Mohon tunggu...
Aniza Ambarwati
Aniza Ambarwati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pendidik, Penulis, dan mahasiswa magister

A critical person who likes reading, writing, studying, and travelling

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengurai Kebuntuan Menulis bersama Sagusaku Yogyakarta

25 April 2017   09:22 Diperbarui: 25 April 2017   18:00 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menulis seringkali dianggap sebagai hal yang sulit dilakukan. Banyak orang beranggapan bahwa menulis membutuhkan bakat. Pemikiran tersebut membuat orang berhenti untuk mencoba menulis. Padahal sebenarnya, menulis sangat mudah dan setiap orang bisa menjadi penulis. Ada banyak hal yang membuat orang-orang enggan menulis, ide seringkali menjadi alasan. Tapi sebetulnya masalah utama adalah tidak adanya keinginan untuk belajar. Menulis bukanlah bakat tapi keterampilan yang bisa dilatih. Menulis bukanlah kegiatan yang hanya dilakukan kalangan akademisi, praktisi ataupun orang-orang berpendidikan tinggi. 

Semua orang bisa menulis, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Sayangnya budaya menulis masyarakat Indonesia sangat rendah, disebabkan tidak adanya pembiasaan, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Padahal penanda suatu masyarakat terdidik dan negara maju, salah satunya adalah banyaknya buku bacaan yang dilahirkan dari goresan pena generasi negeri. Sungguh ironis ketika kalangan terdidik seharusnya mampu melahirkan karya dalam bentuk tulisan, nyatanya menulis bagi mereka masih sangat sulit. Guru sebagai pendidik memiliki tugas yang banyak, ia tak hanya berkewajiban mengajar tapi melahirkan karya. 

Namun karya tak akan dikenang selama tak dibukukan. Banyak orang mengenal RA Kartini, pahlawan emansipasi wanita tapi tak banyak yang mengenal Cut Keumalahayati. Ia seoarang laksamana, pemimpin perang tangguh yang membawa janda-janda ke medan perang. Jasa dan perjuangannya begitu besar tapi namanya tak banyak dikenal sebagai pahlawan wanita. Apa penyebabnya? Cut Keumalahayati tidak menulis, tidak ada ada pembukuan atas karyanya. Guru mulia karena karya. Guru hebat karena mau belajar. Guru sebagai kalangan terdidik seharusnya mampu berkarya dengan tulisan. 

Tapi menulis masih saja menjadi hal yang dianggap sulit. Saya katakan “dianggap” sebab sulit adalah mindset yang terlanjur tertanam. Mengapa sulit? Sederhana saja, tidak ada keinginan belajar. Fenomena ini sudah menjadi rahasia publik. Padahal kenaikan pangkat golongan harus disertai bukti karya, bisa berupa PTK atau buku. Kedua jenis karya tersebut bisa lahir melalui menulis. Seorang guru hebat, namanya akan lenyap termakan waktu dan usia jika ia tak menulis. Seperti apa yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer “Orang boleh pandai setinggi langit tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah”. Oleh sebab itu, ubah mindset menjadi menulis itu mudah. Menulis itu mudah Ikatan Guru Indonesia merupakan organisasi profesi yang memiliki komitmen tinggi berkontribusi untuk bangsa, salah satunya mewujudkan guru-guru Indonesia berkompeten, termasuk dalam hal literasi. 

Sagusaku (Satu Guru Satu Buku) merupakan program literasi dari IGI untuk melatih guru-guru menulis. Tanggal 15-16 April 2017, Sagusaku berlangsung di kota Yogyakarta yang diikuti oleh 30 peserta dari berbagai daerah. Luar bisa! Semangat dan antusias guru-guru untuk menulis patut diacungi jempol, merekalah guru-guru pilhan dari jutaan guru yang ada di Indonesia. Antusias peserta bisa dilihat dari asal daerah peserta yang tidak hanya dari Yogyakata, ada yang dari Jember, Tegal, Kebumen, Kendal, Bandung dan sekitarnya. Mereka datang dari jauh untuk satu tujuan mulia, berkarya untuk negeri. 

Bersama Pak Edi Sunarto, praktisi pendidikan, motivator bidang pendidikan, penulis buku-buku pendidikan dan tokoh pendidikan inspiratif Sulawesi Selatan, kami terlibat pelatihan tentang bagaimana cara menulis. Namun bukan sekedar teknik dasar menulis, ia membangunkan alam bawah sadar peserta bahwa menulis itu mudah dan sederet motivasi yang perlu dibangu untuk menulis. Bagaimana menulis bisa mudah? Menulis mudah! Tanamkan kalimat tersebut dalam pikiran anda. Banyak orang bingung harus membuat tulisan tentang apa. Galilah ide dengan melihat lingkungan sekitar. Gunakan kepekaan mata dan hati supaya bisa merasakan keresahan akan kondisi lingkungan sekitar yang tidak sesuai harapan. Selanjutnya mulailah menulis. Kunci utama menulis adalah “melakukan”, jika ide sudah muncul, lakukanlah, jangan menunda. 

Kunci selanjutnya adalah fokus pada hal yang anda tulis. Semua orang bisa menulis tapi hal yang membedakan adalah bagus atau tidak. Tulisan tidak bagus seringkali disebabkan oleh kehilangan fokus. Berlatihlah terus menerus supaya menghasilkan karya yang bagus. Terdapat berbagai tipikal orang, sebagian perlu paksaan untuk menulis. Paksaan disini ialah target. Pasang target untk menulis sehingga tulisan anda tidak akan selesai di tengah jalan. Target-target ini pula akan membantu anda menyelesaikan tulisan dengan cepat. Jangan berlari dalam menulis tapi berkelebatlah. Secepat mungkin tanpa meninggalkan target tulisan yang bagus. 

Tantangan besar seorang penulis adalah menjaga komitmen dan stamina. Tak sedikit orang mengeluh dan berhenti menulis karena kehilangan stamina. Stamina menulis bisa dijaga dengan adanya dorongan (alasan mengapa anda harus menulis). Kemudian muncul kembali keluhan, dorongan itu seringkali muncul-hilang. Lalu apa yang harus dilakukan? Gunakan hati anda untuk menulis, hati anda tahu mengapa anda harus terus menulis. Menulis bukan hanya sekedar menggunakan teknik-teknis menulis dan segudang teori. Satu hal yang penting adalah menulis dengan hati. Segala sesuatu yang muncul dari hati akan sampai ke hati orang lain, membekas lekat. 

Begitu pula tulisan yang lahir dari hati akan sampai ke hati pembaca. Tulisan yang hadir dari hati akan mengalun indah sempurna, membuat pembaca ingin terus membacanya hingga selesai. Seperti novel-novel Tere Liye yang sangat renyah dinikmati walaupun sebenarnya pesan moralnya hanya berkutat pada cinta, persahabatan, kehilangan, menerima, tak jauh-jauh dari hal-hal tersebut. Tapi novelnya tak pernah terasa membosankan, tetap laku keras di pasarankarena rasanya membaca bagian awal novelnya saja sudah sangat penasaran dengan keseluruhan cerita. Kita terhanyut luluh ke dalam alur yang menawan. 

Terkadang sebagai penulis kita melakukan banyak kesalahan, seperti diksi yang kurang tepat, narasi dan deskripsi yang kurang nendang. Disinilah kita membutuhkan editor, ia yang akan membantu mengoreksi tulisan anda. Inilah yang disebut revisi, bisa berulang kali sampai karya dirasa sempurna. Editor pertama sebelum masuk penerbit sebaiknya orang terdekat anda yang bisa memberi masukan dan kritik supaya karya anda lebih baik. Betapa mudahnya menulis! Tuliskan saja apa yang ada di benak anda. Jangan pikirkan bagian yang sudah ditulis salah atau benar. Lanjutkan sampai selesai. Lakukan revisi pada tahap akhir. Marilah mulai dan terus menulis! “Guru mulia karena karya”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun