Mohon tunggu...
Untukmu Pahlawanku
Untukmu Pahlawanku Mohon Tunggu... -

Blog ini didedikasikan untuk kegiatan berbagi kasih kepada para Legiun Veteran Republik Indonesia dengan nama program Untukmu Pahlawanku.\r\n \r\n\r\nSilakan kami di-add jika anda ingin berpartisipasi demi kepentingan update informasi.\r\n\r\nTerimakasih

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Abdul Hamid: Pesan Sang Veteran

2 Februari 2011   01:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:58 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Minggu, 27 Desember 2009

Sekali tidak jujur, hidup tidak akan benar! Pasti dapat masalah terus! Abdul Hamid Surya, Veteran, Stasiun Kota – Sejak pertamakali melihatnya di Peron Stasiun Kereta Api Jakarta Kota, aku sudah tertarik padanya. Dandanannya rapih. Ia mengenakan kemeja batik warna coklat. Kacamata hitam membuatnya lebih menarik perhatian. Dan yang paling menarik bagiku sebuah pin yang menempel di pecinya yang lapuk. Itu adalah sebuah pin yang hanya dimiliki oleh orang yang mendapatkan penghargaan atas jasanya, sebagai veteran. Veteran adalah julukan yang diberikan pemerintah kepada mereka yang telah menyumbangkan tenaganya secara aktif atas dasar sukarela dalam ikatan kesatuan bersenjata (resmi maupun kelaskaran) dalam memperjuangkan, membela dan mempertahankan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Merekalah yang berjibaku langsung di front rakyat untuk menghalau penjajah dari negeri ini. Nama lengkapnya Abdul Hamid Surya. Kesempatan bicara dengannya kudapatkan ketika ia sibuk mencari-cari korek api untuk menyulut rokok kreteknya. Kuberikan padanya sebuah korek api gas. Iapun tersenyum dan berucap terima kasih. Di bangku peron, kami berbincang berdua. “Mau kemana, pak?” tanyaku setelah memotretnya. “Kroya!” jawabnya tegas. Mulutnya kembali menghisap rokok kretek merk lama yang masih eksis sampai saat ini. “Sendiri saja, tidak ada yang mengantar, pak?” “Memang kenapa? Dari dulu saya sering jalan sendiri.” Setiap bicara, ia selalu memperhatikan lawan bicaranya. Menatapku, hingga aku agak canggung karena ia berkacamata hitam. Aku sulit melihat tatapan matanya. “Tidak apa-apa sih, cuma khawatir saja, perjalanan ke Kroya lumayan jauh.” Alasan spontanku. “Ah, dari dulu bapak nggak pernah takut! Siapa yang berani macam-macam, saya lawan!” jawabnya tegas. Asap rokok dari mulutnya terbuang cepat. “Waktu bapak berperang dulu, adakah sedikit rasa takut?” tanyaku mengharapkan ia bercerita. “Rasa takut itu pasti ada. Tapi karena dulu, yang ada di pikiran semua bangsa adalah perang, maka hati kitapun terpacu untuk berani melawan penjajah” Jawabannya tegas. “Apakah saat itu bapak sudah menikah?” “Belum!” “Sekarang banyak anak muda yang takut mati sebelum menikah. Bagaimana saat bapak muda dulu?” “Hohoho… nikah? Itu belum terpikir, dik!” ia memanggilku adik, “Kalaupun ada teman-teman saya yang sudah punya pacar, tapi mereka siap mati demi membela bangsa!” “Akhirnya mereka gugur, pak?” “Tidak semua.” “Apa yang bapak rasakan selama hidup sejak zaman perang, zaman Sukarno, Suharto, Habibie, Gusdur, Mega, hingga SBY kini?” “Hanya satu hal : kejujuran semakin ditinggalkan!” katanya sambil menghisap rokok kreteknya yang tinggal setengah. “Dulu, waktu kami berperang. Kami paling anti untuk mengambil harta yang tersisa dari bangkai penjajah yang kami bunuh. Walaupun ada saja orang-orang yang tetap mencuri dompet, gelang, jam, atau apapun yang melekat pada tubuh bangkai yang tak berdaya itu. Kami berjuang dengan jujur, kami hanya mencari kemerdekaan, bukan harta!” “Padahal, mereka itu kan penjajah, pak. Bukankah wajar kalau hartanya diambil buat orang yang membunuhnya?” selaku. “Menurut kamu begitu, tapi sebagai pejuang sejati, yang kami cari bukan itu. Kami pantang mencuri sepeserpun dari bangkai panjajah!” “Dosa, ya pak?” aku menegaskan. “Bukan! Bukan hanya dosa! Tapi perjuangan kami jadi sia-sia!” tak kusangka penegasanku salah. “Walaupun hanya jam tangan saja, pak?” “Sekali tidak jujur, hidup tidak akan benar! Pasti dapat masalah terus!” tegasnya. “Kini bagaimana pak?” tanyaku singkat. “Seperti yang saya bilang tadi, KEJUJURAN para pengayom negeri makin tipis. Mungkin yang memimpin sekarang adalah mereka yang ketika perang, mencuri harta dari bangkai penjajah itu….” hm… sederhana namun mendalam sekali jawaban pak Hamid. “Makin hari, para pengayom negeri ini semakin kebablasan dalam memperjuangkan kemerdekaan! Bangsa kita makin banyak masalah! Saya yakin, ini pasti ada yang tidak jujur!” “Lho, memang sekarang masih berjuang demi kemerdekaan, pak?” tanyaku “Selamanya kita berjuang mencari kemerdekaan, terutama dari penjajahan nafsu terhadap hati kita! Itu yang semakin hari semakin kami lihat, para pengayom negeri ini belum merdeka! Itu perjuangan yang saat ini harus kita perjuangkan!” “Berarti kejujuran itu begitu penting dalam perjuangan ya, pak?” “Kejujuran itu tak ada habisnya! Dari dulu sampai mati, kita harus berani jujur!” nasehatnya padaku. Ia kembali menyulut sebatang rokok. Aku kembali menyalakan korek api dan menyulutinya. Hisapan pertama begitu dalam. Asapnya diseolah-olah ditelan, lalu dihembuskan melalui lubang hidungnya. Ia masih belum berhenti bercerita. Perjuangan melawan penjajah adalah kisah yang paling semangat ia ceritakan. Hampir semua orang yang juga duduk di peron stasiun ini, memperhatikan perbincangan kami. Lebih tepatnya, memperhatikan pak Hamid, yang kini sudah berusia 86 tahun. Yang sedang menunggu kereta menuju rumahnya, di Kroya. “Apa yang bapak inginkan sebelum dipanggil Tuhan?” sebenarnya aku enggan menanyakan hal ini, khawatir ia tersinggung karena aku menanyakan tentang kematian. “Apa? Nggak ingin apa-apa. Mati ya mati! Lha orang mau mati koq mikirin macam-macam!” “Maaf pak, maksud saya, kalau Bapak meninggal, apakah ingin dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, seperti para pejuang atau tentara yang lainnya?” “Ah dimana saja, terserah Tuhan mematikan saya dimana, di situlah saya dikubur. Karena kami pejuang, dimanapun kami siap mati!” Banyak tutur kata yang patut kita renungkan dari pak Hamid. Ia menjadikan kejujuran sebagai prinsip perjuangannya. Meskipun banyak peluang untuk mencuri harta hasil perjuangan, tapi ia tak mau melakukannya. Dan baginya kejujuran hanya bisa dilakukan oleh orang yang jiwanya merdeka. Sebagai pejuang tua, ia tak khawatir mati di mana saja. Iapun tak punya keinginan untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, yang merupakan prestise bagi keluarga para pejuang. Di manapun ia mati, di situlah ia minta dikuburkan. [MT] ***** Tulisan ini disalin dari Blog Guru Kehidupan oleh Mataharitimoer dan sudah atas seijin beliau. Sengaja tulisan ini dihadirkan disini demi ingin mengajak teman-teman sekalian sekiranya ada sosok veteran RI yang terlupakan baik secara sengaja maupun tidak karena berbagai alasan, maka cerita akan sosok tersebut boleh dibagikan kepada kami. Hal ini mengingat bahwa Program Untukmu Pahlawanku juga ingin merangkul sosok-sosok veteran yang terlupakan ini. Karenanya hal ini akan dibawa pada pertemuan dengan Mabes LVRI dimana konfirmasi pertemuan sedang kami tunggu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun