Rumput yang kini jadi Permasalahan
Pedesaan kini merupakan komunitas masyarakat transisional, memperoleh kemajuan akibat keadaan beban hidup yang mahal. Perjalanan itu membuat perubahan, dari masyarakat yang teposeliro, paseduluran, kesahajaan dan selalu menjunjung martabat dengan budi pekerti, berjalan menuju tatanan yang berkepribadian privatif, acuh, lemah dan membuat ukuran martabat dengan materi kehidupan. Sebuah ciri bahwa telah terjadi pelemahan padahak milik sebagai sumber daya hidup masyarakat. Menjadikaan dorongan sikap takut miskin, ketidakpercayaan, kekurangan kebutuhan hidup dan hak hidup yang berlebihan.
Masa dan kondisi psikologis transisi berkepanjangan ini, mengakibatkan generasi pedesaan lahir tidak memiliki karakter local kemanusiaan “desa”, karena sudah banyak melupakansumber daya di kawasan dimana mereka hidup. Fenomena ini bukan terjadi tanpa sebab, yang pemerintah atau NGO tidak terlibat sama sekali, karena masyarakat pedesaan telah belajar banyak dengan pengalamannya, melewati perlakuan-perlakuan di kehidupan mereka, dengan sekolah di realitas sejarah. Dari korupsi pemerintah dan LSM, pemerasan Oknum penegak hukum dan lembaga peradilan, atau bahkan dari pengemuka adat desa yang lebih berdekatan dengan “bantuan”
Tahapan-tahapan penting penyebab kemajuan yang menghapus identitas pedesaan, bermula dari persepsi kemajuan sederhana, melalui pengalaman perantauan dan interaksi yang akhirnya menjadi kecelakaan sistem socialnya, membentuk kesepakatan tidak tertulis yang membunuh jalan penghidupan ekonomi masyarakat miskin disekitarnya.
Ukuran hidup sejahtera di pedesaan adalah kepemilikan lahan pertanian pangan, ini menjadi factor terbesar penyebab kemiskinan. Jadi kemiskinan yang diakibatkan oleh faktor tersebut kemudian akan menyulitkan seseorang bangkit untuk memperbaiki kehidupan ekonominya, karena system tata kelola dan tata kuasa lahan pada masyarakat desa sudah begitu rapat dan terkelola secara privasi. Hal itu tidak disadari dan dipahami oleh masyarakat secara mendalam, sehingga setiap pedesaan tidak ada mekanisme social penguatan yang memberi ruang kepada si miskin untuk bangkit melalui kehidupan perangkat alam.
Mengapa hal yang demikian itu terjadi? Karena untuk memperbaharui dengan cara yang sederhana seperti berternak, yang merupakan alat media membangkitkan ekonomi paling efektif dipedesaan, sudah tertutup dengan pola penguasaan rumput dilahan kepemilikan. Dan setiap lahan saat ini sudah merupakan hak milik individu dimana sejarah mereka banyak hanya melalui pengakuan-pengakuan sederhana. Sekarang rumput menjadi sebuah akar permasalahan, rumput menjadi subuah penguasaan hak milik individu yang melekat pada lahan, yang tidak bisa diakses oleh si miskin untuk diperbaiki ekonominya.
Realitas ini dapat lihat di pedesaan Pacitan. Rumput sebelum tahun 1970 merupakan tumbuhan untuk pakan ternak yang menjadi aset bersama, artinya setiap orang bisa mengambil rumput untuk kebutuhan pakan ternaknya dimanapun rumput itu berada. Karena anggapan yang menjadi kesepakatan social bahwa rumput tidak ditanam melainkan tumbuh sendiri, rumbut tumbuh karena air hujan, amanat dari Tuhan untuk manusianya.
Tahun 1970, masyarakat merupakan bentuk komunitas yang mengandalkan makanan dengan cara menanam ketela, padi gogo, thales, gembili, uwi, ganyong dan jenis umbi-umbiyan lainnya. Hal ini didasarkan pada kejadian masa pacekliek di tahun 1942 yang mana polo kependem seperti uwi merupakan tanaman pangan cadangan efektif. Di deekade tahun inilah awal pergeseran dan lompatan tatanilai masyarakat pedesaan dimulai.
Tahun 1970 -1980adalahtahun yang bersejarah untuk melihat kemajuan pedesaan serta perubahan yang terjadi dimasyarakatnya. Salah satunya proses reboisasi akasia dan tumbuhan kayu non pangan lainnya di sebar kemasyarakat untuk lahan pegunungan, dengan dasar pengurangan erosi dan penyelematan air lingkungan, sampai beberapa desa ada pelarangan untuk “angon”ternak. Ini mengakibatkan masyarakat memperkuat model peternakan dengan kandangisasi untuk ternaknya yang lambat laun menghilangkan fungsi angon sebagai kegiatan peternakan. Pergeseran lain yang mencolok adalah optimalisasi pendidikan anak dari angon dan ngarit akhirnya berubah menjadi ngarit saja, dimana sekolah dibuka dengan gedung yang terpisah dengan kebiasaan masyarakat. Proses ini akhirnya mendukung pola kemajuan yang meninggalkan padatan anak pedesaan, karena ada proses sekolah yang lebih lama dan diluar ruang ekonomi masyarakatnya. Jadi munculnyakesadaran sekolah sebagai alat pendidikan anakdi masyarakat menguat tidak pada situasi tradisi masyarakat, anak-anak di beri cita-cita diluar konteks realitas lingkungannya, dibentuk untuk hidup bermartabat dengan profesi guru, pejabat, dan pengusaha, yang semua tergantung pemerintah. Fungsi sekolah menjadi sangatekstrim, memberi mimpi cita-cita bukan bagaiamana berpengetahuan yang benar. Dampak kepercayaan masyarakat pada sekolah-sekolah pemerintah juga menghapus pendidikan tradisonal yang melewati proses ngangsu kaweruh, sehingga menghilangkan pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat sebelumnya. Seperti pemanfaatan empon-empon dan tumbuhan sebagai tanaman obat, ilmu kebidanan tradisional yang dimiliki oleh dukun bayi dan bentuk-bentuk pengetahuan pertanian serta kebudayaan yang bersifat seni.
1980-1990, proyek padi hibrida dan penggunaan pupuk kimia serta masuknya rumput kolonjono dan sejenisnya. Di decade ini menjadi sebuah masa sejarah yang menentukan arah kemakmuran di pedesaan, yaitu adanya lompatan tradisi masyarakat secara jelas, yang mana masyarakat menganggap fungsi uang dan kepemiliknannya sangat penting untuk kehidupan. Hal ini mendukunggerakan optimalisasi lahan oleh masyarakat secara mandiri, mereka mulai menanam kayu, memanfaatan lahan kosong untuk ladang rumput, sebagian mulai merantau ke kota bahkan ke luar negeri, sehingga terjadi urbanisasi yang signifikan di kota-kota besar terutama Jakarta. Pada tahun tahun ini merupakan podasi awal perubahan yang mana masyarakat mengalami rasa kemakmuran dengan indicator murahnya pangan dan pakaian. Juga terjadi pergeseran kontruksi rumah dari rumah gedeg (dinding anyaman bammu) menuju rumah kayu, karena kayu sudah mulai bisa dimanfaatkan kegunaannya oleh masyarakat. Jenis kayu yang populer adalah akasia, Jati, mahoni. Kegiatan angon mengalami penurunan drastis, karena masyarakat kesulitan memperoleh lahan pangonan karena sebagian besar memanfaatkan lahannya untuk rumputindividu dan berisi tanaman kayu dan kelapa, hal ini kemudian menjadi dasar penguatan tata nilai rumput menjadi hak milik pemilik lahan.
1990-2000, masyarakat sebagian pedesaan mudah membuat rumah dari bahan kayu, namun kemudian kenyataan ini tidak lama, masyarakat membuat orientasi rumah dengan bata, dan akhirnya menumbuhkan kegiatan sebagian masyarakat untuk membuat bata dengan menggunakan tanah humus di lahan miliknya, hal ini akibat terbukanya pola interaksi dengan masyarakat luar, terutama perkotaan, karena merantau dan berdagang. Ini membuktikan adanya peralihan pola pikir kayu sebagai penyelamat air dan fungsi sebagai perangkat pembuat rumah, menjadi kayu sebagai tanaman industri yang laku di jual. Pemanfaatan kayu untuk kebutuhan industri juga mengalami peningkatan, harga kayu menjanjikan pendapatan, tumbuhlah dalam hati masyarakat, menanam kayu sebagai aset masa depan, dengan kesadarannya sendiri.
Dari perjalanan pergeseran tersebut betapa tanpa disadari bahwa prifatisasi selangkah demi selangkah membuat kemiskinan di pedesaan semakin mengurita dan kompleks jalan keluaranya. Mereka tergantung pada pabrik, lapangan kerja diluar kampungnya, dan semangat hidup yang mendasarkan pada buruh. Berangkat dari kayu sebagai fungsi konservasi, menjadi alat ekonomi, proses pengakuan pegunungan menjadi hak milik,termasuk mencaplok tanaman rumputnya. Mereka kini lebih memikirkan keperluan ternaknya dari pada menolong kerabat atau tetangganya yang lebih susah ekonominya.
Rentetan sejarah yang berawal reboisasi, pelarangan angon/mengembala, kandangisasiternakdirumah sendiri-sendiri dengan memberipakan dari lahan yang mereka miliki. Akhirnya anak-anakpuntidak lagi angon ternaksepulang sekolah, mereka membuat pola bermain yang lain, menjauh dari alam dengan ruang yang lebih sempit, yang tidak mengganggu penghijauan. Selanjutnya luasan lahan individu menjadi pondasi sistem ekonomipedesaan, masyarakat mengagungkan privatisasi, melepaskan dasar kehidupan dan kemanusiaan secara pelan-pelan, dan kini mereka yang tidak memiliki lahan cukup luas atau bahkan tidak punya sama sekali, kesulitan memperoleh rumput, karena rumput dan lahan menjadi satu kesatuan kepemilikan. Dan dari permasalahan sesederhana itu akhirnya bahasa kesederhanaan, kesahajaan, kekerabatan, bahkan solidaritas ataupun kemanusiaan dalam kehidupan pedesaan akhirnya buyar dan bias pemaknaannya, sebatas slogan kemasyaratan belaka.
Kehormatan di pedesaan bukan didasarkan pada pekerti manusianya melainkan kepemilikikan aset kekayaannya. Dan setelahnya, memunculkan sebuah kesepakatan yang sadis, kemiskinan bukan urusan kelompok masyarakat disekitarnya tapi urusan “Pemerintah”, dengan adanya beras raskin dan bantuan tunai langsung, kenyataan itu memperluas penyudutan si Miskin dengan segala ketidakberdayaannya. Kesimpulannnya kemajuan dan kemakmuran yang kita tuju menggiring masyarakat pedesaan menanggalkan kepedulian. Dan inikah yang kita maksud meningkatkan kemakmuran itu?
Kemanakah JalanKemakmuran Kita?
Apakah ini yangmenjadi arti kemajuan oleh pemerintah, menyekat-nyekat strata ekonomi masyarakat dengan kepemilikan, akses ekonomi, pendidikan dan menciptakan martabat manusianyamelalui materi melalui kata-kata sugih? Lalu melepaskan segala bentuk kebutuhan atas dasar pasar, yang menghilangkan kesadaran mengelola alamnya untuk kelangsungan hidup secara bersama-sama.
Kita memang tidak mempunyai sebuah kerangka landasan dan secara konsisten lakukan, untuk mengatur tentang sebuah system kemasyarakatan yang detail. Maka dengan begitu kita merupakan bentuk komunitas yang tidak mempunyai landasan menciptakan identitas kemompok manusia, kalau demikian untuk apa kita menyatukan sebuah keputusan bermasyarakat, ketika tidak memperoleh ruang kemanusiaan dari masyarakat kita sendiri.
Akhirnyabukan lumbung pangan dan pengelolaan kreatif dari hasil kebersamaan untuk membuat kesatuan masyarakat yang kuat dan tangguh, melainkan perusakan system social yang tidak disadari, dan eksploitasi alam untuk menuju gaya hidup yang berlebel gengsi. Mereka tidak menyadari bahwa perjalanan waktu akan mengarahkan petani pedesaan kehilangan generasi yang tanpa tertata dengan tatanilai social yang individualistic, sedangkan ketahan pertanian mereka semakin menyempit, akhirnya mereka akan tergantung pada kerja pabrik dan merupakan alternativeterakhir dari cita-citahidup. Contoh terdekat adalah mengukur standar makanan pokok bergizi dengan beras, rumah sehat dengan dinding tembok dan lantai, akhirnya dalam bentuk aplikatif menterjemahkan kesediaan bibit unggul dengan komersialisasi benih, dimana petani desa yangmempunyai lahan kehilangan kekuasaan produksi benih secara mandiri, tergantung pada pupuk kimia dan pestisida yang kemudian mengendap pada beras hasil pertanian, lalu meracuni tubuh mereka sendiri. Setelah itu lari ke dokter atau rumah sakit lalu ketergantungan obat, dank arena membutuhkan pembiayaan mereka menjual tanah, berakhirlah mereka dengan kemiskinan, tanpa sapi dan tanpa lahan pertanian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H