Membuat sintesis keseluruhan materi hingga modul 3.1
Â
Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabarakatuh.
Perkenalkan saya Untung Ardi Yulianto, calon guru penggerak angkatan 5 dari kabupaten Banjarnegara.
Saya merupakan guru sekolah dasar yang berkesempatan untuk mengabdi di salah satu SD yang ada di kecamatan Pagentan Kabupaten Banjarnegara. Lebih tepatnya di SD Negeri 1 Babadan, desa Babadan. Jika rekan guru hebat se Indonesia mengenal tentang kopi arabika Java Bisma Babadan, betul sekali tempat saya mengabdi terkenal akan Kopi arabikanya.
Tak lupa saya ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada pengajar praktik saya bapak Purnomo yang telah membersamai kegiatan ini sampai pada modul 3.1.
Tentu saja saya haturkan rasa terima kasih yang setinggi-tingginya kepada fasilitator hebat bapak Subagiyo,S.Pd atas bimbingan dan arahan serta bantuan yang tidak dapat saya hitung jumlahnya selama kegiatan program pendidikan guru penggerak sampai pada titik ini di modul 3.1.
Dalam tulisan ini, saya ingin memaparkan sintesis keseluruhan materi dari awal modul 1.1 hingga pada modul 3.1. Â Perkenankan saya menuliskan hasil pemikiran saya selama ini dengan panduan 10 pertanyaan mengenai koneksi antar materi modul 3.1 pengambilan keputusan berbasis nilai kebajikan sebagai pemimpin yang akan saya jabarkan melalui tulisan berikut ini.
Bagaimana filosofi Ki Hajar Dewantara dengan Pratap Triloka memiliki kaitan dengan penerapan pengambilan keputusan sebagai seorang pemimpin?
Filosofi pratap triloka yang lebih kita kenal dengan semboyan pendidikan indonesia, tidak ada guru yang tidak paham semboyan ini. Namun izinkan saya menuliskan kembali sebagai pengingat saja "Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.Â
Filosofi pratap triloka sangat memberikan pengaruh besar untuk pengambilan setiap keputusan yang muaranya adalah keberpihakan kepada murid. Mengutip dari KHD bahwa seorang pendidik adalah seorang model nyata bagi siswa dalam memberikan tauladan dan contoh praktik baik yang dijadikan pedomannya dalam sikap dan berperilaku.Â
Kaitannya dengan pengambilan keputusan dengan prapta triloka adalah karsa, karsa adalah usaha keras guru dalam menuntun dan mengarahkan murid untuk mengambil keputusan atau secara mandiri dapat menyelesaikan masalahnya berdasarkan potensi yang murid miliki.Â
Guru hanyalah sebagai among/pamong yang mengarahkan murid untuk mencapai kebahagiaan setinggi-tingginya sebagai individu ataupun anggota masyarakat.
Bagaimana nilai-nilai yang tertanam dalam diri kita, berpengaruh kepada prinsip-prinsip yang kita ambil dalam pengambilan suatu keputusan?
Seorang guru hendaknya memiliki nilai-nilai yang tertanam kuat dalam dirinya. Nilai-nilai positif ini akan mempengaruhi sikap dan perilakunya dalam usaha untuk memberikan pelayanan terbaik mewujudkan pembelajaran yang berpihak pada murid.Â
Nilai-nilai positif akan mendorong dan membimbing guru untuk mengambil keputusan keputusan yang tepat dan benar sesuai dengan kondisi yang dihadapinya. Nilai-nilai positif yang melekat dalam diri guru penggerak adalah mandiri, reflektif, kolaboratif, inovatif dan berpihak pada murid.
Nilai-nilai tersebut merupakan prinsip yang dipegang teguh ketika dihadapkan pada kondisi untuk mengambil keputusan yang menuntut kita untuk menentukan pilihan terbaik diantara dua pilihan yang ada dirasakan benar menurut logika dan aturan, situasi dengan kondisi dilema etika (benar lawan benar) ataupun kondisi bujukan moral (benar lawan salah yang menuntut kita harus berpikir secara seksama untuk mengambil keputusan yang sesuai.Â
Keputusan tepat merupakan buah dari nilai-nilai positif yang sudah tertanam kuat dan dipegang teguh untuk dijalankan sebagai bagian dari kehidupan guru penggerak.Â
Nilai-nilai positif ini akan mengarahkan kita untuk menentukan keputusan dengan resiko yang sekecil-kecilnya, keputusan yang bertanggungjawab dengan mendasari pada kepentingan dan kebutuhan murid-murid kita.
Nilai-nilai positif merupakan manifestasi dan implementasi nyata dari kompetensi sosial emosional yang dimiliki oleh seorang guru penggerak.Â
Dalam kompetensi sosial emosial terdapat kesadaran diri, pengelolaan diri, kesadaran sosial dan keterampilan sosio emosional dalam pengambilan keputusan secara berkesadaran penuh untuk meminimalisir resiko seminimal mungkin.
Bagaimana materi pengambilan keputusan berkaitan dengan kegiatan 'coaching' (bimbingan) yang diberikan pendamping atau fasilitator dalam perjalanan proses pembelajaran kita, terutama dalam pengujian pengambilan keputusan yang telah kita ambil?
Apakah pengambilan keputusan tersebut telah efektif, masihkah ada pertanyaan-pertanyaan dalam diri kita atas pengambilan keputusan tersebut? Hal-hal ini tentunya bisa dibantu oleh sesi 'coaching' yang telah dibahas pada sebelumnya.
Coaching adalah praktik yang sangat penting dalam menggali suatu masalah yang terjadi pada diri sendiri maupun terjadi pada orang lain disekitar kita. Â Melalui praktik coaching kita akan mampu mengenali masalah yang terjadi dan menggali ide/gagasan baru yang digunakan sebagai solusi pemecahan masalah tersebut.
 Langkah TIRTA adalah upaya nyata yang dapat digunakan dalam mengambil rencana sistematis penyelesaian masalah dengan mengkombinasikan 9 langkah pengambilan dan evaluasi keputusan agar dapat dipertanggungjawabkan dan ditemukan solusi yang paling sesuai.Â
Dalam proses memahami konsep coaching dengan bimbingan dan arahan dari pengajar praktik serta fasilitator yang hebat sangat membantu dalam pengambilan keputusan yang tepat. Saya berlatih untuk mengevaluasi keputusan tersebut dengan didasari pada 9 langkah pengujian keputusan.Â
Lalu akan disimpulkan apakah keputusan tersebut menjadi keputusan yang paling tepat, paling berpihak pada murid, sejalan dengan nilai-nilai kebajikan universal dan bagaimana nantinya keputusan ini akan dapat saya pertanggungjawabkan kedepannya.
Perkenankan saya untuk sedikit menyinggung alur TIRTA dalam konsep praktik coaching terlebih dahulu. TIRTA adalah model coahing yang dikembangkan dengan semangat merdeka belajar, kenapa seperti itu? karena dalam TIRTA semua dikembalikan kepada coachee bukan pada coach.
Karena coach hanya membantu dan mengarahkan coachee untuk menyelesaikan secara mandiri. Model TIRTA menuntut guru untuk mampu memilki keterampilan coaching. Hal ini sejalan dengan tujuan coaching bagi murid yaitu untuk melejitkan potensi dan kemampuan murid dalam menggali potensi dan memaksimalkan kompetensi dirinya agar menjadi murid yang merdeka.Â
TIRTA merupakan salah satu model yang dikenalkan melalui program guru penggerak dan model yang dikembangkan dari model GROW. GROW adalah akronim dari Goal, Reality, Options dan Will. Â Goal (tujuan) diwujudkan dalam coach perlu untuk mengetahui tujuan yang ingin dicapai dari praktik coaching yang akan dilakukan.Â
Reality (hal-hal yang nyata) terwujud dalam bagaimana coach menggali semua hal yang ada dalam diri coachee secara utuh dan menyeluruh. Options (pilihan) adalah coach mampu untuk membantu coachee dalam memilih dan memilah hasil dari pemikiran dirinya selama sesi coaching yang nantinya akan terwujud dalam rencana aksi.Â
Will (keinginan untuk maju) terwujud nyata dalam komitmen nyata yang akan dijalankan coachee dalam mewujudkan rencana aksi yang sudah dibuat sebelumnya. Lalu pada model TIRTA sebetulnya prinsipnya sama dengan GROW, TIRTA adalah akronim dari Tujuan, Identifikasi, Rencana aksi dan TAnggungjawab.
Bagaimana kemampuan guru dalam mengelola dan menyadari aspek sosial emosionalnya akan berpengaruh terhadap pengambilan suatu keputusan khususnya masalah dilema etika?
Dalam konteks pendidikan, guru adalah pendidik dan penuntun arah murid. Seorang pendidik harus mampu untuk melihat dan memahami kebutuhan belajar muridnya serta mampu untuk mengelola kompetensi sosial emosional yang dimiliki untuk mengambil keputusan sebagai seorang pemimpin pembelajaran.
Dalam proses pengambilan keputusan yang bertanggung jawab, diperlukan kompetensi sosial emosional seperti kesadaran diri (self awarness), pengelolaan diri (self management), kesadaran sosial (social awarness), dan keterampilan berhubungan sosial (relationship skills).Â
Sehingga ketika dalam mengambil keputusan diharapkan dapat dilakukan dalam kesadaran penuh (mindfull), terutama akan sadar dalam mengambil keputusan, sadar akan berbagai pilihan yang dihadapi, konsekuensi yang akan terjadi setelah keputusan dibuat dan mampu meminimalisir resiko-resiko dalam pengambilan keputusan.
Dalam proses pengambilan keputusan tentunya dibutuhkan keberanian dan percaya diri untuk menghadapi konsekuensi dan implikasi atas keputusan yang diambil karena perlu kita ketahui bersama bahwa tidak ada keputusan yang sifatnya sempurna mampu mengakomodir seluruh kepentingan para pihak yang terlibat atau para pemangku kepentingan.Â
Namun yang perlu digarisbawahi adalah dalam pengambilan keputusan harus bermuara pada kepentingan dan keberpihakan pada murid sebagai pondasi dasarnya.Â
Dalam hal ini sesi coaching sangat memegang peran penting karena dapat membantu guru dalam memaksimalkan potensi yang dimiliki dan mampu memecahkan permasalahan sebagai pemimpin pembelajaran.Â
Sehingga ketika dihadapkan pada kasus dilema etika, guru dapat mengidentifikasi permasalahan yang mendasarinya mampu menerapkan praktik coaching untuk mengambil keputusan yang tepat dan bermuara pada keberpihakan pada murid.
Bagaimana pembahasan studi kasus yang fokus pada masalah moral atau etika kembali kepada nilai-nilai yang dianut seorang pendidik?
Dalam hal pembahasan studi kasus yang dihadapkan pada masalah moral atau etika diperlukan kesadaran diri atau self awarenes dan keterampilan berhubungan sosial atau relationship skills untuk dapat mengambil keputusan yang sesuai.Â
Kita dapat menerapkan 9 langkah pengambilan dan pengujian keputusan terutama pada uji legalitas untuk menentukan apakah kasus yang dihadapi termasuk dalam bujukan moral atau dilema etika dan juga pada uji regulasi untuk menentukan apakah hasus tersebut melanggar kesepakatan atau peraturan yang berlaku.Â
Perlu kita pahami bersama jika sebuah kasus tidak lolos dalam 1 dari 9 langkah maka sudah jelas kasus tersebut adalah bujukan moral bukanlah dilema etika.Â
Jika kasus tersebut adalah bujukan moral maka secara tegas guru dapat mengambil keputusan dengan mendasari pada nilai-nilai kebajikan atau peraturan yang berlaku. Namun kasus yang berhubungan dengan dilema etika perlu adanya kolaborasi dengan kepala sekolah atau rekan guru lain sebagai opsi alternatif yang dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan dan sejalan dengan nilai-nilai kebajikan universal.
Bagaimana pengambilan keputusan yang tepat, tentunya berdampak pada terciptanya lingkungan yang positif, kondusif, aman dan nyaman?
Dalam mengambil keputusan yang tepat dan berdampak pada terciptanya lingkungan yang positif, kondusif, aman dan nyaman hal pertama yang perlu dilakukan adalah perlu mengidentifikasi/mengenal kasus yang kita hadapi termasuk dalam dilema etika atau bujukan moral.Â
Jika ditemukan bahwa kasus tersebut adalah dilem etika maka sebelum mengambil keputusan kita harus mampu menganalisa menggunakan 4 paradigma, 3 prinsip dan 9 langkah pengambilan keputusan sehingga keputusan yang diambil akan mampu menciptakan lingkungan yang positif, kondusif, aman dan nyaman.
 Intinya adalah dalam pengambilan keputusan yang tepat terkait kasus-kasus yang dihadapi entah bujukan moral atau dilema etika akan tercapau jika lolos dari 9 langkah pengambilan dan pengujian keputusan.
Terakhir adalah dapat dipastikan bahwa pengambilan keputusan yang dilakukan secara cermat dan akurat melalui analisis kasus yang sesuai dan lolos dalam 9 uji langkah maka dapat diyakini bahwa keputusan tersebut sudah tepat dan dinilai dapat mengakomodasi kepentingan dari pihak-pihak yang terlibat maka akan berdampak pada terciptanya lingkungan yang positif, kondusif, aman dan nyaman.
Apakah tantangan-tantangan di lingkungan Anda untuk dapat menjalankan pengambilan keputusan terhadap kasus-kasus dilema etika ini? Adakah kaitannya dengan perubahan paradigma di lingkungan Anda?
Tentu saja ada tantangan yang menghambat dalam menjalankan keputusan yang sudah diambil sebagai penyelesaian masalah terkait dilem etika. Hambatan ini berkaitan erat dengan perubahan paradigma dan budaya sekolah yang sudah megakar puluhan tahun lamanya.Â
Tantangan yang terjadi diantaranya adalah yang pertama berhubungan dengan sistem yang memaksa pengambilan keputusan yang dilakukan dengan tergesa-gesa sehingga kurang tepat / cenderung salah dan tidak menunjukkan keberpihakan pada murid.Â
Yang kedua berhubungan erat dengan kurangnya komitmen bersama dalam berpartisipasi untuk mengambil keputusan dalam penyelesaian masalah dan komitmen untuk menjalankan hasil dari keputusan bersama.Â
Yang ketiga adalah masih kentalnya budaya tidak enak atau menganggap jika dalam mengambil keputusan adalah hak mutlak kepala sekolah sebagai pemimpin. Sehingga ada kesan bahwa pengambilan keputusan dilakukan tanpa melibatkan guru atau tidak perlu koordinasi dengan rekan guru dan menyulitkan dalam pengambilan keputusan yang tepat terkait dengan kasus-kasus dilema etika.
Apakah pengaruh pengambilan keputusan yang kita ambil ini dengan pengajaran yang memerdekakan murid-murid kita? Bagaimana kita memutuskan pembelajaran yang tepat untuk potensi murid kita yang berbeda-beda?
Menurut saya idealnya sebuah keputusan haruslah bermuara pada keberpihakan pada murid. Ketika sebuah keputusan dibuat dengan mengedepankan kepentingan dan kebutuhan murid maka akan terwujud pengajaran yang memerdekakan murid.Â
Sebuah pembelajaran yang sesuai dengan bakat dan minat murid, mampu menggali potensi diri murid serta yang terpenting adalah mencapai kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai individu maupun anggota masyarakat.
Yang dapat dilakukan seorang guru untuk mewujudkan pembelajaran yang tepat untuk potensi murid yang berbeda-beda adalah dengan mengetahui karakteristik murid kita dan mengetahui kebutuhan belajar murid.
 Keputusan yang diambil tidak boleh merampas hak murid dalam belajarnya sehingga merdeka belajar bukan lagi hanya sebatas wacana konsep semata namun dapat terwujud nyata dalam pembelajaran sehingga terwujudnya pembelajaran yang mengakomodasi setiap potensi dan karakter murid yang berbeda-beda adalah praktik nyata merdeka belajar untuk mencapai profil pelajar pancasila.
Bagaimana seorang pemimpin pembelajaran dalam mengambil keputusan dapat mempengaruhi kehidupan atau masa depan murid-muridnya?
Mengutip kembali pemikiran Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan adalah tempat persemaian benih-benih kebudayaan, dimana diibaratkan sebuah ladang dan murid kita adalah benihnya dengan guru sebagai petaninya.Â
Seorang guru bertanggung jawab untuk mengembangkan potensi yang dimiliki murid sebagaimana petani yang menyemai benih agar agar mendapatkan hasil yang baik sehingga setiap keputusan yang diambil oleh guru akan berpengaruh terhadap masa depan murid.
Guru dalam mengambil keputusan sebagai pemimpin pembelajaran harusnya memikirkan kebutuhan murid dan keberpihakannya pada murid. Â Setiap keputusan yang diambil harusnya berdasarkan pada pemetaan kebutuhan belajar murid, Â sehingga dapat menggali potensi yang dimiliki dengan mampu mengembangkan kemampuan yang sesuai dengan bakat minatnya serta selaras dengan kodrat alam kodrat zamannya.
Seorang pemimpin pembelajaran yang mengambil keputusan dengan tepat dengan keberpihakannya pada murid akan menciptakan kondisi ideal yang memberikan dampak akhir mewujudkan pembelajaran yang well-being untuk masa depan yang lebih baik.
Apakah kesimpulan akhir  yang dapat Anda tarik dari pembelajaran modul materi ini dan keterkaitannya dengan modul-modul sebelumnya?
Pembelajaran yang didapatkan pada modul-modul sebelumnya merupakan landasan konsep dan landasan berpikir dalam pengambilan keputusan tepat  agar menunjukkan keberpihakan pada murid dan mewujudkan pembelajaran bermakna yang menciptakan well-being bagi masa depan murid-murid kita.
Keterkaitan dengan modul-modul sebelumnya antara lain:
Pengambilan keputusan adalah sebuah keterampilan yang harus dimiliki guru sebagai pemimpin pembelajaran dan dalam konteksnya harus berlandaskan pada filosofi pemikiran Ki Hajar Dewantara bahwa pendidikan adalah ada tempat persemaian benih-benih kebudayaan dengan tujuannya untuk mencapai keselamatan setinggi-tingginya sebagai individu maupun anggota masyarakat.
Dalam pengambilan keputusan haruslah berdasarkan pada budaya positif dengan menerapkan alur BAGJA sehingga akan mampu menciptakan lingkungan pendidikan yang kondusif, aman, nyaman dan menyenangkan yang akhirnya menciptakan well-being bagi murid.
Ketika akan mengambil keputusan sebagai seorang pemimpin pembelajaran, guru haruslah dalam keadaan kesadaran yang penuh (mindfullnes) agar mampu mewujudkan murid yang mencerminkan profil pelajar pancasila dalam dirinya.
Seorang guru dalam perjalanannya menghantarkan murid mencerminkan profil pelajar pancasila tentu saja dihadapkan pada kasus-kasus yang membuat kebingungan dalam menyelesaikan, kasus-kasus bujukan moral ataupun dilema etika.
Sehingga seorang pemimpin pembelajaran perlu menerapkan keterampilan pengambilan keputusan berdasarkan pada 4 paradigma, 3 prinsip, 9 langkah pengambilan dan pengujian keputusan yang didasari pada nilai-nilai kebajikan universal dalam upaya mewujudkan merdeka belajar dan mencerminkan keberpihakan pada murid.
Sejauh mana pemahaman Anda tentang konsep-konsep yang telah Anda pelajari di modul ini, yaitu: dilema etika dan bujukan moral, 4 paradigma pengambilan keputusan, 3 prinsip pengambilan keputusan, dan 9 langkah pengambilan dan pengujian keputusan. Adakah hal-hal yang menurut Anda di luar dugaan?
Setelah mempelajari modul 3.1 saya menjadi lebih mampu memahami dan menganalisis kasus yang termasuk dalam bujukan modal (kondisi benar lawan salah, berhubungan dengan aturan/hukum) dan dilema etika (kondisi benar lawan benar, terkadang menjadi dua sisi benar namun saling bertentangan.
Dalam pengambilan keputusan terdapat 4 paradigma yang dapat digunakan yaitu paradigma individu lawan masyarakat (individual vs community), paradigma rasa keadilan dan rasa kasihan (justice vs mercy), paradigma kebenaran lawan kesetiaan (truth vs loyalty), dan paradigma jangka pendek lawan jangka panjang (short tem vs long term). Paradigma ini digunakan dalam mempertajam analisis mengenai sebuah kasus berdasarkan nilai-nilai yang saling bertentangan.
Selain paradigma, saya juga memahami mengenai 3 prinsip pengambian keputusan yaitu prinsip berpikir berbasis hasil akhir (end-based thinking), berpikir berbasis peraturan (rules-based thinking), dan berpikir berbasis rasa peduli (care-based thinking). Prinsip ini digunakan sebagai arah pengambilan keputusan yang akan diambil menuju keputusan yang paling sesuai.
Yang terakhir adalah 9 langkah pengambilan dan pengujian keputusan yaitu mengenalai nilai-nilai yang saling bertentangan, menentukan siapa saja yang terlibat, kumpulkan fakta-fakta yang relevan, pengujian benar dan salah (uji legal, uji regulasi, uji intuisi, uji publikasi, uji panutan), pengujian paradigma benar lawan benar, melakukan prinsip resolusi, investigasi opsi trilema, membuat keputusan dan tinjau lagi keputusan dan refleksikan.
Hal yang diluar dugaan selama saya mempelajari modul 3.1 adalah sekat tipis yang kadang membingungkan antara bujukan moral dan dilema etika. Pada awal mempelajari modul ini saya merasa terjebak saat sedang menganalisis sebuah kasus terkait dilema etika yang saya identifikasi sebagai kasus bujukan moral.Â
Bahkan selama ini dalam mengambil keputusan saya cenderung hanya mendasarkan pada peraturan yang ada sehingga cenderung kaku dan merasa untuk melenceng atau mendasarinya tidak berdasarkan peraturan itu sangat sulit dilakukan.Â
Ketika dalam kegiatan raung kolaborasi untuk menganalisis sebuah kasus pemahaman saya mengenai dilema etika menjadi lebih tercerahkan, ada kalanya saat dihadapkan pada sebuah kasus dan diharapkan mampu mengambil keputusan yang tepat maka kita sebagai seorang pemimpin pembelajaran tidak ada salahnya untuk melenceng dari peraturan yang ada namun tetap berdasarkan pada nilai-nilai kebajikan universal. Sehingga 4 paradigma, 3 prinsip dan 9 langkah sangat diperlukan dalam pengambilan keputusan saya.
Sebelum mempelajari modul ini, pernahkah Anda menerapkan pengambilan keputusan sebagai pemimpin dalam situasi moral dilema? Bilamana pernah, apa bedanya dengan apa yang Anda pelajari di modul ini?
Sebelum mempelajari modul ini saya pernah dihadapkan pada masalah yang berhubungan dengan dilema etika. Keputusan yang saya ambil lebih banyak didasarkan pada nilai-nilai yang saya pegang sebagai prinsip hidup, berdaasarkan pada intuisi dengan mengibaratkan saya ada dalam posisi tersebut maupun dengan mengedepankan kepedulian terhadap orang lain.Â
Sehingga berdasarkan pengalaman saya maka care-based thinking merupakan prinsip yang dipakai scara umum dalam pengambilan keputusan selama ini.Â
Selain itu juga ketiika saya merasa binggung dalam mengambil keputusan dengan menganalisis tepat atau tidak untuk dapat menyelesaiakan masalah, saya bianya meminta second opinion baik dari rekan sejawat ataupun keluarga bahkan guru-guru senior yang merupakan panutan saya.
 Sehingga akan muncul alternatif pemecahan masalah yang terkadang tidak terpikirkan. Walaupun langkah-langkah pengambilan keputusan saya tidak sama dengan yang saya pelajari dari modul 3.1, namun saya rasa ada beberapa langkah yang serupa dan sama dalam penerapannya.
Bagaimana dampak mempelajari konsep  ini buat Anda, perubahan  apa yang terjadi pada cara Anda dalam mengambil keputusan sebelum dan sesudah mengikuti pembelajaran modul ini?
Dampak nyata yang sara rasakan adalah saya lebih mampu menganalisis kasus/masalah yang dihadapi termasuk dalam bujukan moral atau dilema etika. Sehingga akan lebih memudahkan arah saya dalam pengambilan keputusan yang tepat sebagai seorang pemimpin pembelajaran.
Dan juga saya lebih yakin akan keputusan yang dibuat, karena dengan mempelajari 9 langkah pengambilan dan pengujian keputusan membuat saya lebih bisa menimbang apakah keputusan yang diambil sudah tepat ataupun masih kurang tepat.Â
Saya merasa masih tetap harus belajar lebih banyak lagi mengenai praktik pengambilan keputusan sebagai seorang  pemimpin pembelajaran baik melalui kajian literasi ataupun berbagi dan sharing bersama rekan sejawat.Â
Seberapa penting mempelajari topik modul ini bagi Anda sebagai seorang individu dan Anda sebagai seorang pemimpin?
Menurut saya setelah mempelajari modul ini dampak yang paling jelas terasa adalah pengetahuan yang didapatkan dalam pengambilan keputusan yang tepat dan efektif, tidak gegabah dalam mengambil keputusan, menganalisis dengan lebih mendalam sebuah masalah baik sebagai manusia individu maupun sebagai seorang pendidik.Â
Pengambilan keputusan dengan melibatkan orang lain sebagai panutan atau sekedar sharing agar memunculkan opsi lain yang tidak terduga perlu dilakukan dan yang paling utama adalah semua keputusan yang dibuat harus mengandung nilai-nilai kebajikan universal.
Dengan mempelajari modul 3.1 saya menjadi lebih memahami jika dalam proses pengambilan sebuah keputusan perlu dilakukan dengan alur yang jelas dan runtut, dan langkah awal paling penting ada mengidentifikasi masalah tersebut termasuk dalam bujukan modal atau dilema etika sehingga akan memudahkan arah dan tujuan pengambilan keputusan agar tidak membuat kita terjebak dalam kondisi yang salah yang membuat pengambilan keputusan juga tidak tepat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H