Mohon tunggu...
Muhammad Luthfi Yufi
Muhammad Luthfi Yufi Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar MTsN Padang Panjang

Hobiku memasak dan fotografi, dan keduanya selalu membuat hariku lebih seru! Memasak adalah petualangan rasa—seperti bermain dengan palet warna, tapi dengan bumbu dan bahan makanan. Setiap masakan adalah eksperimen kecil, dan rasanya selalu menyenangkan ketika berhasil menciptakan hidangan yang enak. Fotografi, di sisi lain, adalah cara favoritku untuk mengabadikan momen-momen ajaib yang kadang terjadi begitu saja. Dengan kamera di tangan, rasanya seperti memegang kunci untuk menghentikan waktu. Plus, belajar editing itu seperti memberi sentuhan sihir pada fotoku—membuatnya lebih hidup dan memuaskan. Hobi-hobi ini tidak hanya membuat hariku lebih berwarna, tapi juga membawaku lebih dekat dengan hal-hal yang aku cintai.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Melangkah Perlahan di Bonjol: Kisah Liburan Penuh Makna

23 Januari 2025   22:00 Diperbarui: 23 Januari 2025   22:00 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tugu Tuanku Imam Bonjol 


22 Desember 2024
Pagi ini pukul 07.00 WIB, kami sekeluarga memulai perjalanan menuju kampung  halaman bundaku di Bonjol, Pasaman. Kampung ini sangat istimewa karena menjadi tempat lahirnya pahlawan nasional, Tuanku Imam Bonjol. Selain sejarahnya yang kaya, aku ingin merasakan ketenangan hidup di kampung, jauh dari hiruk pikuk kota.

Perjalanan terasa menyenangkan. Kami melewati persawahan hijau yang luas, bukit-bukit kecil, dan rumah-rumah tradisional Minang. Pemandangan ini seolah mengingatkanku untuk memperlambat langkah dan menikmati setiap momen perjalanan. Dalam perjalanan, kami berhenti sejenak di warung sederhana untuk sarapan. Duduk bersama keluarga sambil menikmati nasi kapau di tepi jalan menjadi momen kecil yang penuh makna.

Pukul 10.00 WIB, kami tiba di rumah nenek. Nenek dan Atuk menyambut kami dengan senyum hangat. Setelah menyalami mereka, nenek menyuguhkan teh manis hangat yang dibuat dari daun teh lokal. Aku meminum teh itu perlahan, menikmati aroma dan rasanya yang khas. Segalanya terasa begitu sederhana namun menenangkan.

Setelah meminum teh, aku merasa rileks dan tertidur hingga sore hari. Saat azan asar berkumandang, aku terbangun dan bersiap untuk sholat bersama Atuk di masjid kampung. Masjid kayu ini sederhana, tetapi memiliki atmosfer yang damai. Seusai sholat, aku dan Atuk berjalan santai keliling kampung. Kami melewati ladang kopi, sawah, dan kebun cabai. Udara segar dan pemandangan indah membuatku merenung, betapa bahagianya hidup dengan ritme yang lambat dan penuh kesadaran.

Penduduk kampung terlihat sibuk, tetapi tidak terburu-buru. Sebagian besar dari mereka adalah petani. Mereka menanam padi, kopi, dan sayur-mayur, sambil tetap meluangkan waktu untuk berbincang atau sekadar menikmati secangkir kopi. Inilah yang aku sebut slow living---hidup yang tidak tergesa-gesa, tetapi tetap produktif.

Saat malam tiba, setelah sholat isya, aku menghabiskan waktu bersama nenek membuka album foto lama. Aku mendengarkan kisah-kisah masa kecil nenek yang penuh perjuangan, tetapi tetap diceritakan dengan senyum di wajahnya. Momen seperti ini membuatku sadar bahwa kebahagiaan bisa ditemukan dalam hal-hal sederhana.

Aku tidur lebih awal malam itu. Kehidupan di kampung mengajarkanku untuk tidak selalu terpaku pada jam, tetapi pada kebutuhan tubuh dan pikiran untuk beristirahat.

23 Desember 2024
Pagi-pagi sekali, aku terbangun untuk sholat subuh. Setelah itu, aku menemani nenek dan Atuk jalan pagi. Kami tidak terburu-buru, hanya menikmati udara dingin, suara burung, dan pemandangan matahari yang perlahan muncul di balik bukit. Jalan pagi ini benar-benar memberiku ketenangan batin.

Setelah kembali ke rumah pukul 07.00 WIB, aku membantu bunda memasak. Hari ini kami membuat perkedel kentang, gulai ikan, dan sambal lado. Aku memperhatikan setiap proses memasak dengan penuh perhatian, mencoba menikmati setiap langkahnya, mulai dari mengupas bawang hingga mencicipi hasil akhir.

Usai makan, kami memutuskan mengunjungi tugu ekuator. Tugu ini adalah simbol garis khatulistiwa yang membelah bumi menjadi dua bagian, utara dan selatan. Aku takjub dengan desainnya yang sederhana tetapi bermakna. Aku berdiri tepat di garis khatulistiwa, merasakan sensasi unik berada di antara dua belahan dunia.

Di sekitar tugu, terdapat warung kecil yang menjual oleh-oleh khas Bonjol. Aku membeli kopi lokal dan keripik singkong pedas. Sambil menikmati kopi, aku duduk di bangku kayu, mengamati kehidupan sekitar. Semua orang terlihat santai, seolah waktu berjalan lebih lambat di sini.

Perjalanan dilanjutkan ke Benteng Tuanku Imam Bonjol. Tempat ini mengajarkanku tentang perjuangan masa lalu. Aku berjalan perlahan di sekitar benteng, membayangkan bagaimana para pejuang bertahan di tempat ini. Udara segar dan pemandangan hijau di sekitar benteng membuatku semakin menghargai keindahan yang ada di kampung ini.

Sore harinya, kami kembali ke rumah nenek. Aku duduk di beranda, menikmati angin sepoi-sepoi sambil membaca buku. Di kampung, tidak ada tekanan untuk selalu produktif atau mengikuti jadwal ketat. Waktu terasa berjalan lebih tenang, memberikan ruang untuk merenung dan menghargai kehidupan.

Malam ini, setelah makan malam, aku berbincang lagi dengan nenek. Nenek bercerita tentang bagaimana orang-orang di kampung selalu menjaga keseimbangan antara kerja keras dan menikmati hidup. "Hidup itu harus dinikmati, jangan terlalu terburu-buru," kata nenek.

24 Desember 2024
Hari terakhir di Bonjol. Sebelum pulang, aku menyempatkan diri berjalan-jalan di sekitar kampung. Aku mengunjungi sawah, kebun kopi, dan pasar kecil. Setiap tempat menyimpan cerita tentang kesederhanaan dan harmoni antara manusia dan alam.

Pukul 09.00 WIB, kami berpamitan dengan nenek dan Atuk. Nenek menitipkan beberapa makanan khas untuk kami bawa pulang. Perjalanan pulang terasa berbeda; aku merasa lebih rileks, seolah energi positif kampung ini telah mengisi pikiranku.

Bonjol bukan hanya tentang sejarah atau keindahan alamnya, tetapi juga tentang cara hidup yang perlahan, penuh kesadaran, dan rasa syukur. Aku berjanji untuk kembali ke sini suatu hari nanti, bukan hanya untuk bertemu keluarga, tetapi juga untuk kembali belajar tentang makna slow living.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun