Mohon tunggu...
Uray Arulsyah Muhammad
Uray Arulsyah Muhammad Mohon Tunggu... Jurnalis - Buruh Penulis Konten

Sedikit paham dan sedikit berpengalaman dalam dunia jurnalisme.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Indonesia Alergi Komunisme

27 Mei 2024   11:23 Diperbarui: 27 Mei 2024   11:35 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia memiliki sejarah panjang yang kompleks dalam hubungannya dengan ideologi komunisme. Sejak kemerdekaan pada tahun 1945, hubungan Indonesia dengan komunisme telah mengalami pasang surut yang signifikan. Sebagai contoh, dua peristiwa besar seperti pemberontakan Madiun tahun 1948 dan Gerakan 30 September (G30S) tahun 1965 telah membentuk pandangan nasional terhadap komunisme, menjadikannya sebagai salah satu ideologi yang paling diwaspadai di Indonesia.

Sejarah Awal Komunisme di Indonesia

Komunisme pertama kali masuk ke Indonesia melalui partai politik Partai Komunis Indonesia (PKI), yang didirikan pada tahun 1920. PKI awalnya berfungsi sebagai bagian dari gerakan nasionalis yang lebih besar melawan penjajahan Belanda. Lalu pada tahun 1926-1927, PKI melakukan pemberontakan melawan penjajah Belanda, namun gagal dan menyebabkan penangkapan dan pembuangan ribuan anggotanya.

Pemberontakan Madiun 1948

Salah satu momen kritis dalam sejarah komunisme di Indonesia adalah Pemberontakan Madiun pada tahun 1948. Dipimpin oleh Musso, seorang tokoh PKI yang kembali dari Uni Soviet, pemberontakan ini bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan Indonesia yang baru berdiri dan mendirikan negara komunis. Pemberontakan ini berhasil ditumpas oleh TNI di bawah pimpinan Jenderal Sudirman, dan peristiwa ini meninggalkan luka mendalam dalam sejarah bangsa Indonesia.

Gerakan 30 September (G30S) 1965

Peristiwa paling signifikan yang mempengaruhi pandangan Indonesia terhadap komunisme adalah G30S pada tahun 1965. Gerakan ini, yang diklaim dipimpin oleh tokoh-tokoh PKI, berusaha melakukan kudeta terhadap pemerintahan Indonesia. Kudeta tersebut gagal, tetapi menyebabkan pembunuhan beberapa jenderal TNI dan mengakibatkan reaksi keras dari militer dan masyarakat. Jenderal Soeharto, yang kemudian menjadi presiden, memimpin kampanye anti-komunis besar-besaran yang mengakibatkan penangkapan, pemenjaraan, dan eksekusi ratusan ribu orang yang diduga terlibat atau simpatisan PKI.

Dampak dan Kebijakan Orde Baru

Selama era Orde Baru (1966-1998) di bawah kepemimpinan Soeharto, komunisme dilarang keras di Indonesia. Propaganda anti-komunis sangat kuat dan pemerintah menjalankan kampanye untuk memastikan bahwa setiap elemen komunis dihapuskan dari masyarakat. Buku, film, dan diskusi tentang komunisme sangat dibatasi, dan kebijakan ini berlanjut hingga beberapa dekade selanjutnya. Pemerintah juga menerapkan sistem screening yang dikenal sebagai "bersih lingkungan" untuk memastikan bahwa tidak ada individu yang terlibat dengan PKI dapat bekerja di sektor publik atau militer.

Masa Reformasi dan Pandangan Modern

Setelah jatuhnya Soeharto pada tahun 1998 dan berakhirnya Orde Baru, Indonesia mengalami era reformasi yang membawa kebebasan politik dan kebebasan berbicara yang lebih besar. Namun, alergi terhadap komunisme tetap ada. Setiap upaya untuk membahas atau menghidupkan kembali ideologi komunis sering kali disambut dengan resistensi kuat dari berbagai elemen masyarakat dan pemerintah. UU No. 27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP mengkriminalisasi penyebaran ideologi komunis.

Alergi Indonesia terhadap komunisme adalah hasil dari sejarah panjang dan traumatik yang telah membentuk pandangan bangsa terhadap ideologi ini. Dari pemberontakan Madiun hingga G30S, komunisme telah menjadi simbol ancaman terhadap stabilitas dan keamanan negara. Meskipun era reformasi telah membawa perubahan dalam kebebasan politik, ketakutan dan kecurigaan terhadap komunisme tetap kuat di kalangan masyarakat Indonesia. Ini mencerminkan warisan sejarah yang kompleks dan luka mendalam yang masih dirasakan hingga hari ini.

Tidak hanya sejarah kekerasan dan pengkhianatan yang mengakibatkan pandangan negatif terhadap komunisme, tetapi juga propaganda anti-komunis yang intensif selama masa Orde Baru memperkuat sentimen ini. Program-program pendidikan dan media yang dikendalikan negara terus-menerus menggambarkan komunisme sebagai ancaman yang harus dijauhi. Akibatnya, generasi yang lahir setelah peristiwa-peristiwa besar tersebut juga mewarisi pandangan yang sama, meskipun mereka tidak mengalaminya secara langsung.

Di era reformasi, walaupun terdapat kebebasan politik yang lebih besar, setiap upaya untuk mendiskusikan komunisme secara terbuka atau mengusulkan rehabilitasi bagi para korban kebijakan anti-komunis sering kali mendapatkan reaksi keras. Sebagian besar masyarakat Indonesia tetap memandang komunisme dengan curiga dan sebagai ideologi yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, ideologi resmi negara.

Namun, ada juga pandangan yang lebih kritis dan reflektif yang muncul di kalangan akademisi, aktivis hak asasi manusia, dan generasi muda. Mereka berargumen bahwa penting untuk menghadapi masa lalu dengan cara yang lebih terbuka dan adil, termasuk mengakui kesalahan dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama kampanye anti-komunis. Pendekatan ini berusaha untuk memberikan pemahaman yang lebih seimbang dan menghindari pengulangan kekerasan dan diskriminasi yang tidak adil di masa depan.

Dalam konteks global, Indonesia bukan satu-satunya negara yang memiliki sejarah traumatik dengan komunisme. Banyak negara lain di Asia Tenggara dan di seluruh dunia juga mengalami konflik serupa dan menghadapi tantangan dalam merekonsiliasi masa lalu mereka. Namun, yang unik di Indonesia adalah kombinasi dari peristiwa-peristiwa berdarah, propaganda yang meluas, dan kebijakan pemerintahan yang sangat represif yang memperkuat alergi nasional terhadap komunisme.

Pada akhirnya, pemahaman yang lebih dalam tentang sejarah dan konteks komunisme di Indonesia dapat membantu membangun dialog yang lebih konstruktif dan inklusif. Ini juga dapat membuka jalan bagi rekonsiliasi nasional yang lebih besar, di mana semua warga negara dapat hidup dalam masyarakat yang lebih adil dan damai tanpa ketakutan terhadap masa lalu yang kelam. Menghadapi sejarah dengan jujur adalah langkah penting menuju masa depan yang lebih baik bagi Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun