Mohon tunggu...
Untung Wijaya
Untung Wijaya Mohon Tunggu... -

Suka membaca

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi Lebih Merakyat Dibandingkan Foke?

12 Juni 2012   02:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:05 1690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="465" caption="Jokowi dan Foke (http://metrotvnews.com)"][/caption] Ketika melihat debat Calon Gubernur DKI di MetroTV hari Jumat malam, tanggal 8 Juni 2012, antara Jokowi dan Foke, kesan saya bahwa Foke adalah sosok pemimpin monoton, kaku, dan hanya menjalani rutinitas. Karena itu, di usianya yang sudah memasuki 63 tahun, tidak banyak yang bisa diharapkan dari kepemimpinannya.

Kalaupun dalam debat malam itu, Foke tampak fasih dan lancar membahas Jakarta, itu karena ia lahir dan besar di Jakarta, berkarir di Pemprop DKI Jakarta selama puluhan tahun. Pernah menjadi Sekretaris Daerah, Wakil Gubernur dan Gubernur periode 2007-2012. Artinya, jika ia dalam posisi seperti Jokowi, belum tentu ia akan tampak “menguasai” hitam-putihnya Jakarta.

Sementara itu, Jokowi adalah sosok pemimpin sederhana, tawadhu’, tidak suka muluk-muluk tapi lebih suka “action”. Jokowi bukan orator dan tidak suka banyak bicara. Yang penting bekerja dan bekerja, sehingga kepemimpinannya dapat membawa maslahat atau kemanfaatan bagi rakyat yang dipimpinnya. Ia bukan tipe pemimpin yang “OMDO” (Omong Doang) atau NATO (No Action Talking Only). Prinsip Jokowi sesuai Kaidah Fiqih:

تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة

Artinya, “Kebijakan pemimpin kepada rakyatnya (harus) didasarkan pada kemaslahatan”

Jakarta sebagai ibukota Negara yang penuh dengan persoalan, tidak bisa mengandalkan pemimpin yang monoton dan kaku, yaitu pemimpin yang hanya mengandalkan laporan dari ketua RT, melalui ketua RW, melalui Lurah, melalui Camat, melalui Walikota, melalui Sekda dan baru sampai laporan itu ke Gubernur. Jakarta menghajadkan pemimpin yang berani keluar dari pakem, yang kreatif, inovatif, visioner tapi tetap bersahaja.

Jokowi yang baru berusia 50 tahun, memberikan harapan untuk Jakarta menjadi lebih baik. Ia tidak sedang berangan-angan untuk menerapkan kepemimpinan yang baik, tapi ia telah melaksanakannya selama memimpin Kota Surakarta sejak tahun 2005.

Jokowi tampil sebagai pemimpin yang keberadaannya bisa dirasakan oleh seluruh rakyat. Ketika rakyat ada masalah, rakyat bisa langsung ketemu pemimpinnya di mana saja dan kapan saja. Tidak mengherankan jika Jokowi sering kelihatan keluar masuk lorong, gang-gang kecil, di tengah-tengah pasar dan berada bersama rakyat miskin. Ia biasa makan di warung-warung sederhana di pinggir jalan atau wedangan di angkringan yang berada di gang-gang sempit di kota Solo.

Jokowi tidak membuat sekat / hijab antara dirinya dan rakyat yang dipimpinnya. Ia tidak mau ada voorrijder yang mengiringi mobil dinasnya saat bertugas. Ia tidak mau ada pengawalan dari aparat kepolisian. Karena hal itu bisa membuat jarak antara pemimpin dan rakyat.

Ketika naik pesawat, Jokowi memilih duduk di kelas ekonomi dan duduk berdampingan dengan ajudannya. Jokowi pun biasa tidur di hotel satu kamar dengan ajudannya. Alasannya, untuk melakukan efisiensi anggaran dan efektifitas koordinasi.

Jokowi enggan mengganti mobil dinas Toyota Camry keluaran tahun 2002, peninggalan walikota sebelumnya. Prinsipnya, selagi masih bisa dipakai, tidak perlu diganti. Karena hal itu bisa membebani anggaran daerah.

Selama 6 tahun lebih menjadi walikota Solo, Jokowi tidak pernah mengambil gajinya. Untuk apa gaji itu, Jokowi tidak pernah mau bicara. Namun, ia selalu menyediakan banyak bungkusan beras 3 kg di mobilnya. Jika di  jalan ia menemui tukang becak, orang lanjut usia yang sedang melintas atau tukang parkir, dengan segera ia menyerahkan beras tersebut.

Setiapkali menyelesaikan persoalan yang menyangkut rakyatnya, Jokowi memedomani falsafah nguwongke uwong (memanusiakan manusia atau menghargai martabat manusia). Salah satu contohnya adalah relokasi 989 orang Pedagang Kaki Lima (PKL) di Banjarsari. Tidak ada kekerasan sama sekali. Bahkan kepindahan PKL ke tempat baru itu diiringi kirab budaya dengan beraneka ragam kelompok kesenian dan prajurit Keraton. Kesuksesan relokasi PKL Banjarsari diikuti relokasi di 23 tempat lainnya. Prestasi itu telah membawa Jokowi ke Markas Besar PBB di New York untuk berbicara di depan ratusan tamu undangan dalam acara Governing Council Forum 2008.

Karena Jokowi dekat dengan rakyat, karena Jokowi selalu menyapa rakyat setiap waktu (tidak hanya saat menjelang pemilihan saja), maka pada Pilwakot periode kedua tahun 2010, ia terpilih lagi dengan kemenangan mutlak 90 %, padahal biaya kampanye yang dikeluarkan hanya + Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).

Itulah Jokowi. Sosok pemimpin yang unik dan fenomenal. Yang beda dari kebanyakan pemimpin di Negeri ini. Gambar Jokowi tak pernah dipajang di baliho di pinggir-pinggir jalan. Ia menolak keras karena menurutnya hal itu mengotori keindahan kota. Padahal banyak event-event nasional dan internasional digelar di Solo, yang bisa dimanfaatkan Jokowi untuk memasang gambarnya di baliho-baliho, tapi cara begitu bukan selera Jokowi.

Pertanyaannya kemudian, apakah kesederhanaan Jokowi itu juga dijumpai pada Foke? Pernahkan Foke tidak mengambil gaji Gubernur, memakai mobil dinas bekas, naik pesawat ekonomi dan makan di pinggir jalan?

Saya tidak percaya Foke mampu tampil sebagai pemimpin yang sederhana dan bersahaja seperti Jokowi. Di mata saya, Foke adalah pemimpin yang Jaim, yang suka berlama-lama mendekam di kantor dan tak mau berpanas-panasan di luar kantor (di samping faktor “U”) serta mengandalkan perintah. Semua serba perintah.

Saya juga tidak percaya Foke dekat dan mencintai rakyatnya. Di mata saya, rakyat hanya dijadikan Foke sebagai alat untuk  mengejar ambisi kekuasaannya. Menjelang Pilgub saja, ia mau mendatangi rakyatnya, keluar masuk perkampungan, karena ada pamrih. Tapi setelah terpilih, ia lupakan rakyat yang dulu ia baik-baiki.

Bagaimana saya percaya Foke tetap setia dengan rakyat, sementara dengan wakilnya saja ia berani tak setia. Dulu, keduanya sebagai pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur tampak serasi dan kompak menjalani proses Pilgub 2007, tapi setelah terpilih, Foke menghempaskan begitu saja Wakil Gubernur Prijanto. Habis manis sepah dibuang. Setelah tujuannya untuk berkuasa terpenuhi, Foke melupakan teman seperjuangannya. Nah, kalau kepada pasangannya saja, Foke berani berkhianat, apalagi kepada rakyat yang tidak ia kenal sama sekali. Waallahu a'lamu bish-showab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun