Mohon tunggu...
Faby Uran
Faby Uran Mohon Tunggu... Petani -

aku anak Petani, rindu kembali menjadi Petani, membangun kampung halaman.\r\nDengan menulis, kubingkai potret kehidupan berpanorama sudut waktu antara garis pantai dan bukit ladang, kudendangkan sekuat deburan ombak, mewartakan kearifan Lokal yang harus dilindungi, kuletakan jiwaku di belantara pencaharian ini untuk generasi selanjutnya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Komnas HAM yang Latah

18 Mei 2013   21:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:22 554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Komnas HAM yang telah “ melunak” dalam mengkritik Jokowi Ahok berkaitan dengan Waduk Pluit,  saya mencoba menurunkan tulisan ini sebagai sebuah kajian komunikasi sosial. Semoga bermanfaat.

Komunikasi Pasca Banjir.

Pemerintah DKI secara terus menerus mengkomunikasikan baik lewat media massa dan dialog dengan warga tentang rencana relokasi warga ke Rusun baik di Muara Baru, Marunda dan Rusun yang lain.

Komunikasi yang dibangun langsung disertakan dengan tindakan nyata yakni memfasilitasi warga yang pindah ke Marunda dengan kelengkapan seperti TV, Kulkas,Tempat Tidur dsb.  Diskusi dengan beberapa warga (maaf nama tidak dicantumkan) menunjukan bahwa warga siap direlokasi dengan catatan disiapkan rusun. Ada pertanyaan warga, bagaimana dengan soal tempat kerja, secara jelas Jokowi Ahok telah menjelaskan bahwa aka ada transportasi laut dan akan dibuka lapangan kerja di Marunda kerjasama dengan KBN. Semuanya sudah terbukti.

Artinya, pola komunikasi yang dibangun oleh Jokowi Ahok didukung perangkat pemerintah Kelurahan dan Kecamatan Penjaringan  menegaskan bahwa pesan yang disampaikan itu jelas, pesan yang disampaikan itu butuh proses untuk membuat orang memahami dan akhirnya mau berubah.

Penyimpangan Informasi.

Proses relokasi warga dan normalisasi waduk diharapkan berjalan lancer namun perkembangannya menunjukkan  penolakan keras dari warga. Sepanjang catatan penulis, sebelum  Bencana Banjir, warga Muara Baru di pinggir waduk yakni RT 16 dan 19 sudah didata dan menjadi target utama untuk pindah ke Rusun Muara Baru. Artinya informasi relokasi (pindah) sudah masuk dalam rencana pembangunan Jakarta. Penolakan yang dilakukan oleh warga Muara Baru sebagaimana dilansir oleh Media Massa bahwa banyak mafia yang bermain khususnya para cukong atau orang-orang berduit yang memiliki kontrakan di pinggir waduk pluit.

Data yang terekam dilapangan menunjukkan bahwa setiap hari masyarakat disugguhkan berita-berita yang tidak benar. Contoh berita yang dikisahkan seorang juru warta (maaf nama tidak dicantumkan) dengan gayanya beliau meyakinkan bahwa sebagian warga telah menerima ganti rugi  berupa  uang dan diserahkan oleh pihak pemerintah. Ketika ditanya, anda punya bukti, katanya warga yang menyampaikan. Ok kalau begitu bisa tidak anda kumpulkan warga yang terima uang dan kita fasilitasi ke Gubernur untuk menyerahkan bukti bahwa mereka telah terima uang dari pemerintah? Ujung cerita si Juru Warta ini gagap berdiskusi dan mulai ngelantur bicara tanpa data, hanya “katanya, katanya, hanya info yang diterima begini, begitu tanpa ada konfirmasi kejelasan berita.

Gambaran di atas menunjukkan bahwa warga Muara Baru saat ini menjadi menderita bukan  karna program relokasi dan normalisasi waduk Pluit tetapi karna kegagapan mereka dalam menerima dan mengelola informasi. Warga dalam kondisi tertekan sangat mudah diprovokasi oleh para mafia bahwa sebagain warga telah menerima uang dari pemerintah.

Ditengah kondisi warga yang gelisah ini, dibutuhkan komunikasi  yang jelas. Berdasarkan berita yang dimuat dalam beberapa media massa ( rujukan pada Kompas) Jokowi telah dan sering melakukan dialog dengan Warga namun yang warga yang hadir selalu berbeda. Hal ini menarik berdasarkan temuan di lapangan. Diskusi dengan beberapa tokoh masyarakat, justru beberapa ketua RT yang wilayahnya kena normalisasi ketika diundang untuk hadir dialog tidak mau datang. Bagaimana bisa mendapatkan berita yang jelas jika orang yang hadir dalam dialog baik dilakukan di Balai Kota atau ditempat lain  selalu berbeda dan para pimpinan tidak hadir? Sekali lagi ini tugas pemerintah untuk secepatnya berdialog khususnya dengan para ketua RT dan Toga/ Tomas di wilayan RT 16 dan 19.

Kehadiran Komnas HAM...Solusi atau Mengacaukan?

Menghadapi penolakan warga, Wakil Gubernur dengan tegas menyampaikan bahwa  cara-cara menduduki tanah Negara adalah cara-cara/ paham Komunis. Dan Beliau pun sudah mengklarifikasi pernyataan beliau bahwa Beliau tidak menuduh warga Muara Baru sebagai Komunis tetapi oknum LSM yang mengancam. Berkaitan dengan statemen-statemen ini, warga tidak terlalu memahami yang mereka pahami adalah “ Komunis” bahwa klarifikasi dari Basuki ini tidak sampai ke mereka.  Hal ini diperparah dengan permainan para “ mafia”yang membelokan informasi sehingga masyarkat tetap percaya bahwa Jokoi Ahok tidak berpihak dengan mereka. Maka pernyataan Ketua RT 19 Sharoni bahwa mereka mau dialoh langsung dengan Gubernur menegaskan bahwa masyarkat mau mendapatkan Informasi yang jelas. Namun.....

Kehadiran Komnas HAM setelah mendapatkan  pengaduan dari warga justru membuat warga semakin berani menolak karna merasa mendapatkan dukungan penuh. Komnas HAM dengan keterbatasan data dan minim strategi dalam menggali data begitu cepat menyimpulkan bahwa kebijakan Normalisasi telah melanggar HAM. Kondisi semakin panas, penolakan semakin gencar justru muncul setelah kehadiran Komnas HAM.

Kondisi ini bagi penulis, kehadiran Komnas HAM bukan memberikan solusi tetapi justru membuat rakyat jadi sengsara. Akibat “Kelatahan” KOMNAS HAM yang menyudutkan Gubernur dan Wakil Gubenur membuat warga merasa bahwa perbuatan mereka menduduki tanah Negara adalah benar. Seharsunya Komnas HAM melakukan pendekatan awal secara diam-diam, mengumpulkan data, dan tidak cepat mengeluarkan statemen di Media Massa. Seharusnya Komnas HAM melakuan dialog awal dengan pihak pemerintah tanpa harus diliputi media untuk mencocokan data, membangun strategi bersama dalam kaitan melakukan pendekatan komunikasi ke Warga. Dengan strategi komunikasi yang jelas, didesig bersama Komnas HAM tidak menempatkan diri hanya berpihak pada warga di bantaran Waduk Pluit tetapi berdiri sebagi fasilitator yang menjembatani warga  Muara Baru, Pemerintah dan Kepentingan warga DKI umumnya.

Seandainya Komasn HAM sungguh bekerja, artinya tidak hanya menungguh laporan masuk, mereka seharusnya sudah menurunkan team sejak awal untuk melakukan investigasi untuk mendapatkan data yang benar, menganalisa kemungkinan-kemungkinan potensi pelanggaran HAM. Jika mereka menempuh cara ini maka kondisi di Muara Baru tidak menjadi semakin panas tetapi justru proses relokasi berjalan baik, lancer dan warga pun tenang. Justru karna Komnas HAM menggunakan pendekatan “ Tungguh Laporan Masuk” maka kondisi jadinya seperti perang anatra Warga dengan Pemerintah, Pemerintah dengan Komnas HAM.

Ini pembelajaran. Semoga KOMNAS  HAM tidak Latah dalam mengkomunikasikan sesuatu tanpa ada kejelasan dan kevalidan data. Semoga Komnas HAM semaki melek dalam membangun strategi komunikasi yang konstruktif bukan menjadi provokator, menjadi alat pembawa kejelasan bukan menambah ketidak pastian... semoga

Beberapa Sumber Data :

Jokowi Sudah Berkali-kali Dialog dengan Warga Pluit

Basuki: Apa Perlu Komnas HAM Saya Kasih Kuliah Umum

www.bolyuranblogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun