Di era media sosial ini, orang dengan mudah menyampaikan opini dan kritik "tanpa sensor". Menyerang orang dengan dalih tertentu tanpa menyebut nama dianggap sah-sah saja.
Begitupun ketika mengkritik seseorang. Seringkali orang abai dengan etika. Meski tujuannya baik bila disampaikan dengan diksi dan narasi yang tidak pas bisa bikin hati panas.
Hal ini ternyata terkait dengan fungsi otak yang berfungsi semacam alarm tubuh yang bereaksi spontan ketika ada kata-kata yang dipersepsi sebagai "ancaman."
Di sinilah kematangan seseorang diuji. Mengelola dan merespon kritik dengan cara elegant.
Boleh jadi orang yang mengkritikmu adalah orang yang sangat peduli padamu.
Tinggal bagaimana cara meresponnya.
Sering kita dengar Para Pejabat, Guru, Orang Tua Yang Bijaksana, Alim Ulama, Tokoh Agama sering menyampaikan " Kritik tidak masalah, asal Kritik yang bersifat membangun"
Benarkah ini ?
Istilah kritik berasal dari bahasa Yunani Kritikos yang berarti "dapat didiskusikan". Kata kritikos diambil dari kata krenein yang berarti memisahkan, mengamati, menimbang dan membandingkan. Dalam konteks ini sesungguhnya kritik mengandung makna positif.
Namun orang sering menganggap kritik adalah bentuk serangan negatif terhadap eksistensi seseorang sehingga banyak orang yang alergi terhadap kritik, bahkan dianggap sebagai tindakan pembangkangan.
Mengapa demikian?