Dalam sebuah diskusi dengan teman saya yang berprofesi sebagai psikholog dan kebetulan seorang duda beranak satu, muncul sebuah topik yang cukup menarik yaitu "Kenapa akhir -- akhir ini sering terjadi perselingkuhan dan perceraian, baik dikalangan artis maupun orang biasa?"
Menurut beliau sebuah hubungan apapun itu, baik itu hubungan kerja, hubungan pertemanan, hubungan pacaran atau hubungan pernikahan, semuanya itu pada hakekatnya bersifat "transaksional".
Rasanya omong kosong apabila ada orang yang mengatakan "Saya sangat tulus, tidak mengharapkan apa-apa dari hubungan ini".
Ada juga pasangan kekasih atau suami istri yang menyatakan "Rasanya kami sudah tidak cocok lagi, hubungan kami sudah tidak ada chemistry..."
Atau mengatakan "saya tidak mungkin bersahabat dengan orang yang egois, mau menang sendiri dan suka manfaatin teman".
Atau menyatakan " Dia cowok matre, dia hanya mau porotin saya saja, lebih baik putus saja".
Jadi pada hakekatnya dalam sebuah hubungan cinta atau pernikahan, Â kata-kata "saya terima di apa adanya" dan "saya tulus mencintainya apa adanya" itu sebenarnya hanyalah mitos belaka.
Karena pada hakekatnya setiap hubungan kamu dengan orang lain cenderung bersifat "Transaksional", bahkan dalam hubungan politik sering dikenal rumus "Sikap menunjukkan fungsi kepentingan".
Kamu menikahi istrimu karena dia mampu memenuhi kebutuhanmu. Entah kebutuhan egomu untuk memiliki istri cantik, pinter masak, sukses dan bisa dibanggakan... atau cantik, nurutan, patuh disimpan di rumah dan seterusnya, dan sebagainya. Mungkin juga memenuhi kebutuhan psikologisnya, kebutuhan libidonya dan lain lain. Demikian juga istrimu memilihmu menjadi suami karena dapat memenuhi kebutuhannya baik dari sisi penampilanmu, status sosialmu maupun dari sisi kemapanan finansial.
Kamu melamar istrimu, dan istrimu bersedia dinikahi karena dia memenuhi nsyaratmu dan kamu memenuhi syaratnya. Kalau dalam hukum ekonomi, antara kebutuhan dan persediaan cocok dan klop maka terjadilah transaksi dan "semuanya dibayar tunai".
Lalu kenapa sering terjadi kasus perselingkuhan dalam hubungan rumah tangga dewasa ini? Teman saya yang psikholog dan duda tersebut berusaha menganalisa kasus tersebut dengan pendekatan supply and demand hubungan yang transaksional tersebut.
Pertama, kalau istrimu atau suamimu selingkuh, coba ingat dan renungkan kembali, dulu pasanganmu jatuh cinta padamu karena unsur apa saja yang dikaguminya? Harus kamu sadari, itulah nilai kekuatan tawarmu. Â
Kedua, setelah menikah apa saja yang berubah dari dirimu? Bentuk fisik yang dulu langsing dan imut, berubah seperti gajah bengkak? Dari seorang pacar cantik, lembut dan penyayang berubah menjadi istri yang judes, galak dan tukang ngeyel. Dari seorang pacar yang gentlemen, atletis, mapan dan penuh kasih sayang berubah menjadi suami yang gendut, perut buncit, suka mengeluh karena perusahaan tempat bekerja terkena dampak pandemi?.Semua itu tentu mengandung banyak konsekwensi bagi hubungan kalian sebagai suami istri;  Â
Ketiga, perlu ditinjau kembali, apakah setelah menikah kebutuhan kamu dan pasanganmu berubah? Jika semula, mungkin suamimu ingin bekerja sendiri dan sang istri fokus mengurus anak. Akan tetapi karena pandemi, bisa saja sang suami sudah mulai ngos ngosan mencari nafkah sendirian tetapi malu untuk meminta istrinya juga mulai bekerja. Cek perubahan -- perubahan kebutuhan yang ada dan perlu dipikirkan apa yang dapat kalian lakukan untuk menyesuaikan dengan perubahan kebutuhan yang terjadi?
Keempat, adalah menyangkut kepribadian. Ada orang yang punya kepribadian selalu komitmen menyelesaikan masalah disetiap tahapan hidupnya. Akan tetapi ada juga sebagaian orang yang punya kecenderungan suka lari dari masalah. Ada masalah sedikit lari dari masalah. Kesal sedikit curhat ke teman lawan jenis. Atau ada kecenderungan tidak suka membahas masalah sampai selesai dan bahkan memendamnya perasaannnya dalam hati dan bergaya seolah -- olah semuanya baik -- baik saja, akan tetapi pelan-pelan hubungan menjadi dingin, apatis dan suatu ketika akan meledak menjadi kasus perselingkuhan atau perceraian.
Menurut teman tadi, jangan terlalu ribut dengan pertanyaan kenapa orang suka menyeleweng. Fokus saja pada upaya memelihara dan memperkuat daya tawarmu. Pahami bahwa hubungan apapun cenderung transasksional. Kalau kedua pihak sama -- sama memenuhi kebutuhan pasangannya, perkawinan akan berjalan dengan baik -- baik saja. Kalau salah satu atau keduanya sudah wan prestasi, maka perkawinan itu sudah tidak baik -- baik saja. Rawan penyelewengan, perselingkuhan dan perceraian. Dan jika karena alasan agama, norma sosial atau apapun itu, perkawinan tetap dipertahankan, maka tetap saja tidak akan merasakan kebahagiaan. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H