BANDUNG - Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) Jakarta dan Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Bandung kembali berkolaborasi.
Setelah melakukan serangkaian seminar bersama, Universitas Moestopo dan ISBI Bandung kembali  melakukan collaborative lecture dengan nara sumber Dr. Supriatna, S.Sn., M.Sn., pengampu mata kuliah seni lukis dan Prof. Dr. Rudy Harjanto, M.Sn., Guru Besar Komunikasi Periklanan secara luring di Studio Grafis Kampus ISBI Bandung, Senin (8/11).
Kegiatan ini merupakan bagian dari Simulasi Permodelan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka yang digagas Universitas Moestopo Jakarta dan ISBI Bandung.
Program ini memungkinkan mahasiswa memiliki kebebasan untuk studi lintas program studi dan bahkan perguruan tinggi. Terkait hal itu, Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) Jakarta dan ISBI Bandung, melakukan kolaborasi pembelajaran sebagai wujud nyata pelaksanaan Kampus Merdeka.
Pada collaborative lecture kali ini, Dr. Supriatna memaparkan bila seni itu pada dasarnya bersifat relatif, tergantung dari interpretatif penikmatnya. Meski begitu, berlatih dan bekerja secara motorik merupakan kunci peningkatan kemahiran seorang seniman.
Sebab rasa seni pasti dimiliki setiap orang karena seni dapat membantu mengekspresikan apa yang ada di dalam hati dan pikiran.
"Namun walau rasa itu dimiliki setiap orang, estetika seni juga mutlak harus dipelajari agar karya yang dihasilkan memiliki standar seni dan seorang seniman menjadi lebih bijak dalam menghasilkan karya," paparnya.
Karenanya, seniman yang menempuh dunia akademik seni tetap harus bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan, berbeda dengan jalur di luar akademik lebih bebas.
Ketika disandingkan dengan dunia pemasaran, Prof. Rudy beranggapan bahwa seniman idealnya peka pada fenomena dan dapat memberikan arahan terhadap kebutuhan konsumen.
"Sebab konsumen adalah mitra pemasar," cetus Prof. Rudy.
Lebih lanjut Prof. Rudy memaparkan bila produk itu sebelumnya dikenal sebagai produk berwujud dan tidak berwujud. Sekarang, kita juga mengenal produk virtual yang nampak tetapi tidak ada, ada tetapi tidak nampak
Hal itu terjadi karena perkembangan teknologi memungkinkan barang yang belum ada tetapi sudah dapat dipasarkan.
Di masa kini, lanjut Prof. Rudy, sudah terjadi pergeseran peran antara komunikator dan komunikan (penerima pesan), komunikan aktif mencari pesan secara langsung sebelum komunikator menempatkan pesan di media tertentu. Dengan demikian, komunikan menyebarkan pesan tersebut kepada orang lain.Â
"Hal ini memperkaya prinsip AIDA (awareness, interest, desire, action) menjadi AISAS (attention, interests, search, action, share)," tambah Prof. Rudy.
Ketika mengambil keputusan pembelian sebuah produk pun kita tidak lagi selalu mendengarkan pesan promosi dari produsen namun kini sudah pula dipengaruhi oleh pihak ketiga dalam mengambil keputusan, misalnya melalui review atau situs atau kelompok teman.
"Di era digital ini konsumen lebih mengandalkan apa yang disebut F-factor yakni friends, families, fans/followers (media sosial) ketimbang pesan marketing atau iklan dari produsen. Hal ini patut dicermati dan didalami oleh para pemasar," lugas Prof. Rudy.
Sebagai informasi, kegiatan collaborative lecture ini diikuti oleh mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain, ISBI Bandung dan mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis serta Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H