Sore menjelang malam. Saat seorang gadis berumur 21 tahun bernama Naria sedang duduk ditepi pantai, sembari menatap sang surya yang kian detik mulai tenggelam. Kesedihan terpancar jelas dari kedua matanya. Gadis yang dulunya periang dan penuh dengan canda tawa, kini bagaikan hilang ditelan bumi. Ia telah menjelma menjadi sosok yang begitu dingin dan berteman baik dengan kesendirian. Sejak kejadian yang terjadi dua tahun silam, membuat dunia Naria berubah seketika. Hilang sudah Naria yang senang berbagi keceriaan dengan orang lain. Karena bagi Naria sudah tidak ada lagi kebahagiaan yang dapat ia bagi, hanya setumpuk laralah yang tertinggal dalam dirinya.
Genggaman tangan dari gadis manis berambut hitam pendek yang tiba-tiba duduk disamping Naria, membuyarkan lamunan Naria dari kejadian itu.
"Kamu kenapa?" Tanya gadis tersebut.
Naria menatapnya dengan kebingungan dan penuh tanya.
"Ohh yaa. Kenalin aku Rihanna. Panggil saja Hana. Ada apa? kenapa kamu menangis disini sendirian?" Tanya hana lagi seolah mengerti apa yang ada di dalam benak Naria.
Seolah tersadar, tangan Naria langsung bergerak menyentuh pipinya. Benar saja, ternyata ingatan tentang masa lalu membuat Naria tanpa sadar meneteskan air matanya.
"Aku Naria. Tidak ada apa-apa" Balas Naria dengan singkat, sambil melepaskan tangan kanannya yang masih digenggam Hana. Lalu Kembali menatap ke arah matahari yang sebentar lagi akan benar-benar menghilang.
"Sedang ada masalah? Mau cer---" Belum sempat hana menyelesaikan perkataannya, Naria sudah lebih dulu menoleh kearah hana dan melemparkan tatapan tajamnya, yang membuat hana langsung terdiam.
"Apa yang harus kuceritakan? Apa yang akan kudapat jika aku menceritakannya kepadamu? Atau, apa yang akan kamu lakukan jika kamu mengetahui ceritaku? Agar kau bisa seenaknya menilaiku? agar kau bisa sembarangan menghinaku seperti mereka? Jangan pernah seolah ingin akrab ataupun berteman denganku karena pada akhirnya kamu akan seperti mereka yang perlahan akan menjauh ketika mengetahui tentangku." Ujar Naria dengan napas yang memburu.
Hana terdiam. Beribu pertanyaan muncul dalam benak Hana. Hana kebingungan, masalah apa yang telah dilewati Naria hingga ia sampai seperti ini.
Perlahan senyuman tersungging diwajah Hana.
"Aku tidak akan memaksamu mempercayaiku, menyukaiku, atau pun menceritakan tentangmu kepadaku, terlebih kita baru saja bertemu. Aku juga memang tidak mengetahui sedikitpun tentangmu. Tapi apapun masalahmu,kuharap jangan pernah biarkan masalah itu mengalahkanmu."
Tanpa sadar, Naria menoleh kearah Hana. Dalam hatinya, Ia ingin mempercayai Hana dan menceritakannya pada Hana. Seolah ada sesuatu yang membuat Hana berbeda.
Naria menatap kearah langit yang sudah benar-benar menjadi gelap, memantapkan hatinya untuk menceritakannya kepada Hana. Dengan perlahan Naria menarik napas dan mengalirlah cerita tentang kejadian-kejadian itu: Bermula saat Naria dipaksa oleh kekasihnya untuk berhubungan intim; mengakibatkan Naria yang saat itu berusia 19 tahun mengandung anak darinya. Yang menyedihkan kekasihnya  tidak mau bertanggung jawab kemudian pergi begitu saja meninggalkan Naria.
Tidak cukup sampai disitu, kedua orangtua Naria yang mengetahui hal tersebut bukannya membantu menguatkan malah menyalahkan bahkan mengusir Naria, karena menganggap Naria hanyalah aib dalam keluarga. Belum lagi cemohan dari orang-orang sekitar yang menganggap Naria bukanlah perempuan baik-baik, menjadikan Naria pada saat itu putus asa dan melakukan hal yang akan dia sesali sepanjang hidupnya; Menggugurkan anak dalam kandungannya.
Hana tersentak. Ia tidak menyangka Naria akan mau menceritakan kisahnya itu kepada Hana. Naria menoleh kearah Hana sambil tersenyum miris.
"Bagaimana? Bukankah kau juga berpikiran aku perempuan hina?"
Hana masih terdiam menatap Naria. Naria menghela napas, dengan susah payah berusaha untuk menahan tangis.
"Kamu tau, Han, seandainya aku bisa mengulang waktu aku akan memperbaiki segala hal yang sudah aku lakukan pada masa itu. Jujur, aku menyesali pertemuanku dengan laki-laki seperti dia. Aku kecewa dengan keluargaku yang kukira mereka bisa membantuku bangkit dari keterpurukan namun nyatanya merekalah yang membuat aku lebih terpuruk. Bahkan aku dengan susah payah mencari pekerjaan untuk menghidupi diriku dan tinggal di kos-kosan yang luasnya hanya cukup untuk satu tempat tidur kecil dan lemari kecil. Sementara mereka dengan damainya tinggal dirumah tanpa memikirkan apa yang mungkin sedang terjadi padaku." Ujar Naria dengan tangis yang sudah tak bisa ditahan.
Selama Naria berbicara, Hana tidak pernah mengalihkan pandangannya kearah lain. Hana Kembali mengambil tangan kanan Naria untuk digenggam.
"Segala mimpi-mimpi yang tadinya akan kubuat menjadi kenyataan, kini hanya akan tetap menjadi sebuah mimpi. bukankah aku sangat tidak pantas untuk mempunyai sebuah mimpi? Rasanya semua sudah tidak berguna lagi. Aku juga membenci mereka yang dengan tanpa henti menyalahkan dan menghinaku, membuat aku saat itu begitu putus asa dan dengan bodohnya menggugurkan kandunganku. Salah satu hal yang paling aku sesali dari sekian banyak yang telah terjadi. '' lanjut Naria dengan tangis yang semakin tak terbendung.
Hana tersenyum tipis.
"Bukankah setiap orang mempunyai masalah? Bukankah setiap orang pernah membuat kesalahan? Aku mungkin tidak mengalami apa yang terjadi kepadamu Nar. Tapi aku percaya setiap kesalahan ataupun masalah bisa diperbaiki dan diselesaikan. Kata siapa kamu tidak pantas untuk melanjutkan apa yang menjadi mimpimu hanya karena apa yang telah terjadi dihidupmu. Jangan menutup dirimu sendiri Nar. Karena orang-orang disekitarmu yang membuatmu kecewa, bukan berarti kamu bisa menganggap semua orang sama. Jangan biarkan dirimu hidup dalam bayang-bayang kesakitan dari masa lalu. Kejarlah mimpimu, lakukanlah apa yang ingin kamu lakukan. Jangan pedulikan siapapun dan apapun, karena hidupmu adalah milikmu bukan mereka."
Tiba-tiba muncul seorang seorang laki-laki tua dari arah belakang "Hana, sudah malam. Ayo kita pulang."
"Aku harus pulang, Nar. Ayahku sudah menunggu. Semoga saja kita bisa bertemu lagi. Dan saat kita bertemu lagi, aku harap bisa melihat sosok Naria yang lebih kuat. Sampai jumpa Naria."Â
Naria terus menatap kepergian Hana sampai Hana benar-benar hilang dari pandangan matanya. Tiba-tiba, setelah dua tahun, untuk pertama kalinya senyum tulus itu kembali hadir di wajah Naria.
"Kamu benar Han, yang harus aku lakukan bukanlah membiarkan diriku terus terpuruk. Hidupku adalah milikku, bukan mereka. Apapun yang telah kulakukan adalah urusanku, bukan mereka. Segala kejadian yang telah lewat tidak bisa membuatku kehilangan tujuan. Kini aku harus Kembali menjadi Naria yang sesungguhnya. Maafkan aku atas semuanya. Kini aku akan menjalani hidupku dengan cerita yang baru. Ini belum berakhir tapi baru saja dimulai. Dan aku, pasti baik-baik saja." gumam Naria.
Perlahan Naria bangkit dari duduknya, meninggalkan tempat itu. Berjalan dengan pelan dengan raut wajah yang kini lebih cerah sembari menyunggingkan senyum manis diwajahnya.
Siapa sangka, jika ternyata, yang dibutuhkan Naria hanyalah sebuah dukungan untuk  bisa bangkit kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H