Mohon tunggu...
Nashifuddinl luthfi
Nashifuddinl luthfi Mohon Tunggu... -

hanya seorang petualang. bertujuan mencari jati diri yang sejati. hidup sebagai pilihan, manis maupun pahit tetap dijalani.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sistem Komunikasi: Sebagai Metode Membongkar Realitas Sosial

14 Mei 2013   12:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:36 757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memaknai Keberadaan Realitas Sosial

Realita sosial bagi adalah  bentukan dari  masyarakat, manusia dan aktifitasnya. Kemudian berubah wujud menjadi identitas penengah antara ruang ide dan material. Identitas yang ia bawa, menggelembung fungsinya lebih dari sekedar penengah ruang ide dan materi, tapi juga penanda penting sebuah perubahan zaman dan keadaan. Di sinilah realitas sosial  menjadi penting sebagai penanda dalam menyelesaikan kasus sosial terjadi dalam lingkaran masyarakat yang plural.

Untuk itulah perlu adanya mendefinisikan nama entitas realitas sosial sebagai objek diskursif. Sehingga tempatnya bisa dijadikan tolak ukur kebenaran seperti apa yang ingin dicapai.  Dan membuka perpekstif baru tentang nilai-nilai sosial yang berkembang sesuai zamannya. Dengan tujuan lain, agar tidak heran dengan perkembangan struktur masyarakat modern, pasca modern, post modern, atau pun masyarakat kuno tempo dulu.

Karena bagi Perry Anderson (ahli Filsafat politik) untuk membangun dan memahami negara modern harus memahami dahulu struktur sosial dan feadolisme dulu. Kerangka modern tidak semerta diwujudkan dalam satu tempo, tapi harus melalu proses dialektika-peradaban. Standar pembetukan negara modern itu harus melalu empat tahap. Pertama, difernsiasi. Kedua, otonomisasi. Ketiga, universalisasi, keempat, intitusionalisasi.

Dari problem semacam itulah, menjadikan realitas sosial rumit, karena ia adalah dialektika akut antara pola, kebudayaan dan komunikasi. Akan tetapi, perlu diketahui adalah kasus sosial selalu berjalan setara dengan diskursus ilmiah ide dan materi. Seakan memberi tahu bahwa realitas sosial selalu ada ruang dialektika untuk saling mengimbangi atau mengisi kekosongan dalam wacana ilmiah kontemporer, baik ilmu bukti ataupun ilmu agama. Di sinilah, realitas sosial dikatakan sebagai ruang yang menyimpan simbol untuk diartikan secara faktual maupun  idelogis. Meski pada akhirnya hanya untuk dibuktikan tentang kebenaran melalu penafsiran simbol budaya, ataupun bahasa, sebagai status resmi kajian keilimiahan di antara menjamurnya perang rasionalis dan fisolosofis.

Contoh kecil adalah menjamurnya kajian hermeneutik (penafsiran wahyu Tuhan) selalu melibatkan asal-usul bahasa untuk mendasari logikanya agar sampai pada titik kesimpulan bahwa kebenaran tafsir dalam teks selalu dilingkupi keadaan sosial dan budaya pada zamanya. Sehingga bahasa tulis teks tidak menjadi stagnan untuk diambil intisari pemaknaannya.

Dari sini, ditarik, bahwa memahami sosial dan realitasnya, memerlukan alat-penghubung agar tidak terjadi mis-komunikasi fatal yang menghancurkan kebenaran informasi dari simbol sosial. Jika mis-komunikasi telah terjadi, informasi dan maksud sosial berbenturan secara keras sehingga merubah sifat alami sosial yang santun menjadi keras dan berbahaya. Sebagaimana informasi palsu yang disampaikan kepada nabi Muhammad tentang isu siti Aisyah berzina, membuat ketegangan setiap muslim yang mendengarnya. Hal ini membuat fenomena sosial sangat riskan untuk dibicarakan secara bebas tanpa melalui filterisasi positif.

Belajar dari fenomena semacam itu, pastinya belajar juga memahami pola komunikasi sosial agar realitas sosial bisa dipahami secara utuh. Meski penulis sendiri belum yakin, bahwa misi itu terlaksna dengan baik, tanpa melibatkan filsafat eksistensialis. Karena bagi penulis, realitas sosial harus mampu membedah identitas manusianya sendiri, baru mendedah ruang-ruang yang melingkupi. Maka dari situ, pemaknaan sifat realitas menjadi tepat dan keharusan bagi pengkaji realitas sosial.

Pada sisi lain, bagungan-bangunan kelimuan sosial masih sering terpotong dengan minimnya dialektikan yang diadakan, atau ruang komunikasi-proaktif antar setiap golongan dalam mewakili dirinya sebagai manusia bermasyarakat. Akhirnya, wacana realitas sosial sering berhenti sebagai wacana ilmiah yang berevolusi sesuai masa dan keadaan. Dalam bahasa Darwin, adanya semacam seleksi alam yang memotong kehadirannya karena tidak mampu untuk menunjukkan jati dirinya sebagai wakil kemajuan realitas zaman modernitas.

Hal inilah, yang membuat rasa takutuntuk membuktikan sistem itu secara metodologis dan aplikatif. Karena kegagalan membutkikan realitas sosial menjadikan justikatif liar menghukumi kedudukan pengkaji sosial menjadi naïf. Seperti terjadi dalam permasalah teori evolusi, antropologi, dan sosiologi, seakan meragukan kekuasaan Tuhan sebagai dzat yang menciptakan segalanya.

Lepas rasa ketakutan itu, kekuasan manusia terhadap realitas sosial perlu dikontrol dengan nilai dan norma yang positif agar komunikasi personal dan masyarakat bisa efektif dan mampu membangun tanggung jawab sosial secara menyeluruh disetiap sendi sosial. Ini juga mampu menggerakan rasa simpati secara menyeluruh akan sifat kepemilikan budaya dan negara secara bersama-sama.

Berangkat dari kaca mata semacam itu, penulis berharap menemukan makna metodologis untuk mendedah ruang-ruang sosial yang masih dianggap buram atau tak jelas. Sehingga mampu difungsikan untuk menemukan sistem kognitif  realitas sosial dan ruang kesadaran untuk mengakui bahwa standarisasi nilai dan norma bisa merenovasi sesuai dengan kebutuhan dan kesepakatan masyarakat setempat. Dengan kata lain, bahwa realitas sosial dikatakan ada ketika manusia telah berhasil membahasakan maksud dan tujuannya dengan baik kepada manusia lainnya, sehingga terbangun komunikasi dua arah yang saling timbal balik untuk menjelaskan ide dan benda dalam pikirannya. Ketika hal itu tercapai, maka komunikasi yang terbangun akan selaras dengan cita-cita bersama, bukan dipengaruhi praktek politik dan kekuasaan tunggal. Jika masih dalam lingkup politik dan kekuasaan tunggal; yakni raja, maka komunikasi itu hanya satu arah untuk bisa menguasai, maka perlu evaluasi kembali dengan menganalogikan  tujuan awal sistem komunikasi dibangun dan dikembangkan di sekup masyarakat luas.

Tolak Ukur Kebenaran Realitas Sosial

Pada tahun 1990-2005, di pedesaan, teknologi belumlah begitu membeludak seperti era sekarang, begitu juga gaya komunikasi masyarakat desa antar tetangga, masih sering bertatap muka dan berkunjung untuk bersilaturahim. Teringat, saat penulis masih kecil, satu dusun menonton TV bersama-sama dalam acara sireal film atau film-film yang menarik minat masyarakat secara keseluruhan, tapi hal ini tidak bisa ditemukan lagi fenomena semacam itu dipedesaan, akan tetapi pola yang berubah adalah, setiap orang telah mampu menonton TV sesuai dengan keinginan sendiri. Meski itu terlihat mandiri, tapi dalam kepekaan rasa sebagai manusia menjadi kurang, dikarenakan setiap orang telah sibuk dengan media-media yang dimiliki.

Begitu juga, terjadi pada masyarakat masisir, berganti pola, dari aktifitas ekstrakulikuler menjadi aktifitas seragam dan higenis. Informasi yang berkembang lebih padat dalam dunia maya, disbanding dunia nyata, meski tetap ada usaha untuk mempertahankan informasi dunia nyata. Akan tetapi, problem ini bemertamorfosa menjadi kelompok masyarakat yang terbagi dalam aneka kecendrungan yang bertentangan dengan idealisme mahasiswa sebagai motor penggerak perubahan sistem masyarakat. Hal ini bisa kita lihat, berita-berita dari bulletin-buletin yang beredar, memberikan gambaran tentang idealism mahasiswa secara umum dan kultur yang mempengaruhi tatanan masyarakatnya. Di sisi lain, keberadaan bulletin-buletin di Mesir di antara mati dan hidup memperjuangkan idealism mahasiswa sebagai seorang kritis dan membangun. Inilah membuktikan pola komunikasi antar mahasiswanya seakan ada keterputusan budaya dan kultur, sehingga perpektif yang berkembang sekarang adalah berjuang untuk kepentingan organisasi, bukan kepentingan bersama memperjuangkan nilai-nilai sosial akademis.

Pembuktian ini sebagain dari proses menilai kebenaran realitas sosial sebagai hal perlu terjadi atau ia hanyalah keinginan sesaat yang tidak memberi fungsi apa-apa. Atau budaya modern yang dikuasai teknologi membentuk paradigma manusia untuk mengikuti segala keinginannya, meski mengorbankan kepentingan etika dan sosial.

Meski pembuktian nilai kebenaran proses ini, tampak subjektif, tapi pembetukan sistem komunikasi antar golongan ataupun liyan menjadi sia-sia atau tidak bisa dibuktikan dengan ilmiah. Hal ini karena fungsi penilaian ini adalah membentuk komunikasi dua arah yang berbeda dalam satu topik untuk mencapai kesadaran sosial secara utuh. Sehingga tujuan sosial bermasyarakat tercapai secara maksimal tanpa takut adanya pemberotakan dari arah lain.

Dan batas garis kebenaran inilah yang harus dipahami lebih mendalam, jika ingin menarik kesimpulan dari premis-premis realitas sosial yang kabur. Bagi saya, penentuan ini, salah satu sarat penilitian tentang fenomena sosial yang tidak bisa disatukan dalam satu frame kajian, tapi harus mengkosongkan ruang-ruang kemungkinan agar tidak terjebak pada justifikatif ambigu.

Dari gagasan di atas, menjadi premis awal, tentang perubahan konteks sosial dari zaman ke zaman dalam menjalani hukum alam. Perubahan structural masyarakat, menjadikan manusia harus jeli untuk menafsirkan dan memahami stigma-stigma sosial agar tidak terjebak dalam asusmsi-justifikatif yang bisa dinilai menghukumi tanpa ada alasan logis dan rasionalis. Pada jalur ini, stigma sosial bisa ditangkap sebagai bentuk semantik untuk memahami macam-macam budaya popular yang sedang berkembang sebagai mode zaman saat ini. Ini juga menjadi salah satu unsur penting dalam membangun komunikasi efektif secara personal maupun publik. Sehingga mampu meletakan kosa-kata yang tepat untuk mewakili maksud masing-masing person sebagai agen sosial.

Dari ketelitian membaca stigma sosial yang muncul sebagai semantic realitas, kesalahan dalam menangkap maksud bahasa verbal maupun non-verbal sedikit terkendali. Kemampuan semacam itulah, yang kemudian harus disosialisasikan, agar masyarakat tidak terjebak dalam kubangan progam dan keinginan pasar yang berlebihan. Sehingga mampu menfungsikan dirinya sebagai agen sosial yang bermanfaat dalam membangun komunikasi efektif.

Pada tahap selanjutnya, tercipta pola sistem komunikatif efektif antara setiap person dari berbeda budaya ataupun negara. Hanya saja, itu sangat mustahil, karena gerakan sosial tidak bisa langsung diterima dalam suatu komunitas jika hanya dilakukan sosialisasi sepintas tentang memahami arti komunikasi efektif.

Maka dengan sebab perubahan konteks dari zaman ke zaman  tidak bisa dijadikan ketetapan tolak ukur, memahami realitas sosial menjadi penting agar titik perubahan bisa ditangkap untuk dialegorikan sebagai sebuah proses natural alam sebagai prosesnya kupu-kupu dilalui dengan ulat dan kepompong. Mungkin masyarakat ideal dalam perpektif sosial tidak bisa terwujud secara maksimal, kecuali hanya sebagian maksud sosial yang dibahasakan melalui seni dan budaya setempat.

Hal ini, dikuatkan dalam pembetukan hukum, tidak boleh semerta langsung bertolak dari teks, tapi juga melihat perubahan konteks. Inilah bagi saya, realitas sosial masih tersimpan dalam topeng-topeng kepentingan, agar perubahan sosial bisa disalahkan dan dimanfaatkan keuntungannya sebagai nilai propeti yang alami. Dan kemudian, menjadi alat perlombaan untuk saling mengusai pasar dan komoditasnya.

Jika demikian, apakah manusia adalah barang properti yang mudah untuk dijual atau dibenarkan untuk menolak aktifitas pemburuhan? Atau membuat sistem tandingan untuk bisa bertahan sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan? Atau kah tetap seperti boneka untuk kalangan politisi atau kolongmerat? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang perlu dijawab untuk setiap individu untuk menemukan arti sebenarnya berkomunikasi dengan pemerintah, budaya, kelimuan dan lainnya. agar untuk membuktikan bahwa realitas manusia sejujurnya adalah membangun dunia secara bersama menjadi bisa dikerucutkan dalam satu manhaj; kebenaran masyarakat adalah kebenaran mutlak, tanpa menjajah dan merusak tatanan sosial yang telah membudaya dalam struktur masyarakat.

Epilog

Netralisasi kebenaran semu di dalam realitas sosial mengakibatkan manusia harus melatih sikapnya agar tidak mudah memberikan penilaian sepihak dan mampu mendengarkan secara seksama kalimat-kalimat pembicara untuk bisa dipahami dengan baik maksud-maksudnya. Ini membuktikan bahwa susunan pola komunikasi manusia terbagi dalam kegiatan mendengar, memahami dan mengelola informasi. Hubungan timbal balik kalimat bisa lebih baik, jika tiga komponen dipadukan secara baik pula. Sifat ego manusia harus mampu dikontrol agar tidak menjadi super ego yang menyebabkan rusaknya hubungan yang harmonis, begitu juga Id, tidak berlebihan ditonjolkan agar tidak disalah pahami oleh manusia lainnya.

Keadaan semacam ini, harus disikapi secara dewasa dalam menghadapi benturan-benturan perubahan masa dan idealism pemikiran serta budaya. Bukan saling mencari kabing hitam kemunduran sebuah masyarakat, karena kemunduruan masyarakat diawali realitas sosialnya tidak dikomunikasikan dengan baik, sehingga menuntut manusianya untuk bersikap secara tegas dan tidak mendiamkan kebenaran hakiki; yakni filter dengan akal dan norma.

Agar maksud realitas semua itu terungkap, komunikasi verbal maupun non-verbal harus ditransparankan secara baik oleh pihak-pihak bertanggung jawab, sehingga mampu menjembatani perbedaan ide dan data yang diusung oleh masing-masing kelompok. Dan budaya mereka juga mampu disatukan melalu sinergisitas komunikasi publik, melalui alat-alat media atau pun melalui kunjungan secara formal maupun normal. Dari sini, sikap manusia secara mandiri adalah mampu meninggalkan gengsi dan mengakui kekuaranga  secara sadar, serta mampu  menjejakkan langkahnya ke dalam situasi jujur-realistis, bukan mengharap nilai akhir sebagai hasil final, tapi memahami bentuk proses dialektika antara jiwa, pikiran, lingkungan, budaya, masyarakat dan informasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun