan, demi keamanan politik negara.

Untuk memperjelas pola pemikiran neo-modernisme Nurcholish Madjid dalam memformulasikan gagasan-gagasan ke-Islamannya, di bawah ini akan diuraikan beberapa pemikirannya :

1.Sekularisasi Islam

Pada tanggal 2 Januari 1970, Nurcholis Madjid menyampaikan pidato pada pertemuan gabungan empat organisasi Islam, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pelajar Islam Indonesia (PII), Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), dan Persatuan Sarjana Muslim Indonesia (PERSAMI).[13] Dalam makalahnya berjudul : Keharusan Pembaharuan Pemikiran Dalam Islam dan Masalah Integrasi Umat, ia mengajukan pengamatan yang terus terang bahwa kaum muslim Indonesia mengalami kemandekan dalam pemikiran keagaamaan dan telah kehilangan “kekuatan daya gebrak psikologis” (psycological striking force) dalam perjuangan mereka.[14] Indikasi penting dari kemandekan intelektual Islam Indonesia ini, dalam pengamatannya, adalah ketidakmampuan mayoritas kaum Muslim untuk membedakan nilai-nilai transendental dengan nilai-nilai temporal. Bahkan, ia menunjukkan lebih jauh bahwa hirarki nilai-nilai itu seringkali diperlakukan terbalik. Nilai-nilai yang transendental dipahami sebagai nilai-nilai yang temporal, dan sebaliknya. Segala sesuatu tampak dipandang sebagai bersifat transendental, dan karenanya tanpa terkecuali dinilai sakral. Akibat cara keberagamaan yang seperti ini “Islam (dipandang sebagai) senilai dengan tradisi, dan Islam menjadi sederajat dengan tradisionalis”.[15]

Upaya memperbaiki situasi ini mungkin dilakukan asal saja kaum muslim siap menempuh jalan pembaharuan sekalipun pilihan tersebut disertai dengan mengorbankan integrasi umat. Untukmenjalankan pembaharuan keagamaan ini, Nurcholish Madjid menganjurkan agar kaum muslimin “membebaskan” diri mereka dari kecenderungan mentransendensikan nilai-nilai yang sebenarnya bersifat profan ke dalam wilayah sakral. Dan sebagai konsekuensi dari keyakinan bahwa Islam itu kekal dan universal, maka ada kewajiban inheren bagi kaum muslim untuk menampilkan pemikiran-pemikiran kreatif yang relevan dengan tuntutan-tuntutan zaman modern.

Menurut Nurcholish Madjid usaha keras ini hanya dapat dicapai apabila kaum muslimin mempunyai tingkat kepercayaan diri yang tinggi untuk membiarkan gagasan-gagasan apapun, betapapun tidak konvensionalnya gagasan itu, untuk dikemukakan dan dikomunikasikan secara bebas. Yang lebih penting lagi, mengingat kenyataan bahwa Islam memandang manusia secara alamiah berorientasi kepada kebenaran (hanif), maka kaum muslim harus bersikap terbuka. Selanjutnya, mereka juga harus bersedia menerima dan menyerap gagasan-gagasan apapun tanpa menghiraukan asal-usulnya, asal saja gagasan itu secara objektif menyampaikan kebenaran.[16]

Pandangan-pandangan utama Nurcholish Madjid berasal dari pemahamannya yang radikal terhadap dua prinsip dasar Islam, yaitu (1). Konsep at-Tauhid (Keesaan Tuhan), dan (2). Gagasan bahwa manusia adalah khalifah Tuhan diatas bumi (khalifah Allah fi al-ard).

Dari kedua prinsip tersebut, ia merumuskan premis-premis teologisnya yang menegaskan bahwa hanya Allah yang memiliki transendensi kebenaran yang mutlak. Sebagai konsekuensi dari penerimaan mereka terhadap prinsip monotheistik ini, maka sudah seharusnya kaum muslim memandang dunia ini dan masalah-masalah keduniaan yang temporal (sosial, kultural, atau politik) seperti apa adanya. Memandang dunia dan semua yang ada di dalamnya dengan cara yang sakral atau transendental secara teologis dapat dianggap bertentangan dengan inti paham monotheisme Islam.[17]

Tetapi, tidak seperti tulisan-tulisan Nurcholish Madjid sebelumnya yang banyak diwarnai kutipan ayat-ayat al-Qur’an,[18] dalam makalahnya diatas ia menyampaikan gagasan-gagasannya dengan sangat kontroversial, yakni “sekulerisasi”. Konsep ini seperti ditunjukkan dalam makalahnya, dipinjam dari Harvey Cox, seorang teolog dari Amerika Serikat yang cukup dihormati. Dalam maqnum opus-nya, The Secular City : Secularization and Urbanization in Theological Perspective, Cox mendefinisikan sekulerisasi sebagai pembebasan seorang manusia dari ajaran-ajaran agama dan metafisika, peralihan perhatiannya dari dunia-dunia lain dan mengarah kepada (dunia) yang satu ini.[19] Meskipun demikian, Cox menegaskan bahwa sekulerisasi berbeda dengan sekulerisme, hal ini ditegaskannya :

“Dalam kasus apapun, sekulerisasi sebagai istilah deskriptif memiliki signifikansi yang luas dan inklusif. Sekulerisasi muncul dalam penampilan-penampilan yang berbeda, tergantung kepada sejarah keagamaan dan politik di wilayah masing-masing. Namun demikian, dalam bentuk yang bagaimanapun ia tampil, sekulerisasi harus secara hati-hati dibedakan dari sekulerisme. Sekulerisasi secara tidak langsung mengimplikasikan sebuah proses kesejarahan, yang hampir tidak dapat diubah, dimana masyarakat dan kebudayaan dilepaskan dari pengawasan kontrol agama dan berbagai pandangan dunia metafisika yang tertutup. Dalam pandangan kami, sekulerisasi pada dasarnya dalah sebuah perkembangan yang membebaskan. Di sisi lain, sekulerisme adalah nama sebuah idiologi, pandangan dunia baru yang tertutup yang berfungsi hampir sepenuhnya mirip dengan agama baru”.[20]

Pandangan mengenai “perkembangan yang membebaskan” dan “perbedaan nyata antara sekulerisasi dan sekulerisme” diataslah yang digunakan oleh Nurcholish Madjid dalam mengartikulasikan gagasan-gagasannya mengenai konsekuensi logis dari monotheisme Islam (al-Tauhid) seperti ditulis dalam makalahnya.

“Sekulerisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekulerisme, sebab sekulerization is the name for an ideology, a new closed world view which function, very much like a new religion. Dalam hal ini, yang dimaksudkan dengan sekulerisasi ialah setiap bentuk liberating perjalanan sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangkanya Islami itu, mana yang transendental dan mana yang temporal ... (demikian juga) sekulerisasi tidaklah dimaksudkan sebagai penerapan sekulerisme dan mengubah kaum muslimin menjadi sekularis. Tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya.[21]

Dengan pernyataan itu, Nurcholish Madjid tidak saja memberikan penjelasan mengenai apa yang dimaksudnya dengan sekulerisasi, tetapi pada saat yang sama juga menegaskan kembali “posisinya yang semula” yang menentang paham sekulerisme.

Pada tahun 1968, dua tahun sebelum ia menyampaikan pidatonya diatas, ia terlibat dalam sebuah perdebatan dengan sejumlah “intelektual sekuler” mengenai modernisasi.[22] Dalam pandangannya, tampak jelas bahwa pesan-pesan dibalik retorika modernisasi sebagaimana dikumandangkan para intelektual sekuler diatas pada periode awal Orde Baru adalah memperkecil peran untuk tidak menyatakan anti terhadap nilai-nilai keagamaan. Menurut Nurcholish Madjid, beberapa diantara mereka bahkan mengejek panggilan azan yang menggunakan pengeras suara sebagai “teror-teror elektronik”.[23] Dalam pendekatan ini, ia menegaskan bahwa modernisasi bukanlah penerapan sekulerisme dan bukan pula penggunaan nilai-nilai kebudayaan Barat. Melainkan, dalam pandangannya, “modernisasi adalah rasionalisasi”.[24] Sebagaimana dicatat Muhammad Kamal Hassan dalam disertasinya, inilah posisi intelektual yang menjadikan Nurcholish Madjid mendapat julukan “Muhammad Natsir Muda”.[25]

Istilah “sekulerisasi” dimaksudkan sebagai proses yang diperlukan yang akan memungkinkan masyarakat Islam membedakan antara nilai-nilai transendental dan nilai-nilai temporal. Bagi Nurcholish Madjid, “sekulerisasi”, yang dipahami sebagai sebuah proses perkembangan yang membebaskan, adalah juga conditio sine quanon yang memungkinkan kaum Muslimin sejalan dengan fungsi mereka sebagai khalifah Allah diatas bumi (khalifah Allah fi al-Ardl) melaksanakan upaya mereka mengaitkan universalisme Islam dengan kenyataan-kenyataan Indonesia dewasa ini.[26]

Agenda “sekulerisasi” ini mendapat kritik yang cukup mengejutkan, kritik-kritik itu sebagian besarnya datang dari kelompok modernis komunitas intelektual dimana Nurcholish Madjid berasal.[27] Untuk sebagian besar, kritik-kritik tersebut dipicu oleh penggunaan istilah “sekulerisasi” terlepas dari kenyataan bahwa maksud semula penggunaan istilah itu adalah untuk memberikan “terapi lanjutan”.

Sejak dekade 1980-an, sekembalinya dari Universitas Chicago, dimana ia meraih gelar doktor dalam bidang studi Islam di bawah bimbingan Fazlur Rahman, seorang pemikir Muslim kenamaan asal Pakistan, Nurcholish Madjid tetap teguh dengan substansi gagasan-gagasan pembaharuannya.[28] Meskipun demikian, penting dicatat bahwa ia tidak lagi menggunakan istilah “sekulerisasi” yang kontroversial itu.[29] Berkat dukungan intelektual yang secara tidak langsung diterimanya dari pahaman yang sejenis dengan “sekulerisasi”, sebagaimana dikemukakan oleh sejumlah sosiolog terkenal dan berpengaruh, misalnya Talcot Persons[30] dan yang lebih penting Robert N. Bellah.[31] Nurcholish Madjid dengan lugas mengganti istilah sekulerisasi dengan “devalusasi radikal” atau “desakralisasi”.[32]

Menurut Bellah, paham “devaluasi radikal” diatas mempunyai kaitan dengan proses-proses historis awal islam. Bahkan, paham itu merupakan salah satu unsur struktur, yang paling penting di masa Nabi Muhammad SAW ketika membangun masyarakat religius politik di Madinah. Ketika menjelaskan perkembangan “devaluasi radikal” dalam menjelaskan sejarah awal Islam ini Bellah menulis :

“Marilah kita mempertimbangkan unsur-unsur struktural dalam Islam awal yang relevan dengan argumentasi kita. Yang pertama adalah konsepsi mengenai Tuhan yang monotheistis, yang transenden dan berada di luar alam semesta serta berkaitan dengan alam semesta ini sebagai pencipta sekaligus hakimnya. Yang kedua adalah penggilan ke hati terdalam dan keputusan dari Tuhan yang demikian itu lewat dakwah Nabi-Nya kepada setiap makhluk manusia. Yang ketiga adalah “devaluasi radikal” yang secara sah dapat disebut sebagai sekulerisasi, terhadap semua struktur sosial yang ada dihadapan hubungan Tuhan manusia yang menjadi pusat ini. Diatas segalanya, ini berarti dihapuskannya ikatan-ikatan kekerabatan, yang sudah lama menjadi fokus utama dari yang sakral di dunia Arab Pra Islam, dari makna pentingnya yang utama”.[33]

2.Universalisme Islam

Penekanan Nurcholis Madjid pada Islam yang bersifat rahmatan lil ‘alamin ini merupakan kunci dari pemikirannya. Dengan penekanan ini Nurcholis Madjid ingin “membebaskan” pengertian Islam dari penjara-penjara partikularisme. Partikularisme Islam dalam beberapa hal, bukanlah sesuatu yang harus ditolak, bahkan, sekali lagi, bisa dan telah terbukti bermanfaat pada masyarakat atau komunitas-komunitas tertentu.[34] Akan tetapi, partikularisme tetaplah sesuatu yang khusus. Dan karena itu tidak bisa digeneralisasikan. Pemaksaan generalisasi terhadap sesuatu yang khusus itu, dengan demikian, mendekati tindakan sewenang-wenang karena bukan saja secara logika ditolak, melainkan juga secara empiris tidak bisa berjalan. Dalam konteks pemikirannya satu-satunya jalan membebaskan (pengertian) Islam dari sifatnya yang partikularistik itu adalah dengan mengembalikan fungsi dan peran Islam kepada kerangka yang universal dan abadi, Rahmatan lil ‘alamin. Sebab, dengan mengikuti logika dari konsep itu sendiri, untuk apakah sebuah agama diturunkan Tuhan jika hanya untuk menguntungkan satu golongan saja di dalam kehidupan riel di muka bumi?[35]

Dengan konsep ini, ada dua hal pokok yang bisa dicapai. Pertama, pengembalian peran dan fungsi Islam pada konteks yang universal telah membuat baik ajaran maupun pengikutnya menjadi lebih bebas memfokuskan perhatian pada masalah-masalah yang menjadi agenda manusia secara universal. Dengan kata lain, dengan semangat itu dan tanpa harus menampilkan determinisme formalisme yang memang tak bisa diubah, kalangan Islam akan lebih leluasa berpartisipasi dalam dunia yang lebih luas tanpa tapal batas agama dan budaya, to mark the world beyond religious boundaries with the Islamic values. Perkembangan dan kontribusi peradaban Islam terhadap peradaban dunia di masa lampau, misalnya, adalah contoh prestasi universal dengan semangat konsep rahmat al-lil ‘alamin dalam mematrikan tanda keislaman pada struktur pelataran buana. Maka nilai apakah yang lebih tinggi daripada kemampuan memberikan arti kehadiran dirinya untuk sesuatu yang jauh lebih luas dari batas-batas kepentingan dan simbolisme yang selama ini mengungkung dirinya?

Kedua, dengan pengembalian fungsi dan peran Islam ke tempat yang abadi dan universal, Nurcholish Madjid dan kalangan yang sepaham dengannya, telah pula sekaligus mendekonstruksikan kemapanan lembaga-lembaga dan corak-corak pemikiran Islam yang bersifat partikularistik. Bagi Nurcholish Madjid, sebagaimana terbaca pada gagasan-gagasan tertulisnya di masa muda, corak-corak pemikiran yang bersifat partikularistik dan yang merupakan respons sesaat itu bersifat nisbi, dan karenanya, tidak harus dimutlakkan. Pemutlakkan pikiran-pikiran dan lembaga-lembaga itu bukan saja bersifat kontraproduktif dalam kehidupan riel karena pasti akan sangat sulit menyesuaikan diri dalam kehidupan yang sesungguhnya sangat dinamis itu melainkan juga secara teologis bisa membawa ‘cacat” tersendiri. Sebab dengan pemutlakan itu secara langsung atau tidak, telah terjadi proses menggantikan Islam dengan produk-produk pemikiran zaman dan tempat tertentu. Disini ajaran Islam yang sesungguhnya universal, dan tak terkungkung oleh pemilihan waktu, mengalami reduksi yang agak fatal menjadi hanya pemikiran-pemikiran tertentu yang lahir dalam penggal-penggal waktu tertentu pula.[36] Maka dengan efek yang bersifat dekonstruktif ini, bukankah Nurcholish Madjid dan, sekali lagi orang-orang yang sepaham dengannya, secara otomatis telah pula melakukan “pemurnian” makna dan fungsi Islam?

Tetapi apa yang penting dilihat dalam konteks “pembebasan” pengertian Islam dari sekat partikularistik dan sesaat itu adalah “teropong” Nurcholish Madjid terhadap gagasan politik dan negara Islam. Sesuai dengan logika Nurcholish Madjid yang telah direkonstruksikan diatas, gagasan politik dan negara berlabel Islam itu adalah representasi paling nyata dari sifat partikularistik Islam. Disini gagasan politik dan negara Islam hanyalah merupakan manifestasi sosiologis dari usaha-usaha kalangan Islam memberikan respon terhadap tantangan-tantangan tertentu dan, pada masa tertentu. Dengan demikian, manifestasi itu bersifat partikularistik dan sesaat. Oleh karenanya, pemikiran dan hasrat semacam itu lebih menunjukkan gejala invented tradition menggunakan konsep Hobsbawn[37] bukan bersifat genuine Islam. Menurut Nurcholis Madjid gagasan mengenai negara Islam bukanlah merupakan respon dari “Islam yang sebenarnya”, melainkan sebuah wujud kepercayaan yang telah mengalami partikularisasi waktu dan tempat yang distrukturkan oleh pengalaman sosial budaya, ekonomi dan politik sebuah masyarakat yang sangat spesifik. Dengan demikian, pengalaman yang spesifik ini hanya berlaku pada masyarakat-masyarakat yang mempunyai persamaan pengalaman pula, tidak ada masyarakat-masyarakat (Islam) lainnya.

Perbedaan-perbedaan pengalaman keislaman antar masyarakat dan negara serta antar waktu yang juga melahirkan corak responsi yang berbeda-beda inilah yang semakin memperkukuh tesis Nurcholish Madjid akan nisbi atau relatifnya efek partikularisme Islam. Keberlanjutan gejala partikularisme Islam ini akan atau bisa menimbulkan persoalan, bukan saja pada segi-segi konseptual, melainkan juga pada struktur penghayatan paling inti dari ajaran Islam itu sendiri. Maka melanjutkan gagasan dan “gerakan pemikirannya” di masa muda tentang perlunya pembaharuan pemikiran yang memberikan tekanan pada efek desakralisasi partikularisme Islam Nurcholish Madjid yang kian dewasa dan matang ini menyerukan “pembebasan” konsep dan pengertian-pengertian Islam dari kungkungan waktu dan tempat. Yakni sebuah Islam yang bersifat dan berfungsi sebagai rahmat lil ‘alamin, sebuah Islam yang “terbuka” untuk dimanfaatkan kalangan lain, sebuah Islam yang bersifat inklusif.

Dari sini, mungkin bisa lebih dipahami konsep kaffatan li al-nas yang diperkenalkan (kembali) oleh Nurcholish Madjid tentang fungsi dan peran Islam dalam konteks inklusivitas diatas. Bahwa (manfaat) Islam adalah untuk seluruh manusia.[38] Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pengaruh gerakan pemikirannya dapat mewarnai kaum intelektual muda Islam Indonesia untuk terus menggali khazanah keislaman yang sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia dengan tidak meninggalkan norma-norma keislaman.

C.Karya-Karya Intelektual Nurcholish Madjid

Sebuah pemikiran, yang diturunkan ke dalam wilayah pembaca melalui publikasi media cetak, penerbitan buku, selalu melahirkan reaksi spontan, verbatim dan argumen-argumen yang masih membutuhkan logika-logika panjang. Dalam situasi seperti itu, sebuah gagasan, seringkali mengandung berbagai pernyataan-pernyataan baik yang setuju maupun yang kontra terhadap gagasan-gagasan yang digulirkan ke dalam wilayah pembaca.

Reaksi yang muncul dari pembaca bisa jadi ikut memperkaya khazanah yang ada dalam cakupan diskursus, atau bahkan sebaliknya ikut memperkeruh sekaligus menyeret perbincangan di luar konteks substansi dari gagasan itu sendiri. Kondisi semacam ini menimpa beberapa pemikiran Nurcholish Madjid yang disuguhkan ke wilayah publik.

Reaksi pada lapisan pertama yang ikut memperkaya khazanah diskursus lahir berdasarkan satu paradigma membuka koridor intelektual melalui pintu-pintu diskursus yang disandarkan pada etika komunitas rasional, sehingga diskursus tersebut dijadikan sebagai bahan perbincangan arus utama dari siu yang digulirkan. Disinilah berbagai macam kepentingan subjektif disingkirkan.

Pada lapisan kedua, suatu reaksi diliputi oleh axious, prasangka dan rasa takut tanpa dasar. Pada tataran ini diskursus tidak berjalan pada ruang terbuka, objektif dan berusaha menelusuri pintu keluar dari persoalan, tapi lebih disandarkan pada kepentingan subjektif. Maka yang terjadi adalah perbincangan lebih didominasi pada persoalan psikologis dari dialog itu sendiri. Dalam ruang komunitas seperti ini yang dibidani oleh perasaan-perasaan psikologis, anxious, orang mudah sekali terjebak pada kecurigaan yang berlebihan, tanpa mau menelaah persoalan secara detail sehingga lahirlah letupan-letupan kecil yang seringkali membakar semangat anti dialog.

Hiruk pikuk kontroversi semacam inilah, turut mewarnai pemikiran dan gagasan Nurcholish Madjid yang telah dipublikasikan sebagai top scholar pembaharuan islam di Indonesia. Nurcholis Madjid tetap konsisten dan vokal mentransformasikan gagasan-gagasannya ke wilayah publik dengan produktivitas yang cukup tinggi, baik berupa buku, artikel dan majalah. Lontaran dari pemikiran Nurcholish Madjid pada dasarnya mencakup dua tema besar sekaligus, yaitu Islam dan kehidupan politik (negara).

Produktivitas publikasi ini pada dasarnya beranjak dari kesadaran untuk merambah banyak jalan dalam rangka berpikir merdeka, menuju ke arah demokrasi. Pada lingkungan keislaman gagasan Nurcholish Madjid bertujuan antara lain untuk mengembangkan nilai-nilai universal Islam dalam konteks tradisi lokal Indonesia, dengan kata lain mengembangkan keislaman dan keindonesiaan secara integral. Dengan konstruksi gagasan keislaman tersebut diharapkan munculnya sikap keberagaman yang kreatif, positif dan konstruktif yang pada akhirnya berdampak pada kemajuan masyarakat tanpa harus bersikap reaksinoner dan defensif. Karena itu gagasan-gagasan keislaman Nurcholish Madjid diarahkan kepada pengembangan kapasitas masyarakat untuk menjawab tantangan masa kini (modern) dan sekaligus memberi dukungan kepada tradisi intelektual yang kian berkembang.

Dalam lingkup kehidupan politik (kenegaraan) Nurcholish Madjid lebih memikirkan pada segi nilai-nilai perpolitikan bukan pada tingkat kelembagaan seperti partai atau negara. Nurcholish Madjid banyak berbicara tentang nilai-nilai yang dipandangnya universal, seperti demokrasi, pluralisme, egalitarisme, keadilan. Tema tersebut dielaborasi dengan berpijak pada doktrin dan sejarah umat Islam. Berikut karya-karya yang sudah diterbitkan antara lain :

1.Khazanah Intelektual Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1986

Seperti dinyatakan oleh penulisnya, buku ini dimaksudkan untuk memperkenalkan kekayaan dan kejayaan intelektual Islam khususnya dalam bidang pemikiran filsafat dan teologi. Ia mmeperkenalkan sarjana-sarjana muslim klasik antara lain : Al-Kindi, al-Ghazali, Ibn ryusd, Ibn Taimiyah, Ibn Khaladun, al-Afghani dan Muhammad Abduh. Karya ini menurut Nurcholish Madjid sekadar merupakan penghantar kepada kajian dan pemikiran yang lebih luas dan mendalam tentang khazanah-khazanah intelektual Islam. Meskipun karya sebuah penghantar, tetapi ia merupakan sumbangan berharga khususnya terhadap literatur-literatur pemikiran Islam yang berbahasa Indonesia.

2.Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung : Mizan, 1988

Buku ini merupakan kumpulan-kumpulan tulisan Nurcholish Madjid yang ditulisnya selama rentang waktu dua dasawarsa. Gagasan pokok dalam buku ini adalah “prinsip mencari dan terus mencari kebenaran, secara tiada berkeputusan dengan keyakinan bahwa Al Qur’an adalah satu-satunya sumber kebenaran yang absolut. Karya ini tersusun sebagai respon terhadap berbagai persoalan dan isu-isu yang berkembang di sekitar kemodernan, keislaman dan keindonesiaan. Karya ini juga mendapat sambutan antusias dari pembaca, hal ini ditandai dengan beberapa kali cetak ulang.

3.Islam Doktrin dan Peradaban : Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan, (1992)

Disusun dari kumpulan makalah, yang ditulis oleh Nurcholis Madjid pasca studi di Chicago. Buku ini juga sekaligus merupakan karya monumental Nurcholish Madjid. Tema pokok dalam magnum opus ini adalah usaha menampilkan wajah Islam yang inklusif, kosmopolit, dan adil. Di dalamnya juga terungkap gagasan-gagasan di bawah tema tauhid dan emansipasi, harkat manusia, disiplin ilmu keislaman tradisional, membangun masyarakat etika serta universalisme Islam dan kemodernan. Dalam pengantarnya Nurcholis Madjid menyebutkan bahwa agama (Islam) telah mengajarkan manusia bagaimana seharusnya menjaga keselamatannya di dunia dan di akhirat. Kita, lanjut Nurcholish Madjid harus mempunyai tujuan hidup yang transendental berdasarkan iman. Tuntutan iman ini harus juga dinyatakan dalam amal yang menjadi kebajikan sosial, sekaligus menciptakan masyarakat yang egaliter dan inklusif yang memungkinkan manusia saling menjaga dan mengingatkan tentang kebenaran dan keadilan. Keutamaan buku ini juga telah diapresiasi oleh cendekiawan Kristen Frans Magnis Suseno.

4.Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan : Pikiran-Pikiran Nurcholis Muda, Bandung : Mizan, 1993.

Sebagai kelanjutan dari buku Nurcholis Madjid sebelumnya Islam kemodernan dan keindonesiaan gagasan dalam buku ini masih di sekitar keindonesiaan dengan penekanan khusus pada upaya menciptakan masyarakat yang berkeadilan, egaliter, demokrat dengan berlandaskan pada kemurnian tauhid.

5.Pintu-Pintu Ijtihad (1994).

Buku ini merupakan kumpulan dari Nurcholis Madjid pada kolom Pelita Hati, di harian Pelita (1981-1991), dan majalah Tempo. Diskursus dikembangkan dalam buku ini masih dalam tema pokok yang termuat dalam buku “Islam Doktrin dan Peradaban”, yakni menampilkan konsep-konsep yang sederhana tentang pemahaman Islam yang inklusif dan kosmopolit. Dalam buku ini tema pokok tersebut dijabarkan Nurcholis Madjid. Ketika ia menjabarkan konsep iman, peradaban, etika, moral dan politik Islam kontemporer.

Dalam buku ini bahasa yang digunakan lebih lugas, ringan dan sederhana sehingga mudah dipahami isi dan tujuannya. Namun demikian, tidaklah berarti mengurangi bobot dan gagasan serta ide dari penulisnya, akan tetapi justru merupakan keistimewaannya. Membaca buku ini akan mengantarkan pada kesejukan dalam memaknai Islam. Menurut budayawan Goenawan Moehamad, yang memberi pengantar buku ini, bahwa tulisan-tulisan Nurcholis Madjid tersebut tetap bertahan dalam tradisi humanis, yang juga menekankan kembali fungsi dan posisi manusia sebagai khalifah Allah di bumi.

6.Islam Agama Peradaban, Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Jakarta : Paramadina, 1995.

Karya ini merupakan refleksi analisis yang mendalam dari seorang Nurcholish Madjid dalam memahami diskursus keislaman. Pemikiran-pemikiran Nurcholish Madjid yang termuat dalam buku ini lebih diarahkan pada makna dan implikasi penghayatan iman terhadap perilaku sosial. Nurcholis Madjid dalam buku ini juga membahas tema-tema politik ajaran Islam yang telah berkembang dan mengalami deviasi dan distorsi di tangan umat Islam sendiri, sehingga menjadi mitos dan kultus. Dalam pemahaman yang lain, seringkali sulit dibedakan antara nilai-nilai Islam yang bersifat substansial dan fundamental dari ajaran yang sekunder dan terbuka untuk penafsiran dan bahkan perubahan. Dalam kata pengnatarnya Komaruddin Hidayat menyatakan bahwa melalui buku ini Nurcholish Madjid menunjukkan konsistensinya sebagai pemikir yang apresiatif dan memiliki akses intelektual terhadap khazanah Islam klasik. Namun berbarengan dengan itu ia tetap setiap pada cita-cita humanisme dan modernisme Islam. Ditambah lagi dengan wawasan kesejarahan dan sosiologis yang dipelajari telah memungkinkan Nurcholish Madjid untuk menyuguhkan wawasan dan interprestasi ajaran dasar Islam yang terbebas dari mitos pemihakan idiologis karena kepentingan politik praktis.

7.Islam Agama Kemanusiaan : Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, (1955).

Nurcholis Madjid berupaya menampilkan atau menghadirkan Islam secara lebih human, adil, inklusif dan egaliter yang beranjak dari paradigma tauhid dan etika. Wawasan yang disajikan Nurcholish Madjid dalam karya ini lebih bersifat kosmopolit dan universal sekaligus mengadopsi aspek-aspek parsial dan kultural paham-paham keagamaan yang berkembang. Hal ini merupakan konsekuensi logis bahwa bagi Nurcholish Madjid ajaran-ajaran Islam yang universal senantiasa memiliki relevansi dengan ruang dan waktu harus selalu dilakukan dialog kultural antara ajaran yang universal dengan partikular. Dalam buku ini juga Nurcholish Madjid ingin mengajak kita untuk bisa memahami mana yang benar-benar agama yang karenanya bersifat mutlak, dan mana yang benar-benar sebagai budaya yang karenanya bersifat relatif dan sementara. Agama dan budaya sebagaimana sudah banyak disuarakan oleh banyak pemikir kebudayaan, pada kenyataannya tidak dapat dipisahkan, namun dapat dibedakan.

8.Masyarakat Religius (1997)

Buku ini yang berisi lima bab membahas konsep Islam dan kemasyarakatan, komitmen pribadi dan sosial, konsep kekeluargaan muslim, prinsip medis dan kesehatan keluarga Muslim dan konsep tentang eskatologis kekuatan supra alami. Pada akhirnya masyarakat diajak untuk menjadi sebuah masyarakat yang relegius.

9.Tradisi Islam Pesan dan Fungsinya Dalam Pembangunan di Indonesia (1997).

Buku yang terdiri dari lima bab bahasan ini merupakan refleksi penulisnya terhadap umat Islam di Indonesia khususnya dalam hal peranannya dalam pembangunan bangsa. Dalam buku ini Nurcholish Madjid juga membahas asas negara Pancasila, organisasi-organisasi politik, Golkar, pemilu, demokrasi, demokratisasi, oposisi, keadilan, dan dinamika perkembangan intelektual Islam di Indonesia. Hal yang juga cukup menarik dari buku ini adalah keberanian dan keplosan Nurcholish Madjid dalam berbicara oposisi di Indonesia, suatu tema yang sangat ditabukan pada masa ORBA. Nurcholish Madjid menegaskan, oposisi yang dimaksudkan adalah “oposisi yang loyal”. Oposisi inilah yang dibenarkan dalam masyarakat yang memegang teguh prinsip-prinsip musyawarah. Dalam konteks ini Nurcholish Madjid menyatakan bahwa oposisi memang diperlukan, karena ia mempertajam pikiran.

10.Kaki Langit Peradaban Islam, (1997).

Buku ini adalah hasil suntingan dari sebagian makalah tersebar yang pernah ditulis dan disampaikan Nurcholish Madjid di berbagai kesempatan seminar dan simposium dalam rentang waktu sekitar sepuluh tahun (1986-1996). Kendati setiap makalah pada mulanya ditulis untuk forum, tujuan, dan waktu yang berbeda-beda, namun kiranya tidak akan terlalu sulit menangkap benang ,erah yang mempersatukan keseluruhan tema dan gagasan dasarnya. Yakni semangat dan pesan-pesan peradaban sesuatu yang memang sangat tipikal dalam pikiran-pikiran Nurcholish Madjid.

Buku didasari pada adanya tantangan besar yang dihadapi bangsa-bangsa Muslim, untuk mengejar ketertinggalannya dalam bidang IPTEK. Sebab boleh dikata, tidak satupun agama besar di muka bumi ini yang lebih rendah peradaban IPTEK-nya daripada Islam. Buku ini menunjukkan betapa kenyataan tersebut sesungguhnya sangat ironis, mengingat ajaran Islam nyata-nyata memperlihatkan adanya hubungan organik antara iman dan ilmu. Hubungan mana telah dibuktikan dalam sejarah Islam klasik ketika kaum muslim memiliki jiwa kosmopolitan yang sejati, yang dengannya mereka membangun peradaban dalam arti sebenar-benarnya.

Tentu saja buku ini tidak bermaksud mengajak berpikir rimantis atau bernostalgia dengan kejayaan peradaban Islam masa lampau. Justru sebaliknya ia ingin menyentak kesadaran kita bahwa betapapun amat memilukannya ketertinggalan itu, namun tidak sepatutnya disesali sedemikian rupa sehingga kehilangan semangat untuk melihat kedepan dengan penuh harapan. Dan supaya harapan tidak terlampau melambung atau bahkan tersesat di langit-langit mimpi, maka is mutlak harus diberi “kaki”. Tesis-tesis peradaban yang dikemukakan Nurcholish Madjid dalam buku ini bisa disebut sebagai upaya untuk membangun “kaki-kaki (langit)” itu, yang bahan-bahannya diramu, bukan saja dari visi dan misi serta pertimbangan rasionalitas, tapi juga dari doktrin Islam dan bahkan janji-janji Allah sendiri dalam kitab suci.

11.Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (1997).

Buku ini berisi kumpulan makalah yang ditulis oleh berbagai tokoh muslim di Indonesia. Dalam buku ini Nurcholish Madjid menyumbangkan 17 buah entry di bawah tema-tema al-Qur’an, disiplin, konsep dasar al-Qur’an, disiplin ilmu keislaman, tradisional, hingga dalam realitas sosial umat Islam, dimensi esoteris dengan berbagai implikasinya pada pengembangan etika sosial, serta dimensi sosial dari ajaran Islam.

12.Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, (1997).

Buku ini juga merupakan kumpulan makalah-makalah Nurcholis Madjid, memuat deskripsi dunia pesantren dengan segala dinamika perkembangannya, berhadapan dengan wacana modernisasi. Meskipun telah berlalu kurang lebih 20 tahun masa ditulisnya makalah. Kehadiran buku ini tetap menunjukkan signifikansinya dalam rangka mencari dan menemukan format baru dunia pesantren berhadapan dengan realitas eksternalnya yang mengitarinya.

13.Dialog Keterbukaan, Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer.

Berbeda dengan buku-buku Nurcholis Madjid sebelumnya, buku ini merupakan kumpulan wawancara yang berserakan di berbagai media massa dari sekitar tahun 1970-an sampai 1996-an, dengan tema yang sangat beragama dan bersifat spontan. Meliputi berbagai persoalan aktual, politik, budaya, pendidikan, demokratisasi, oposisi dan sampai pada persoalan 27 Juli. Buku ini sangat penting untuk dapat menangkap corak pemikiran religio-sosio politik Nurcholish Madjid dan merupakan buku pendukung untuk memahami karya-karya Nurcholish Madjid lainnya. Kata pengantar dalam buku ini secara panjang lebar dihantarkan oleh pengamat politik Fachry Ali.

14.Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, (1998).

Dalam buku ini tujuh artikel Nurcholish Madjid yang masing-masing ditulis dalam kesempatan yang berbeda juga dalam rentang waktu yang berlainan. Buku ini ingin menunjukkan bahwa pada dasarnya masyarakat Indonesia memiliki semua perlengkapan yang diperlukan untuk menegakkan apa yang disebut dengan masyarakat madani atau dalam istilah modern civil society, yang tak lain adalah nilai-nilai Islam. Buku ini menjadi penting, karena banyak sekali hal-hal berguna bagi generasi mendatang untuk diketahui dan dicerna. Terlepas dari setuju atau tidak setuju, sehingga gagasan-gagasan cemerlang dan progresif yang pernah diungkapkan Nurcholish Madjid ini bisa dijadikan pijakan utama meraih suatu lanjutan yang lebih genuine.

Selanjutnya karya-karya Nurcholis Madjid berupa desertasi, artikel-artikel baik yang berbahasa Arab, Inggris maupun Indonesia, dan makalah-makalah dalam seri KKA (Klub Kajian Arab), antara lain :

Skripsi dan Desertasi

-Al-Qur’an, Arabiyyun Lughatan wa Alamiyyun Manaan, Skripsi, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1968.

-Ibnu Taimiyah on Kalam and Falsafah : Problem and Reason and Revalation in Islam, Disertai, Chicago University, 1984.

Artikel dan Makalah

-Modernisasi Adalah Rasionalisasi Bukan Westernisasi, Bandung, Mimbar Demokrasi, 1968.

-Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat, Jakarta, Islamic Research Centre, 1970.

-Beberapa Problem Pembaharuan Politik, Panji Masyarakat, No. 79, 1971.

-Menggagas Paham Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia, dalam H.M. Rasjidi, Koreksi Terhadap Drs. Nurcholis Madjid Tentang Sekularisasi, Jakarta, Bulan Bintang, 1972.

-Sekali Lagi Tentang Sekularisasi, dalam H.M. Rasjidi, Koreksi Terhadap Drs. Nurcholis Madjid Tentang Sekularisasi, Jakarta, Bulan Bintang, 1972.

-What is Modern in Indonesia Culture?, Athen Ohio, University of Ohio Southeast Asia Studies, 1979.

-Islam in Indonesia : Challenges and Opportunities, dalam K. Pulipelly (ed)., Islamic in the Contemporary World, Notre Dame, Cross Road Books, 1990.

-Cita-Cita Politik Kita, dalam Bosco Carvalo dan Desrizal (eds), Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta, LP3ES, 1983.

-Khilafah dan Perkembangannya, Nuansa, Desember, 1984.

-Suatu Tatapan Islam Terhadap Masa Depan Politik Indonesia, Prisma, Edisi Ekstra, 1984.

-The Theme of Modernization Among Muslims in Indonesia From Participants Point of View, dalam Ahmad Ibrahim, Sharon Shiddique, Yasmin Hussein (eds), Reading on Islam in Southeast Asia, Singapore Institute of Southeast Asian Studies, 1985.

-Usaha Mengembangkan Etos Intelektual di Indonesia, dalam Endang Basri Ananda (ed), 70 Tahun H.M. Rasjidi, Jakarta, Pelita, 1985.

-Tasawuf Sebagai Inti Kebenaran, Pesantren, No. 3, Vol. 11, 1985.

-Integrasi Keislaman dan Keindonesiaan untuk Menatap Masa Depan Bangsa, Seri KKA, Jakarta, Paramadina, 1986.

-Demokrasi sebagai Cara dan Proses, Media Indonesia, Agustus 1984.

-Akhlak dan Iman, dalam Adi Badjuni, Pelita Hati, Masalah Tradisi dan Inovasi Keimanan dalam Bidang Pemikiran serta Tantangan dan Harapannya di Indonesia, Jakarta, Festival Istiqlal, 1991.

-Agama dan Negara dalam Islam, Sebuah Telaah Atas Fiqh Siyasi Sunni, Seri KKA, Jakarta, Paramadina, 1991.

-Peran Agama dan Agamawan dalam Perubahan Masyarakat Indonesia yang Pluralistik. Forum Indonesia Muda, Agustus 1991.

-Pengaruh Kisah Israiliyat dan Orientalisme Terhadap Islam, dalam Abdurahman Wahid, et.al., Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung, Rosdakarya, 1991.

D. Kesimpulan

Nurcholish Madjid adalah sosok tokoh yang mempunyai andil besar dalam khazanah keislaman di Indonesia. Gerakan pemikiran yang reformis membuka mata umat Islam Indonesia bahwa Islam tidak harus terbelenggu dengan normative keislaman tetapi lebih dari itu umat Islam Indonesia harus mampu melahirkan pemikiran yang cemerlang melalui berbagai tulisan dan buah pikiran lainnya. Dan di antara buah pikiran Nurcholish Madjid adalah pemerintah harus diawasi kinerjanya agar tidak semena-mena terhadap rakyatnya, perlunya umat Islam Indonesia lebih maju dari bangsa-bangsa lain karena didukung oleh mayoritas muslim, dan pemikiran lainnya.

Berkat tulisan dan karya Nurcholish Madjid tersebut maka prospek Islam Indonesia sangat terbuka dan posistif dimata muslim dunia karena muslim Indonesia selalu hadir tokoh demi tokoh yang tidak meninggalakan warna asli Indonesianya. Artinya Islam normative tidak mengesampingkan neo modernisme, karena Islam yang dipaparkan oleh Nurcholish Madjid sejalan dengan gerakan modernismenya Nurcholish Madjid.

[1] Studi yang hampir bersifat klasik dilakukan oleh Kemal Hasan untuk disertasinya di Columbia University. Indonesia Muslim Intelektual Response to The Issues of Modernism, lalu diikuti oleh Viktor Tanja. HMI (Diterbitkan oleh Sinar Harapan) Studi terbaru yang dilakukan oleh Greg Berton dari Monash University.

[2]M. Wahyuni Nafis, Rekonstruksi Religius Islam, Ke Arah Peningkatan Etensitas Iman, dalam M. Wahyuni Nafis Ed. Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, (Jakarta : Paramadina, 1996), hlm. Xiii-xiv.

[3] Nurcholis Madjid. Lebih Jauh Dengan Nurcholis Madjid, wawancara dengan Sudirman Tebba, Budiarto Danujaya, dan H. Azkarmin Zaini dari Harian Kompas tanggal 3 November 1985.

[4]Ibid., hlm.3

[5]Ibid., hlm.3

[6]Ibid., Lihat juga, seperti apa yang diungkapkan oleh Fachry Ali dalam seminar sehari, Kritik dan Aspirasi Atas Pemikiran Dr. Nurcholis Madjid, Jakarta 3 JUli 1997.

[7] Nurcholis Madjid. Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1984).

[8]Siti Nadrah. Wacana Keagamaan dan Politik Nurcholis Madjid, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 23.

[9] Nurcholis Madjid. Khazanah Intelektual Islam, Ibid.,

[10] Nurcholis Madjid, dalam Ahmad Ibrahim, et.al. Reading on Islam in South Asia, (Singapore : Institut of South Asia, 1985).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun