Mohon tunggu...
Nashifuddinl luthfi
Nashifuddinl luthfi Mohon Tunggu... -

hanya seorang petualang. bertujuan mencari jati diri yang sejati. hidup sebagai pilihan, manis maupun pahit tetap dijalani.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kebudayaan Populer; antara Tranformasi dan Enkulturasi

29 September 2013   06:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:14 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Prolog

Saat masih usia remaja, manusia mempunyai kehidupan yang berbeda dengan usia-usia masa kecil ataupun dewasa. Di waktu itu, ada semangat jiwa untuk proaktif dan berparsitipastif dengan mode yang sedang berkembang, baik dikalangan kota maupun di pedesaan. Meskipun pada dasarnya, dua golongan ini mempunyai interpertatif berbeda tentang fungsi mode itu dimunculkan, akan tetapi dua golongan kelompok manusia ini menjadi penting karena ia sebagai simbolisme lingkungan yang hadir di waktu itu dan menjadi penyebab dalam mempengaruhi terbentuknya watak dan karakter manusia berkembang dari waktu ke waktu hingga berputar kembali dari awal waktu.

Sebelum jauh menoropong perbedaan interpertatif dua jenis golongan manusia di atas, sebaiknya kajian ini berfokus pada topik nalar budaya Indonesia pada umumnya, yaitu mengaca kembali strukturalisme trasendental pola komunikasi budaya daerah Indonesia, untuk dirumuskan konsepsi ‘budaya nasional’ dan menjembatani perbedaan yang mendalam antara keadaan kota dan desa. Dalam studi kasus umumnya, rumusan budaya adalah hal penting sebagai identitas bangsa, persepsi ini dibangun atas sikap kekhawatiran atas cagar budaya yang mulai dilupakan dan dipertentangkan keberadaannya, karena perhatian pemerintah kurang dalam menjaga eksistensinya. Di sisi lain, persepsi itu muncul karena latar belakang yang berbeda, seperti keadaan kota biasanya dibahasakan sebagai hal yang bising dan keadaan desa selalu diceritakan dengan keadaan yang nyaman serta tentram; ruang georgrafis perkotaan penuh dengan gedung-gedung tinggi, sedangkan di desa selalu dipenuhi dengan pepohonan, cocok-tanam, gunung asri dan keindahan alam lainnya. Dengan kata lain, karena sifat lingkungan kota adalah masyarakat indrusti yang mempunyai gaya persaingan hidup ketat dan mahalnya biaya hidup, sedangkan sifat lingkungan desa yang nyaman, membentuk manusianya untuk bisa menikmati hidup dengan nikmat serta saling bantu-membantu agar rukun dan tentram.

Spektrum yang terbentuk di atas adalah hukum alam yang mencoba dirumuskan oleh para peniliti budaya pada umumnya. Yakni budaya yang dihasilkan selalu bermula dari keadaan geografis alam; corak berpikir manusia pun juga dipengaruhi oleh keadaan lingkungan. Hingga manusia pada tahap selanjutnya, mencoba melepaskan diri dari pengaruh trasendetal alam-lingkungannya untuk mengobjektifikasi karya manusia dan alam.  Perwujudan dirinya tak lebih seperti melihat wajah dalam air jernih yang mempunyai bias-bias jarak cahaya dan waktu.

Dari problematika semacam inilah, bias-bias jarak tersebut harus diobjektifikasikan ke dalam arti yang rasional; dari penerjemahan nilai-nilai internal budaya ke dalam kategori objektif. Sehingga kita akan meninggalkan dominasi liyan ke dalam pemaknaan budaya di sini.  Dengan pendekatan semacam ini, penulis mencoba untuk menguraikan kembali, bagaimana budaya populer mencoba menggatikan posisi budaya tinggi berasal dari budaya masyarakat, dan seperti apakah budaya  berfungsi dengan baik sebagai identitas dalam skala nasional atau ia hanya mati tergerus oleh zaman? Atau apakah budaya  sesuai dengan ideologi negara yang menjujung tinggi persamaan ras dan warisan kultur masa lalu?

Memaknai Budaya  Dalam Nalar Etik Kulturisme

Pada saat ini, manusia Indonesia lebih menyukai gaya korea dari pada gaya barat, lebih menyukai musik beraliran Ceryy Bel daripada campur sari atau dangdut. Dan orang yang tidak bergaya seperti ikon itu, dianggap ketinggalan zaman, begitu juga aliran musknya, dianggap selera kuno. Pengasumsian ketinggalan zaman ini telah mengakar dalam nalar masyarakat desa, yang bangga jika dianggap mengkuti trend masa kini atau orang kota.

Padahal, idealime manusia modern adalah mampu menjaga tradisi masyarakat lama dan mengembangkannya sebagai budaya identitas bangsa, serta mampu mengambil gejala-gejala kebudayaan baru yang mencoba hadir dalam klutur masyarakat Indonesia, kemudian dienkulturasikan agar bisa berfungsi menjadi identitas bangsa dan kebanggan masyarakat Indonesia pada umumnya, serta mempunyai nilai pendidikan tinggi kepada generasi bangsa (artikel budaya dan manusia).

Jika kita mengacu pada konsep budaya dalam pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana, maka mengikuti trend yang berkembang tanpa mengetahui maksud dan tujuannya serta tidak mempunyai kesiapan mental yang kuat dan dibarengi kemampanan teknologi, maka pembebekan semacam itu adalah racun dalam pembangunan budaya bangsa dan merusak nilai-nilai etik yang dikandung oleh budaya daerah. Oleh karena itu, beliu memberikan unsur-unsur pembentuk budaya modernis : pertama, kemajuan teknologi, kedua, kemajuan ekonomi, ketiga, ketrampilan organisasi, keempat, ilmu pengetahuan. Unsur ini diperlukan agar masyarakat Indonesia yang kultur pada umumnya adalah masyarakat agraris dengan kepercayaan mitos tinggi menjadi rasional dalam mengambil dinamisme barat sebagai sumber kemajuan.

Hal ini juga diungkapkan juga oleh Poerbatjaraka dan Ki Hajar Dewantara, bahwa pembangunan budaya nasional bangsa Indonesia harus menggunakan budaya asli suku-suku Indonesia dan menjadikannya bermutu kualitasnya, yakni meski kulitnya berasal dari luar, tapi esensinya tetap menjaga nilai-nilai budaya asli Indonesia. Hal dirujuk untuk dijadikan konsep-rumusan Undang-Undang Dasar 1945.

Pengkonsepan dalam Undang-Undang Dasar 1945 menjadi penting nilainya, agar setiap warga Indonesia secara individu mampu menyikapi budaya populer yang habis ditelan masa. Mereka tidak lagi tergiur oleh tawaran media massa tentang keunikan dan kecantikan mode dari indrustri. Lihat sejarah masa lalu, saat masyarakat Indonesia berbondong-bondong menyukai lagu pop dibandingkan lagu daerah, menyukai lagu rock dibandingkan lagu nasional. Sehingga standar masa 70-80 tahun adalah menyukai musik beraliran rokc, dan di tahun 1980-1990 berganti budaya musik pop. Sehingga banyak penyanyi keluar dengan album solonya dengan music pop, seperti Nike Ardila, Poppy Mercury, dll.  Begitu juga dengan dunia perfilman, pada dekade 1980 masyarakat Indonesia yang awalnya menyukai produk film negeri beralih menyukai produk film dari barat. Dan di era ini pula, secara masif, para budayawan dan intelektual Indonesia mencoba mengusung kembali perfilm-an Indonesia dengan membatasi perfilm-an barat untuk masuk ke dalam bioskop Indonesia. Dari kasus semacam ini, perlu kita merefleksikan kembali budaya populer dengan menghadirkan nilai etika budaya daerah sebagai onto-kritik mendidik mental masyarakat Indonesia menjadi orang-orang yang tetap agraris, sopan, berpendirian, berwajah kalem, berwatak demokrasi dan berparadigma pancasila-bhineka tunggal ika.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun