Kemudian Salman pernah bercerita padakku.
“Pi, Salman waktu itu pernah dimarahin oleh supir angkot. Gara-gara waktu itu saking susahnya Salman untuk turun dan harus duduk dulu di tangga pintu angkot.”
Pikirku, mungkin persis seperti kejadian waktu itu turun dari angkot. Salman memerlukan usaha yang keras hanya sekedar untuk turun.
“Memangnya di marahin gimana Man?”. Tanyaku padanya.
“Eeeuuh!! Budak teh meni hararese turun teh!.” Jawab Salman dengan raut muka yang menunjukan sakit hati.
Mendengar cerita tersebut membuatku merasa geram. Marah kepada supir angkot tersebut. Kalaulah aku ada disana akan aku pukul supir angkot itu. Kalau boleh berkata kasar akan aku katakan pada sopir itu, ”Pika Anjingeun pisan”.
Bagaimana kalau posisinya adik atau saudara kita yang diperlakukan seperti itu. Kira-kira apa yang akan kita lakukan?
Menginjak kelas 3 Mu’allimien, penyakit Salman bertambah parah. Tulangnya kropos, paru-parunya semakin parah. Salman terserang osteoporosis. Allah mengujinya kembali untuk menaikan derajatnya sebagai seorang hamba Allah. Tulang paha kanan dan kirinya patah. Sehingga menyebabkan Salman tidak bisa berjalan. Ia hanya terbaring tidak berdaya. Kedua kakinya dibalut perban, dan diberi beban pada kakinya. Selama setahu Salaman harus berbaring. Bayangkan bila kita berbaring setahun, kira-kira apa yang kita rasakan?. Kulit kakinya mengelupas akibat lembab yang diakibatkan perban yang menutupi kakinya. Punggungnya lecet-lecet, karena harus terus berbaring. Hatiku semakin menangis melihat keadaannya.
Kakinya gatal-gatal akibat kulitnya mengelupas. Untuk menggaruknya saja ia tidak bisa. Ia hanya meringis menahan gatal. Kadang ia meinta bantuanku hanya sekedar untuk menggaruknya. Ya Allah, begitu kuatnya adikku ini dalam menghadapi ujianmu. Untuk buang air besarpun baginya terasa susah. Buang air pun ia lakukan di atas pembaringan. Persis seperti seorang bayi. . Walaupun keadaanya begitu, dia tidak pernah memperlihatkan rasa sedih di depan kami, malah dia selalu menghibur kami. Pernah suatu saat dia menangis ketika melihat kami membantunya buang air besar. Ayahku bertanya padanya, “Man, kenapa nangis?”.
“Salaman malu sama semuanya karena dari kecil sampai sekarang, Salman selalu menyusahkan semua”. Jawabnya dengan tersedu-sedu.
Jawaban tersebut membuat hatiku semakin menangis, “bagaiamana jawaban tersebut bisa diucapakan oleh adikku yang justru keadaannya sedang sakit”. Sangatlah wajar jika dia menyusahkan kami karena itu kewajiban kami.