[33]Robert N. Bellah, Op.Cit., hlm. 151.
[34]Diantara contoh partikularisme Islam yang paling sederhana adalah gejala-gejala yang ditunjukkan Nurcholis Madjid sendiri tentang pemakaian sarung. Dulu, ujarnya, “sarung untuk orang Indonesia adalah melambangkan kesalehan tapi, di India kesalehan itu bukan dengan sarung, tapi dengan pakaian India itu. Tahun 1950-an, saya di pesantren kalau sholat harus pakai sarung. Kalau tidak maka bisa dilempar batu. Tapi kalau sekarang, makin sedikit yang pakai sarung”. Contoh sederhana dari partikularisme ini mempunyai dasar konseptual apa yang disebut Nurcholish Madjid tentang makna khair dan ma’ruf. Keduanya dalam bahasa Indonesia berarti baik, namun sebenarnya menurut Nurcholish Madjid khair itu kebaikan yang universal, sementara ma’ruf adalah suatu yang dikenal sebagai baik dan ada kaitannya dengan adat dan kontekstual, ada hubungannya dengan ruang dan waktu. Maka, khair dalam konteks Nurcholis Madjid adalah normatif universal, dan ma’ruf operatif kondisional. Wawancara Ulumul Qur’an dengan Nurcholish Madjid. OP.Cit., 35
[36] Nurcholis Madjid. Negara Islam Produk Isu Modern, wawancara Sudirman Tabba, Budiarto Danunjaya, dan H. Azkarmin Zaini dari Kompas, 3 November 1985.
[37]Tentang hal ini lihat, Hobsbawn dan T. Ranger, (peny.), The Invention of Tradition, Cambridge, Cambridge University Press, 1983.
[38] Nurcholis Madjid. Mencari Kebenaran yang Lapang. Wawancara dengan Wahyu Nuryadi, Tempo, 30 Oktober 1992.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H