Musim memanen hasil ladang, padi, jagung telah menanti para petani untuk mendendangkan syair-syair di hamparan ladang, bersiul di liuk tanaman-tanaman. Teriakan anak-anak sekolah menyusul orang tua mereka di ladang membahana di dinding bukit, memantul menggapai suarah sahutan. Dari lembah beralun lembut denting batu untuk meniti jagung. Di pelataran bukit, barisan burung gereja mengintai ladang sepih untuk mencari sisa-sisa padi. Kehidupan di ladang semarak dan kesemarakan itu berawal dari sebuah kearifan...
Sebelum para petani memanen hasil ladang, saudari mereka atau anak putri mereka diberi kesempatan untuk memetik jagung muda, membakar dan menikmati jagung muda sebelum anggota keluarga yang lain menikmati hasil ladang tersebut. Sebuah pertanyaan refleksi, mengapa saudari diberi tempat terdepan, pertama untuk menikmati hasil ladang ini?. Secara mitos, padi, jagung adalah bagian dari tubuh wanita yang mengorbankan hidupnya untuk keberlangsungan kehidupan manusia, keluarga mereka. Memberikan mereka tempat terdepan adalah bentuk penghargaan, penghormatan bagi mereka.
Refleksi tempat terdepan menegaskan peran wanita, saudari sebagai orang terdepan yang membawa berita, pesan dari saudara mereka saat mempersunting seorang gadis. Dalam ritus adat pernikahan masyarakat Lamaholot, Flores Timur, peran seorang saudari teramat penting, ia menjadi orang pertama, terdepan, orang yang bertugas melayani keluarga saat menikmati menu adat. Tanpa seorang saudari, setiap tahapan ritus adat tidak dapat dimulai. Perannya sungguh vital.
Peran vital karena ia memberikan kehidupan, kehadiraannya, pengorbanannya untuk keberlangsungan sebuah proses kehidupan baru yang dimulai. Eksistensi yang teramat vital ini kadang menjadi sebuah paradoks ketika melihat realita rasa penghormatan, penghargaan terhadap wanita yang rendah. Realitas wanita mengalami kekerasan, realita rendahnya penghargaan terhadap wanita saat berhadapan dengan pembagian warisan lahan pertanian. Realita keangkuhan kaum pria/saudara yang menuntut wanita, saudari harus datang sujud menyembah jika ada kesalahan. DI Di beberapa wilayah, bahkan saat saudari mereka meninggal dunia, jika ada kesalahan atau belis belum dilunasi maka jasad saudari tidak bisa dikuburkan jika hutang adat ini belum dilunasi. Sungguh teramat ironis, ia yang identik dengan kata “berkorban”dan disaat tubuhnya kaku terbaring, juga masih berkorban, jasadnya tidak dihormati karena para saudara, keluarga masih ribut dengan utang-piutang.
Keangkuhan “budaya” secara tidak langsung terwujud dalam cara masyarakat melihat dan memahami alam semesta. Alam yang identik dengan saudari/ibu “Ema Tana Ekan” dikhianati, dieksploitasi sikap diam mereka. Kamu saudari/ibu identik dengan “diam” dan alam dalam diamnya dieksploitasi demi memenuhi keangkuhan manusia. Alam diam membiarkan dirinya dikianati, dirusak.
Tangisannya tidak terdengar tetapi air mata alam teramat terasa. Aliran banjir yang memporakporandakan ladang petani, panas bumi karena tumbangnya pohon-pohon, sunyinya hutan dari kiacauan burung-burung karena senjata-senjata aparat keamanan, masyarakat sipil dengan senjata senapan angin yang memaksa induk burung berpisah dengan anak-anak mereka. Sungguh ironis. Alam terdepan dalam menyediakan kebutuhan hidup manusia namun alam juga terdepan menjadi korban kerakusan , keangkuhan manusia.
Dalam refleksi biblis pada kegiatan lokarya Ekologi berbasis Budaya, tingkat paroki Santo Yosep Lewotobi, 19 Maret 2017, Rm. Marcelinus H. F Lamury, PR menegaskan tentang kebaikan Sang Pencipta. “Kehadiran Yesus Kristus menyatakan kasih Allah amat besar , tidak hanya mencipta, tapi juga memulihkan dan membaharui. Memelihara dan melindungi. Oleh karena itu solidaritas dan kepedulian Allah terhadap manusia harus jadi model bagi manusia untuk bertindak dan memperlakukan ciptaan yang lain.Karya penebusan Yesus Kristus punya nilai universal, menjangkau semua ciptaan”. Lebih lanjut, Rm. Marsel, sapaan Pastor Paroki St Yosep lewotobi ini menjelaskan tentang kebaikan Tuhan dan keangkuhan manusia ...“Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari kami, Ibu Pertiwi, yang menyuap dan mengasuh kami, dan menumbuhkan aneka ragam buah-buahan, beserta bunga warna-warni dan rumput-rumputan” (Art. 1).
Saudari ini sekarang menjerit karena kerusakan yang telah kita timpakan kepadanya, karena tanpa tanggung jawab kita menggunakan dan menyalahgunakan kekayaan yang telah diletakkan Allah di dalamnya. Kita sampai berpikir bahwa kita adalah pemilik dan penguasanya yang berhak untuk menjarahnya. Kekerasan yang ada dalam hati kita yang terluka oleh dosa, tercermin dalam gejala-gejala penyakit yang kita lihat pada tanah, dalam air, di udara dan pada semua bentuk kehidupan. Oleh karena itu bumi, terbebani dan hancur, termasuk kaum miskin yang paling ditinggalkan dan dilecehkan oleh kita. Dia “mengeluh dalam rasa sakit bersalin“ (Rm. 8:22). Kita telah melupakan bahwa kita sendiri adalah debu tanah (Kej. 2: 7); tubuh kita sendiri tersusun dari partikel-partikel bumi, kita menghirup udaranya dan dihidupkan serta disegarkan oleh airnya (Art. 2).
Saudari yang menjerit dalam diam karena keangkuhan budaya, terwujud dalam tangisan alam, menjerit karena kerusakan. Santo Fransiskus dari Assisi melukiskan alam sebagai Rumah Kita dalam LAUDATO SI ‘, Mi’ Signore: Rumah Kita bersama adalah seperti seorang saudari yang dengannya kita berbagi hidup, dan seperti seorang ibu yang menawan yang menyambut kita dengan tangan terbuka”.
Refleksi dari seruan Fransiskus Assisi ini menjadi refleksi umat Paroki Santo Yosep Lewotobi. Dalam Teman Misa, “ Membangun Paroki Membangun Rumah Kita Bersama”, rasa solidaritas sebagai satu kesatuan, sebagai satu keluarga di Paroki hendaknya menjadi motivasi bagi segenap umat Paroki Santo Yosep Lewotobi untuk terus berjuang dan memperlakukan alam sebagai saudari, sebagai bagian penting dalam keseharian hidup.Kesadaran terhadap nilai-nilai ekologi berbasis budaya ini menjadi titik refleksi atas model Kasih Allah. “Allah tidakmencipta, tapi juga memulihkan dan membaharui. Memelihara dan melindungi. Oleh Karena itu Solidaritas dan kepedulian Allah terhadap manusia harus jadi model bagi manusia untuk bertindak dan memperlakukan ciptaan yang lain” tegas Rm. Marsel.
Upaya membangun kesadaran solidaritas dengan alam membutuhkan proses. Model Kasih Allah harus mampu direfleksikan serta dikomunikasikan agar manusia, masyarakat sadar pentinnya alam. Kesadaran terhadap nilai-nilai budaya dalam menempatkan wanita terdepan membutuhkan proses edukasi, advokasi agar setiap orang terkhusus generasi muda tidak hanya menerima warisan budaya tetapi gagap dalam menterjemahkan dan menghayati nilai-nilai budaya ini.
Kegagapan Dunia Pendidikan
Kegagapan menterjemahkan warisan budaya karena ruang dalam dunia pendidikan tidak atau kurang didesign sebagai ruang refleksi nilai-nilai luhur budaya. Pendekatan muatan lokal hanya berhenti pada tataran keterampilan dan pengetahuan saja bukan beranjak lebih mendalam sebagaimana Yesus menyuruh para Murid Nya untuk menebarkan jala pada tempat yang lebih dalam.
Proses refleksi nilai-nilai sosial, budaya, relasi kosmos harus menjadi sebuah refleksi yang terus dibangun secara sistimatis lewat dunia pendidikan. Melalaui refleksi yang terus menerus, disharingkan, ditulis, diterjemahkan dalam tindakan-tindakan kecil, anak-anak, generasi penerus gereja, penerima sekaligus pewaris budaya menjadi generasi melek budaya yang sungguh menyadari pentingnya Bumi sebagai Rumah Bersama, di mana martabat wanita sungguh diharagai karena Ia Wanita adalah Gambar Citra Allah Sang Pencipta Langit dan Bumi.
Komunikasi, Jembatan Pesan Nilai
“Generasi Melek Budaya” adalah generasi yang mampu melakukan refleksi warisan budaya, menyajikan dalam sebuah diskursus serta berjuang mengkomunikasikan pesan nilai-nilai tersebut. Warta keselamatan dalam sejarah penyelamatan Umat Manusia, warta nilai-nilai moral dari warisan budaya harus terus dikomunikasikan. Media, model dan metode harus terus dikemas agar setiap generasi, setiap orang merasa terdorong memiliki nilai-nilai tersebut serta berjuang dalam totalitas menterjemahkan nilai-nilai kehidupan tersebut.
“Selamat Menyambut Yesus di Kota Yerusalem dengan Teriakan Hosana..... dan jangan lupa daun palem di tangan anda adalah bukti kebaikan alam memberikan dan merelakan dirinya digunakan untuk Menyambut Tuhan. Melalui tangan anda, alam pun turut menyambut Tuhan”
Sabtu, 8 Apri 2017
Catatan harian anak Petani
URAN, Fabianus Boli
Pemerhati Budaya, Aktivisi Lingkungan Hidup
Tinggal di Lewotobi, Desa Birawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H