Mohon tunggu...
Untung Wahyudi
Untung Wahyudi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas di Beberapa Media Cetak dan Online

Penulis lepas di sejumlah media cetak dan online

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Perjuangan Mahasiswa Indonesia di Belanda

18 Desember 2014   13:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:04 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul               : Negeri van Oranje

Penulis             : Wahyuningrat, Adept Widiarsa, Annisa Rijadi, Rizki Pandu Permana

Penerbit           : Bentang Pustaka, Yogyakarta

Cetakan           : Kedua, Agustus 2014

Tebal               : viii + 576 Halaman

ISBN               : 978-602-291-036-7

Kisah tentang perjuangan mahasiswa yang menempuh studi di luar negeri selalu menarik untuk disimak. Ada banyak buku yang mengisahkan perjuangan mahasiswa Indonesia yang belajar di negeri seberang. Salah satu contoh yang sangat terkenal adalah novel Edensor, buku ketiga dari tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Edensor menceritakan perjuangan sosok Ikal dan Arai ketika menempuh studi di Perancis.

Negeri van Oranje adalah novel interaktif yang ditulis secara keroyokan oleh Wahyuningrat, Adept Widiarsa, Annisa Rijadi, dan Rizki Pandu Permana. Keempat penulis yang pernah belajar di negeri Kincir Angin itu mengisahkan pengalamannya selama ada di Belanda. Pengalaman mereka layak dibaca, terutama bagi pembaca yang ingin tahu tentang Belanda dan budayanya. Juga, buat para mahasiswa yang akan atau sedang menempuh studi di sana.

Novel ini mengisahkan persahabatan lima mahasiswa Indonesia yang belajar di negara yang pernah menjajah Indonesia. Meskipun tinggal di kota yang berbeda, Banjar (Rotterdam), Daus (Utrecht), Wicak (Wageningen), Lintang dan Geri (Den Haag), mereka selalu berusaha untuk tetap akrab. Di tengah padatnya waktu belajar pekerjaan sampingan, mereka sering kali berkumpul untuk sekadar berbagi cerita tentang pengalaman mereka yang belajar di kampus berbeda (halaman 6).

Sebagai novel yang bisa dimasukkan dalam kategori novel petualangan, buku ini sangat menarik. Alur dan konfliknya tidak begitu rumit karena “hanya” berkisah tentang pengalaman, petualangan, dan perjuangan mereka selama ada di Belanda. Yang patut menjadi teladan bagi pembaca yang ingin menempuh studi di sana adalah, bagaimana mereka tetap bersemangat meskipun hidup dengan biaya pas-pasan. Karena itu, untuk mengimbangi biaya hidup yang tentu lebih mahal dari Indonesia, mereka, kecuali Geri yang memang anak orang kaya, berusaha mencari pekerjaan sambilan. Ada yang mengajar les tari seperti Lintang, bahkan Banjar dan Wicak pernah menjadi pembersih WC, pelayan restoran, hingga pelayan warung kaki lima saat ada pasar malam (halaman 159).

Selain mengisahkan pengalaman pribadi mereka, dalam novel ini pembaca juga bisa menemukan kisah-kisah menarik lainnya. Seperti bagaimana mereka, meskipun tinggal di luar negeri, tetap berusaha mengenalkan budaya Indonesia, bahkan mereka tidak menghilangkan tradisi berkomunikasi dengan bahasa ibu. Sebuah komitmen yang patut diacungi jempol karena, tak jarang mahasiswa Indonesia di luar negeri yang merasa malu dan enggan mengenalkan Indonesia dan budayanya. Hal itu wajar terjadi karena, rata-rata orang-orang Eropa tidak begitu mengenal Indonesia, kecuali pulau dewata Bali yang memang lebih banyak dikunjungi daripada tempat-tempat lain di Tanah Air.

Yang menarik, dalam novel ini para penulis banyak menyajikan hal-hal informatif layaknya buku panduan perjalanan. Kita akan mengenal banyak budaya orang Eropa yang tidak sama dengan budaya orang Indonesia. Misal, di sana kita tidak akan menemukan orang yang dengan mudah berbasa-basi untuk mentraktir orang lain, beda dengan tradisi orang Indonesia. Bahkan, ketika orang Eropa mengajak ke pesta sebuah ulang tahun, orang yang diajak harus mengeluarkan uang sendiri untuk membayar biaya makan di kafe. Sebuah perbedaan yang sangat kontras dengan budaya di Indonesia. Lazimnya, orang yang sedang berulang tahun akan mentraktir teman-temannya dengan puas (halaman 101).

Dalam beberapa bab novel ini, penulis melengkapi dengan berbagai informasi yang sangat bermanfaat. Misal, tentang informasi cuaca, pelaksanaan karnaval atau festival, tempat belanja kebutuhan sehari-hari yang murah, dan berbagai informasi lainnya, sehingga menjadikan novel ini tak ubahnya buku panduan traveling.

Novel setebal 576 halaman ini sangat bermanfaat bagi pembaca yang ingin belajar di Belanda, atau sekadar bernostalgia bagi mereka yang pernah belajar di sana. Ada banyak pesan menarik yang berusaha disampaikan empat penulis dalam novel ini. Sebagai mahasiswa rantau di Eropa, siapa pun hendaklah membuang gengsi yang kerap kali hinggap jika seseorang belajar di Indonesia. Menempuh perjalanan berkilo-kilo dengan sepeda onthel adalah hal yang biasa di Belanda, atau bekerja sambilan sebagai cleaning service, pelayan restoran, dan yang lainnya adalah hal lazim dilakukan jika tetap ingin bertahan hidup di negeri rantau. (*)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun