Mohon tunggu...
Muhammad Luthfi Yufi
Muhammad Luthfi Yufi Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar MTsN Padang Panjang

Hobiku memasak dan fotografi, dan keduanya selalu membuat hariku lebih seru! Memasak adalah petualangan rasa—seperti bermain dengan palet warna, tapi dengan bumbu dan bahan makanan. Setiap masakan adalah eksperimen kecil, dan rasanya selalu menyenangkan ketika berhasil menciptakan hidangan yang enak. Fotografi, di sisi lain, adalah cara favoritku untuk mengabadikan momen-momen ajaib yang kadang terjadi begitu saja. Dengan kamera di tangan, rasanya seperti memegang kunci untuk menghentikan waktu. Plus, belajar editing itu seperti memberi sentuhan sihir pada fotoku—membuatnya lebih hidup dan memuaskan. Hobi-hobi ini tidak hanya membuat hariku lebih berwarna, tapi juga membawaku lebih dekat dengan hal-hal yang aku cintai.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Melawan Lupa, Meraih Perubahan

21 November 2024   19:11 Diperbarui: 21 November 2024   19:16 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi itu, aku, Luthfi, kembali panik karena lupa membawa buku Bahasa Indonesia. Di depan pintu kelas, Putin menatapku dengan tatapan heran. "Lagi-lagi lupa, Luthfi? Kamu ini gimana sih?" katanya sambil menggeleng.

Aku hanya meringis, mencoba mencari alasan yang masuk akal. Fajri, yang sedang membaca buku di meja, mendengar percakapan kami. "Tugas PR juga kan hari ini? Kamu bawa, kan?" tanyanya dengan nada curiga.

Hatiku langsung mencelos. Aku baru ingat kalau PR Bahasa Indonesia itu belum aku kerjakan. "Astaga, gimana ini?!" gumamku sambil memegangi kepala.

Apip, teman sebangkuku, langsung mendekat dan menepuk pundakku. "Sudah kuduga. Kamu pasti lupa lagi," ucapnya, meskipun nada suaranya tidak terdengar mengejek.

Saat bel berbunyi, Bu Nana masuk ke kelas dengan membawa tumpukan kertas. "Selamat pagi, anak-anak. Hari ini, kita akan memeriksa tugas PR yang saya berikan minggu lalu," katanya dengan nada tegas.

Aku menunduk, merasa semua tatapan teman-temanku tertuju padaku. Putin melirikku dengan ekspresi khawatir. "Kamu harus ngomong jujur ke Bu Nana," bisiknya pelan.

Ketika namaku dipanggil, langkahku terasa berat menuju meja Bu Nana. "Luthfi, mana tugasmu?" tanya beliau, sambil memandangku dengan mata yang tajam. Dengan suara pelan, aku menjawab, "Maaf, Bu. Saya lupa mengerjakannya."

Suasana kelas menjadi sunyi. Bu Nana menarik napas panjang sebelum memberikan nasihat. "Luthfi, kebiasaan lupa ini harus segera kamu perbaiki. Kalau tidak, kamu akan kesulitan di masa depan," katanya tegas.

Setelah pelajaran selesai, aku duduk termenung di bangku. Putin, Apip, dan Fajri segera menghampiriku. "Kita harus cari cara biar kamu nggak lupa lagi," ujar Putin dengan semangat.

Fajri menyarankan untuk membuat jadwal harian. "Kamu bisa tulis semua tugas di buku catatan khusus," katanya sambil menyerahkan buku kecil berwarna biru. Apip menambahkan, "Kalau perlu, pasang alarm juga di HP-mu."

Aku merasa terharu dengan perhatian mereka. "Terima kasih, ya. Aku akan coba," jawabku dengan suara pelan. Dalam hati, aku berjanji untuk lebih serius memperbaiki diriku.

Keesokan harinya, kami mulai menjalankan sistem baru. Setiap ada tugas, Putin dan Apip membantuku mencatatnya di buku catatan. Fajri bahkan membuat grup WhatsApp kecil untuk mengingatkan kami tentang PR dan jadwal pelajaran.

Hari-hariku mulai terasa lebih teratur. Ketika Bu Nana memberikan tugas baru, aku langsung mencatatnya di buku yang Fajri berikan. "Bagus, Luthfi! Jangan lupa kerjakan nanti malam," kata Apip sambil tersenyum.

Seminggu berlalu, dan aku berhasil mengumpulkan semua tugas tepat waktu. Bu Nana tersenyum puas saat melihat tugasku. "Lihat? Kalau kamu berusaha, hasilnya pasti baik," ucapnya sambil mengangguk.

Namun, ujian sebenarnya datang saat Bu Nana mengumumkan akan ada ulangan mendadak. "Anak-anak, keluarkan kertas. Kita akan mengadakan ulangan harian," katanya tanpa memberi waktu persiapan.

Wajahku langsung pucat, begitu juga dengan Apip dan Putin. "Tenang, kita pasti bisa," bisik Fajri, mencoba menenangkan. Aku mencoba mengingat pelajaran yang telah kami pelajari bersama-sama.

Ketika soal dibagikan, aku merasa gugup namun berusaha tetap fokus. "Jangan panik, Pi. Kerjakan pelan-pelan," bisik Putin dari sebelahku. Apip mengangguk, memberikan isyarat bahwa aku harus tetap tenang.

Meski tidak semua soal bisa aku jawab, aku berusaha semampuku. Saat waktu habis, kami mengumpulkan kertas dengan perasaan was-was. Aku hanya bisa berdoa semoga usahaku membuahkan hasil.

Beberapa hari kemudian, hasil ulangan diumumkan. Nilai kami cukup memuaskan, bahkan aku mendapat nilai di atas rata-rata. "Lihat, Luthfi! Usaha kita nggak sia-sia," seru Apip dengan senyum lebar.

Bu Nana pun memujiku di depan kelas. "Luthfi, saya bangga kamu mulai berubah. Pertahankan, ya," katanya dengan tulus. Aku tersenyum lebar, merasa semua kerja keras ini tidak sia-sia.

Sejak saat itu, aku semakin bersemangat untuk melawan sifat pelupa. Putin, Fajri, dan Apip terus mendukungku dalam proses ini. Aku tahu, dengan usaha dan bantuan teman-teman, aku bisa menjadi lebih baik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun